Rabu, 26 Juni 2013

Menghadapi Orang Sulit

MENGHADAPI ORANG SULIT
S, perempuan muda yang baru bergabung dengan suatu lembaga, bercerita, ”Saya punya banyak cita-cita masuk ke kantor ini. Apalagi namanya dikenal baik di luar. Tapi saya kaget sekali ternyata di dalamnya kok sangat berbeda ya. Ada beberapa orang yang menurut saya negatif sekali, sepertinya kerjanya mencari-cari kesalahan pihak lain dan bicara kasar. Rasanya langsung hilang percaya diri berhadapan dengan mereka dan ingin kabur saja.

Karena saya orang baru, saya tidak berani bicara macam-macam. Dari pembicaraan dengan staf yang lain, sepertinya yang lain sudah capek dan tidak peduli karena tidak ada yang dapat dilakukan. Apalagi atasan dekat dengan mereka. Makanya, saya heran kok yang lain membiarkan saja sikap mereka yang kasar dan menyakitkan itu, misalnya bercanda yang merendahkan. Saya cukup shocked ternyata suasana kantor seperti ini.

Minggu lalu saya tiba-tiba ditegur atasan atas laporan mereka. Padahal sebelumnya saya sudah memperoleh izin keluar kantor setengah hari karena mengurus ayah saya yang sakit. Terus terang saya tertekan sekali. Saya tidak ingin kehilangan pekerjaan, tapi rasanya ingin menyerah saja, tiap hari deg-degan, tidak sanggup bekerja dalam suasana seperti itu.”

Sumber Stres
Sering di lingkungan kita menemukan ”orang-orang sulit” seperti yang dialami S. Bila hanya bertemu sesekali, misalnya karena dia berasal dari divisi lain, atau dia rekan kerja dari lembaga lain, kita mungkin dapat meminimalkan dampak agar tidak mengganggu suasana hati sehari-hari dalam beraktivitas.

Tetapi situasinya tidak semudah itu bila kita sehari-hari bertemu bahkan harus bekerja sama dengan mereka. Selain batin tertekan, unjuk kerja mungkin juga jadi menurun karena kita sulit berkonsentrasi akibat terguncang dan kehilangan kepercayaan diri. Konsep ”kekerasan dalam rumah tangga” sesungguhnya menampilkan fenomena serupa ketika orang terdekat tidak menjadi sumber dukungan sosial, tetapi justru menjadi sumber ketegangan dan kesulitan hidup.

”Orang Sulit”
Kita tetap perlu berefleksi tentang hal-hal yang dapat atau perlu diperbaiki dari diri sendiri. Tetapi untuk menenangkan batin yang kehilangan keseimbangan, kita juga perlu mencari kemungkinan-kemungkinan penjelasan mengapa ada orang-orang tertentu yang menjadi ”sulit” dan ”menyulitkan kehidupan orang lain”.

Bila mereka tampil demikian dalam banyak situasi sehari-hari, tenangkan hati dan katakan, dia berlaku demikian kepada semua orang. Jadi persoalannya kemungkinan besar bukan ada pada diriku, tapi ada pada dia sendiri.

Kita dapat mencari penjelasan-penjelasan lanjutan yang menenangkan, seperti mungkin di rumah dia dididik seperti itu, atau dia banyak masalah, atau sesungguhnya dia kurang percaya diri lalu mencari-cari kesalahan orang lain, dan sebagainya. Setidaknya upaya mencoba mengerti membuat kita merasa lebih berdaya dan tidak harus menempatkan diri dalam posisi inferior atau korban.

Tetap Santun
Tidak perlu termakan dalam permainan rekan kerja yang sulit bekerja sama. Ketika kita kehilangan kendali, misalnya dengan ikut marah, membalas bicara kasar, atau sebaliknya menangis tak berdaya, kita mungkin akan lebih sulit mengendalikan situasi untuk masa-masa selanjutnya dan suasana kerja juga makin tidak nyaman. Akan baik bila kita tetap tenang, bersikap sopan dan bicara santun.

Bila kehilangan kata-kata untuk menjawab, tetap bersikap tenang tanpa harus banyak bicara. Justru dalam situasi demikian, orang-orang lain akan memberikan penghargaan. Juga bisa jadi rekan kerja yang sulit tadi jadi ”kehilangan gaya” dan malu hati sendiri.

Dukungan Sosial
Sambil kita memetakan situasi, kita juga mulai mencari dukungan sosial. Idealnya kita dapat bekerja sama dengan baik dengan sebanyak mungkin orang. Tetapi dunia nyata sering tidak ideal, jadi tidak ada gunanya memaksakan diri untuk dekat dan menyenangkan semua orang. Upayakan berhubungan dengan orang-orang yang tidak terjebak dalam permainan in-group/ out-group dalam kelompok.

Bila situasi tidak memungkinkan karena rekan-rekan kerja sudah telanjur terpilah, kita dapat meluangkan waktu lebih banyak dengan kelompok yang membuat batin merasa lebih tenang, tanpa harus terjebak terlalu dalam pada gosip-gosip dan percakapan yang tidak konstruktif.

Bukan tidak mungkin, sikap yang matang juga akan membuat kita memperoleh akses lebih dekat pada atasan atau orang-orang lain yang berpengaruh di tempat kerja. Biasanya kita akan memperoleh lebih banyak informasi mengenai tempat kerja kita, siapa yang berpengaruh, bagaimana posisi para staf, dan langkah apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki situasi.

Tegas dan Asertif
Sikap yang tepat bukanlah ikut-ikutan agresif atau pasif menelan perlakuan buruk orang lain, tetapi tegas dan asertif. Bila posisi kita lebih lemah, misalnya kita orang baru, lebih muda, berposisi lebih rendah, hal ini memang lebih sulit untuk dilakukan. Tetapi dengan bekal dukungan sosial, sikap yang tenang, dan unjuk kerja yang maksimal, kita dapat belajar bersikap lebih asertif dan tetap sopan.

Katakan, misalnya, ”Maaf bisakah kamu menyampaikan kritik dengan cara lebih baik? atau ”Pasti ada kebenaran dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Saya sudah mendengarkan pandangan Anda. Jadi, bisakah sekarang saya menyampaikan pandangan saya?”

Bagaimanapun, suasana kerja yang nyaman juga menjadi tanggung jawab atasan. Bila situasi memungkinkan kita dapat memberi masukan tanpa harus terkesan bergosip, mengadu, atau mencari pembelaan. Pada akhirnya kita juga perlu berpikir jauh ke depan. Siapa tahu dengan pikiran tenang kita melihat banyak sisi positif dari tempat kerja kita.

Di tempat lain, bisa jadi kita juga menghadapi situasi yang sama. Bila tak tahan dan mau meninggalkan pekerjaan, kita perlu mempersiapkan diri dengan menemukan yang baru. Jangan sampai kita menciptakan lebih banyak persoalan untuk diri sendiri dan keluarga akibat keputusan yang diambil secara kurang bijaksana.

sumber: KRISTI POERWANDARI, PSIKOLOG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar