Jumat, 21 Oktober 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL ANAM AYAT 101

 


Dia (Allah) pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS 6: 101)

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas dan dasar iman bagi hidupnya. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan langsung kepada nabi Muhammad SAW (570 – 632 M). Apa yang tertulis dalam kitab itu, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas, diyakini sebagai perkataan Allah sendiri. Keyakinan ini didasarkan pada firman Allah sendiri yang banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, umat islam akan marah jika ada yang melecehkan Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya pelecehan terhadap Allah, dan umat islam wajib bangkit untuk melawan. Allah sudah memberi perintah agar umat islam membela Allahnya yang mahakuat dan maha perkasa. Dan terhadap pelaku pelecehan itu, Allah sudah menentukan hukumannya, yaitu dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).

Umat islam meyakini bahwa Allah itu maha segalanya. Berhubung Allah itu maha benar, maka Al-Qur’an diyakini sebagai kitab yang benar. Dasar keyakinan umat islam ini tidak hanya berdasarkan dari konsekuensi logis atas keyakinannya akan Allah yang maha benar, melainkan karena Allah sendiri sudah menyatakan hal tersebut dalam kitabnya. Malah bisa dikatakan perkataan Allah inilah yang menjadi keyakinan utamanya, karena bagi umat islam Allah tidak mungkin salah dan berbohong.

Berangkat dari dua pemahaman di atas, maka kutipan ayat di atas merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Kutipan ayat di atas diambil dari surah al-Anam, surah keenam dalam Al-Qur’an, ayat 101. Memang harus juga diakui tidak semua yang tertulis di atas merupakan kata-kata Allah. Dua kata yang berada dalam tanda kurung, yakni kata “Allah” dan kata “mungkin” dapat dipastikan merupakan tambahan kemudian yang berasal dari tangan manusia. Dengan kata lain, dua kata itu tidak pernah diucapkan oleh Allah. Sebenarnya tanpa ada tambahan itu pun, kalimat Allah sudah jelas. Kata “mungkin” hanya untuk mempertegas kata di depannya, sedangkan kata “Allah” untuk menjelaskan arti kata ganti “Dia”. Tanpa kata “Allah”, pembaca sudah tahu bahwa yang dimaksud dengan “Dia” adalah Allah. Ini bila dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya. Dari ayat 95, sudah digunakan kata ganti “Dia” sebagai ganti Allah yang ada di depannya. Memang menjadi pertanyaannya, kenapa sebelum ayat 95 Allah memakai kata ganti “Kami” sebagai ganti Allah (ayat 89 – 94, dan sebelum ayat 89 kembali pakai “Dia”). Atau kenapa sesudah ayat 104 Allah memakai kata ganti “Kami” sebagai ganti Allah. Jadi, di sini sudah terlihat jelas 3 hal, yaitu betapa Allah islam tidak konsisten, Allah islam tidak jelas dan/atau Allah islam lebih dari satu (karena “kami” dan “dia” adalah 2 entitas yang berbeda).

Kutipan kalimat Allah di atas jelas sekali maknanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah bahwa wahyu yang disampaikan-Nya adalah mudah dan jelas. Kemudahan dan kejelasan ini membuat pembaca tidak kesulitan menangkap makna atau pesan Allah. Karena jelas dan mudah, maka dengan sangat mudah pula orang langsung menyatakan bahwa wahyu Allah tersebut tanpa masalah. Padahal jika ditelaah secara kritis dengan alat bantu nalar akal sehat, maka akan ditemukan beberapa persoalan. Persoalan baru ditemui ketika kita menempatkan wahyu Allah itu pada konteksnya, yakni Allah berbicara kepada Muhammad. Jadi, pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”

Persoalan yang langsung terlihat adalah siapa yang dimaksud Allah dengan kata “Dia”. Memang dengan sangat mudah kita akan mengatakan “Dia” itu adalah Allah, karena memang Allah adalah pencipta langit dan bumi, Dia-lah yang menciptakan dan mengetahui segala sesuatu. Berdasarkan konteksnya, pernyataan Allah menciptakan langit dan bumi serta mengetahui segala sesuatu ini diucapkan oleh Allah. Secara logika akal sehat, Allah yang berbicara berbeda dengan Allah yang disebutkan itu. Bagaimana mungkin Allah yang berbicara adalah juga Allah pencipta, padahal Allah ini menyebut “Dia”. Kata “dia” merujuk pada entitas di luar dari orang yang menyebut. Jika Allah pencipta itu sama dengan Allah yang berbicara, seharusnya Allah berkata, “Aku pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin) Aku mempunyai anak, padahal Aku tidak mempunyai istri. Aku menciptakan segala sesuatu; dan Aku mengetahui segala sesuatu.”

Sebagai perbandingan, saya berkata, “Dia pergi ke Medan.” Tidaklah mungkin yang pergi ke Medan itu saya. Yang pergi ke Medan itu adalah dia; dan dia itu bukanlah saya. Bila yang pergi ke Medan itu saya, maka redaksinya adalah, “Aku pergi ke Medan.” Demikian halnya dengan wahyu Allah di atas. Ketika Allah menyebut “Dia”, dan kata itu dimaknai sebagai Allah, maka haruslah dikatakan ada DUA Allah, yang pertama adalah Allah yang berbicara, dan kedua Allah pencipta. Dengan demikian Allah islam bukan ada SATU, tetapi ada DUA.

Demikianlah persoalan kecil yang muncul dari kutipan kalimat Allah di atas. Sekalipun kecil, dampaknya cukup besar, karena terkait dengan iman. Agama islam selalu dikaitkan dengan agama tauhid, agama yang percaya pada Allah yang maha esa. Umat islam sangat yakin Allah itu satu. Adalah dosa besar bila menduakan atau mempersekutukan Allah. Akan tetapi, telaah kritis atas wahyu Allah ini justru membuktikan bahwa Allah islam itu ada dua, yang yang mengatakan itu adalah Allah sendiri. Jadi, Allah yang mengatakan bahwa Allah itu esa dan melarang umat islam menduakan Allah, tapi Allah sendiri yang mengatakan Allah itu ada dua. Di sini sepertinya Allah menyangkal diri-Nya sendiri. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa yang dilarang menduakan Allah itu umat, sedangkan Allah boleh.

Di sini terlihat kekacauannya. Melihat kekacauan ini dengan mudah orang menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin kutipan ayat Al-Qur’an di atas merupakan wahyu Allah. Bagaimana mungkin Allah yang sempurna menghasilkan yang kacau balau. Bagaimana mungkin Allah menyangkal diri-Nya sendiri. Mungkin ada yang mengatakan bahwa kutipan kalimat di atas diucapkan oleh Jibril, utusan Allah, kepada Muhammad. Dengan demikian haruslah dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak sepenuhnya wahyu yang langsung dari Allah, karena ternyata Allah menyampaikan wahyu-Nya melalui perantara. Kalau pun benar Jibril yang berbicara kepada Muhammad, tetaplah harus dikatakan kutipan kalimat di atas bukan merupakan wahyu Allah atau bukan asli kata-kata Allah. Secara logika dan juga linguistik itu adalah perkataan Jibril yang mau menjelaskan kepada Muhammad tentang Allah, yaitu bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi; bahwa Allah tidak melahirkan karena tak punya istri; bahwa Allah itu menciptakan dan mengetahui segala sesuatu. Jika yang diucapkan Jibril itu sungguh kata-kata Allah, mengingat Jibril adalah utusan Allah, maka semestinya Jibril berkata, “Allah berfirman: ….” Dan ini harus sudah terlihat pada ayat 95 karena pada ayat 94 tidak lagi dipakai kata “Dia” tetapi “Kami” sebagai ganti Allah. Selain itu, kata ganti untuk Allah yang digunakan Jibril adalah “Aku”, bukan “Dia”. Persoalan kecil lain adalah kenapa pada ayat 105 tidak lagi dipakai kata “Dia”, tetapi kata “Kami” sebagai ganti Allah? Apakah kata “Kami” di sini hendak merujuk pada Allah dan Jibril? Jika memang demikian, bukankah ini berarti sudah mempersekutukan Jibril dengan Allah?

Karena itu, haruslah dikatakan ayat di atas berasal dari Muhammad. Kutipan di atas adalah kata-kata Muhammad, yang diletakkannya di mulut Allah, sehingga seolah-olah itu adalah perkataan Allah. Waktu itu, setelah “kesurupan” akibat kedatangan wahyu Allah, Muhammad menyampaikan firman Allah kepada orang Mekkah (mungkin khusus para pengikutnya). Muhammad ingin menjelaskan kepada orang bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi. Tidak mungkin Allah mempunyai anak, karena Allah tidak mempunyai istri. Allah itu mahakuasa.

Menjadi pertanyaan, apa yang menjadi latar belakang munculnya kutipan kalimat di atas? Atau, apa yang menginspirasi Muhammad sehingga muncullah pernyataan tersebut? Ada 2 kemungkinan untuk hal ini. Pertama, Muhammad mau mengkritisi pandangan orang pagan dimana dewa-dewa punya anak. Pandangan ini hidup di kalangan orang Arab dan suku-suku lain, yang terlihat dari patung-patung yang menghiasi Ka’bah. Kedua, Muhammad mau mengkritisi pandangan orang Kristen. Bisa saja Muhammad mendengar omongan orang Kristen bahwa mereka adalah anak-anak Allah, atau pernyataan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Atau juga Muhammad mendengar dan ingin mengkritisi syahadat iman orang Kristen. Mana yang benar? Tidak ada kepastian.

Yang menarik kalau menelaah kalimat kedua dan ketiga dari kutipan kalimat di atas. Sangat jelas kalau kalimat ini buah pemikiran manusia. Akan tetapi, pemikiran ini jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan manusia. Setiap manusia yakin Allah itu mahakuasa. Hal ini terlihat pada kalimat ketiga: “Allah menciptakan segala sesuatu.” Jika mengakui Allah itu mahakuasa, bisa menciptakan segala sesuatu, maka harus juga diakui Allah bisa mempunyai anak sekalipun tak punya istri. Apa yang tidak mungkin bagi manusia, menjadi mungkin bagi Allah.

DEMIKIANLAH kajian logis atas surah al-Anam ayat 101. Dari kajian ini terlihat jelas 2 hal, yaitu jika diyakini kutipan di atas adalah wahyu Allah, maka Allah islam itu ada DUA. Hal ini tentulah bertentangan dengan konsep tauhid islam. Hal kedua kalau tetap meyakini Allah hanya ada SATU, maka kutipan ayat Al-Qur’an di atas harus diakui bukanlah wahyu Allah. Bukan juga perkataan Jibril, utusan Allah. Kutipan di atas merupakan perkataan Muhammad, yang dibuat seolah-olah kata-kata Allah. Ini seakan menegaskan kembali apa yang pernah dikatakan orang kafir di Mekkah pada masa Muhammad, bahwa Al-Qur’an merupakan rekayasa Muhammad (QS al-Anbiya: 5).

Lingga, 3 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar