PENGUMUMAN
Oleh Sekretaris Jendral Konsili
(1. Kadar teologis
Konstitusi “De Ecclesia”)
Ditanyakan manakah seharusnya kualifikasi teologis ajaran,
yang dipaparkan dalam Skema “de Ecclesia” dan yang diajukan untuk
pemungutan suara.
Komisi untuk Ajaran menjawab pertanyaan itu dalam membahas “Modi”
(amandemen-amandemen) mengenai bab III Skema “De Ecclesia”, sebagai berikut:
“Dengan sendirinya sudah jelaslah, bahwa teks Konsili selalu harus ditafsirkan menurut
peraturan-peraturan umum, yang diketahui oleh siapa pun”.
Pada kesempatan itu Konstitusi untuk Ajaran mengacu kepada Pernyataan
pada tgl. 6 maret 1964, yang teksnya kami kutip di sini: “Mengingat
kebiasaan Konsili-Konsili serta tujuan pastoral Konsili sekarang ini, Konsili
ini hanyalah mendefinisikan perkara-perkara iman dan kesusilaan yang harus
dipegang teguh oleh Gereja, dan yang oleh Konsili sendiri secara eksplisit dinyatakan
sebagai perkara iman dan kesusilaan”.
“Sedangkan hal-hal lain, yang dikemukakan oleh Konsili sebagai
ajaran Magisterium Tertinggi Gereja, harus diterima dan dimengerti oleh semua
dan setiap orang beriman, menurut maksud Konsili sendiri, yang menjadi nyata
baik dari bahan yang diuraikan, maupun dari cara merumuskannya, menurut
norma-norma penafsiran teologis”.
(2. Arti kolegialitas).[2]
Oleh kewibawaan tertinggi kemudian telah disampaikan kepada
para Bapa Konsili Catatan penjelasan Pendahuluan pada “Modi”[3]
tentang bab III Skema “de Ecclesia”. Ajaran, yang
diuraikan dalam bab III itu harus dijelaskan dan dimengerti menurut maksud
catatan itu.
CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN
“Komisi memutuskan untuk mengawali pembahasan
amandemen-amandemen dengan catatan-catatan umum berikut:
1. “Collegium” (“Dewan”) tidak diartikan secara yuridis melulu, yakni
dalam arti kelompok yang terdiri dari anggota-anggota yang sederajat,
seolah-olah mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada ketua melainkan dalam
arti kelompok yang tetap, yang struktur maupun kewibawaannya harus dijabarkan
dari Perwahyuan. Oleh karena itu dari Jawaban terhadap Modus 12 secara
eksplisit dikatakan tentang “Dua belas”, bahwa Tuhan menetapkan mereka
“bagaikan Dewan atau kelompok yang tetap” (ad modum collegii seu coetus
stabilis[4]). Bdk. Juga Modus 53, c. – berdasarkan
itu pula, tentang Dewan para Uskup acap kali dipakai juga istilah “Ordo”
(Tingkat) atau “Corpus” (Badan). Kesejajaran antara Petrus serta para Rasul
lainnya di satu pihak dan Imam Agung Tertinggi serta para Uskup di lain pihak,
tidak berarti penerusan kekuasaan luar biasa para Rasul kepada para pengganti
mereka; jadi juga tidak berarti – seperti sudah jelas – kesetaraan (“aequalitas”)
antara Kepala dan anggota Dewan, melainkan melulu keserupaan, kemiripan (“proportionalitas”)
antara relasi pertama (Petrus – para Rasul) dan relasi kedua (Paus – para
Uskup). Maka Komisi memutuskan untuk menulis dalam artikel 22: bukan “eadem”
melainkan “pari ratione”. Bdk. Modus 57.
2. Seseorang menjadi anggota Dewan berdasarkan pentakdisan
menjadi Uskup dan persekutuan hirarkis dengan Kepala maupun para anggota Dewan.
Bdk. Art 22, pada akhir § 1.
Dalam pentakdisan diberikan partisipasi antologis dalam
tugas-tugas (“munera”) kudus, seperti jelas sekali ternyata dari
Tradisi, juga Tradisi Liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah “munerum”
(tugas-tugas), bukan “potestatu” (kekuasaan), karena istilah terakhir itu dapat
dimengerti sebagai kekuasaan yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi supaya
ada kekuasaan yang siap langsung bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan
kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hirarkis. Penentuan kekuasaan itu
dapat berupa penyerahan fungsi khusus atau pengangkatan bawahan untuk suatu
fungsi dan diberikan menurut norma-norma yang disetujui oleh Kewibawaan
tertinggi. Norma lebih lanjut seperti itu pada hakekatnya diperlukan, karena
yang dimaksudkan ialah fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pelbagai subjek,
yang atas kehendak Kristus bekerja sama dengan hirarkis. Sudah jelaslah, bahwa “persekutuan”
itu berlangsung dalam kehidupan Gereja menurut situasi zaman, sebelum
bagaikan “dibekukan” dalam hukum.
Oleh karena itu dikatakan secara eksplisit bahwa diperlukan
persekutuan Hirarkis dengan Kepala serta anggota Gereja. Persekutuan ialah
pengertian, yang dalam Gereja kuno (seperti sekarang pula, terutama di Timur)
dianggap sangat penting. Yang dimaksudkan bukanlah suatu perasaan yang
kabur, melainkan suatu kenyataan organis, yang memerlukan bentuk yuridis
pun sekaligus dijiwai oleh cinta kasih. Maka Komisi, praktis dengan kesepakatan
bulat, memutuskan: harus ditulis “dalam persekutuan hirarkis”. Bdk.
Modus 40, pun juga apa yang dikatakan tentang “misi kanonik”, dalam art. 24.
Dokumen-dokumen para paus pada masa akhir ini tentang
yurisdiksi para Uskup harus ditafsirkan dalam arti penentuan kekuasaan yang
masih perlu itu.
3. Tentang Dewan (“Collegium”), yang tidak dapat tanpa Kepala,
dikatakan: “merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh terhadap seluruh
Gereja”. Hal itu perlu disetujui, supaya kepenuhan kekuasaan paus jangan
dipertanyakan. Sebab Dewan harus selalu mencakup Kepalanya, yang di dalam
Dewan itu tetap menjalankan tugasnya seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala
Gereja semesta. Dengan kata lain pembedaan bukan antara Paus (di satu
pihak) dan para Uskup secara kolektif (di pihak lainnya), melainkan antara Paus
dipandang tersendiri dan paus bersama para Uskup. Karena Paus ialah Kepala Dewan,
maka dia seorang diri dapat menjalankan berbagai tindakan, yang sama sekali
tidak dapat dijalankan oleh para Uskup; misalnya: mengundang Dewan untuk
berkumpul dan memimpinnya, menyetujui norma-norma untuk bertindak, dan
lain-lain. Bdk. Modus 81. Terserah kepada kebijakan Paus, yang diserahi reksa
pastoral terhadap seluruh kawanan Kristus, untuk – sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan Gereja yang silih silih-berganti di sepanjang sejarah, -
menentukan cara reksa pastoral itu seyogyanya dijalankan, entah secara pribadi,
entah secara kolegial. Paus mengambil langkah untuk mengatur, mendorong,
menyetujui pelaksanaan kolegial, demi kesejahteraan Gereja, menurut
kebijaksanaannya.
4. Sebagai Gembala Tertinggi Gereja paus setiap saat dapat
menjalankan kekuasaannya, kapan saja berkenan kepadanya, bila itu diperlukan
oleh tugasnya. Sedangkan Dewan para Uskup, walaupun senantiasa ada, tidak
dengan sendirinya terus menerus bertindak secara kolegial dalam arti yang
sempit, sebagaimana ternyata juga dari Tradisi Gereja. Dengan kata lain,
Dewan tidak selalu “dalam keadaan bertindak sepenuhnya”, bahkan hanya saat-saat
tertentu saja menjalankan tindakan kolegial dalam arti yang sempit, itu pun
hanya atas persetujuan Kepala. Dikatakan “atas persetujuan Kepala”,
supaya jangan ada yang berfikir tentang sifat tergantung bagaikan dari
seseorang yang berada di luar Dewan. Istilah “persetujuan” justru menunjukkan
adanya persekutuan antara Kepada dan para anggota, dan mencakup perlunya
tindakan yang termasuk kompetensi kepala. Hal itu secara eksplisit ditegaskan
dalam artikel 22 § 2, dan di sana dijelaskan juga, menjelang akhir artikel. Rumus
negatif “hanya” mencakup semua kasus. Maka jelaslah, bahwa norma-norma
yang telah disetujui oleh Kewibawaan tertinggi selalu harus diindahkan.
Bdk. Modus 84.
Semuanya itu menyatakan, bahwa yang menjadi pokok yakni: hubungan
para Uskup dengan Kepala mereka, dan tidak pernah dimaksudkan:
kegiatan para Uskup tanpa tergantung dari Paus. Dalam kasus terakhir
ini, karena Kepala tidak mengadakan tindakan, para Uskup juga tidak dapat
bertindak sebagai Dewan, seperti jelas pula dari pengertian “Dewan” (“Collegium”).
Persekutuan hirarkis semua para Uskup dengan Paus dalam Tradisi jelas sudah
lazim.
NB. Tanpa persekutuan hirarkis itu mustahil dijalankan tugas
sakramentalontologis, yang harus dibedakan dari aspek kanonik-yuridis. Akan
tetapi Komisi untuk Ajaran berpandangan: bahwa soal-soal sekitar “liseitas”
(halalnya) atau “validitas” (sahnya) tindakan disini tidak usah di bahas,
melainkan diserahkan kepada perdebatan para teolog, khususnya melalui
kekuasaan, yang di facto dijalankan dalam Gereja-Gereja Timur yang terpisah;
mengenai penjelasan hal terakhir itu terdapat pelbagai pendapat.
+ PERICLES FELICI
Uskup
Agung tituler Samosata,
Sekretaris
Jendaral,
Konsili Ekumenis
Vatikan II.
[1]
Dua catatan yang di kutib
dari Risalah Konsili ini disampaikan kepada para Bapa Konsili untuk menjelaskan
suara yang mereka berikan. Keduanya penting untuk menafsirkan Konstitusi ini.
Paus Paulus VI menggarisbawahinya dalam amanat beliau kepada para Bapa Konsili
menjelang penutupan Sidang III Konsili, pada tanggal 21 November 1964, pada
saat beliau secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja, mengenai ajaran
tentang martabat Uskup: “… sambil mengindahkan penjelasan-penjelasan yang
diberikan baik untuk penafsiran yang harus diberikan kepada istilah-istilah
yang digunakan, maupun untuk kualifikasi teologis yang oleh Konsili mau diberikan
kepada ajaran yang diuraikan, kami tidak ragu-ragu, berkat pertolongan Allah,
untuk secara resmi mengumumkan Konstitusi tentang Gereja” (Doct. Cath.
LXI, tgl. 6 Desember 1964, kolom 1589).
[2] Kewibawaan tertinggi, yang telah
meminta, supaya pembahasan amandemen-amandemen naskah “de Ecclesia” didahului
dengan penjelasan pendahuluan, jelas ialah paus Pulus VI sendiri.
[3] “Modi” ialah amandemen-amandemen
yang diajukan oleh para Bapa Konsili kepada Komisi untuk Ajaran.
[4] Lih. Konsili dogmatis tentang
gereja, art. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar