Minggu, 25 Juli 2021

MENGGUGAT TAUSIYAH DENGAN AKAL SEHAT


 

Belum lama ini jagat net atau sosial media diramaikan dengan persoalan kotbah atau ceramah keagamaan (tausiyah) dari beberapa ustad. Ada yang melarang lagu kebangsaan Indonesia Raja atau lagu “naik-naik ke puncak gunung”. Ada ustad yang melarang umat islam menyimpan dalam rumahnya patung atau gambar manusia. Ada juga ustad yang mengatakan pada salib ada jin kafir. Yang sedikit mesum adalah ajaran bahwa pria muslim boleh bersetubuh dengan budak perempuan sekalipun tidak dalam ikatan perkawinan. Masih banyak ceramah ustad yang bagi “orang waras” sungguh tak masuk di akal.

Seperti biasa, ceramah-ceramah keagamaan ini, yang semuanya dapat dikatakan bersumber dari ajaran islam, selalu menimbulkan argumen pro dan kontra. Ada yang mendukung, tapi ada juga yang menentang dan mengecam. Pro kontra ini tidak hanya terjadi di kalangan umat non muslim, tetapi juga di kalangan umat islam sendiri.

Pada tulisan ini kami tidak akan mempermasalahkan mereka yang mendukung ceramah para ustad tersebut, karena kami menilai dukungan mereka mempunyai dasar. Artinya, ada dasar untuk mendukung tausiyah para ustad itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri membela, baik secara terbuka maupun tertutup. Yang kami persoalkan di sini adalah mereka yang menolak bahkan mengecam.

Kerap terjadi orang mengecam atau mempermasalahkan ceramah para ustad tadi hanya dilandasi pada ketidak-sukaan akan isi ceramah, bukan pada kebenaran. Ketidak-sukaan itu akhirnya bermuara pada ketidak-sukaan pada pribadi ustadnya. Karena tidak suka, biasanya para ustad ini diberi label “wahabi” atau “islam radikal” atau “islam ekstrem”. Umumnya ketiga label tersebut mempunyai makna negatif. Orang yang diberi label tersebut adalah orang yang buruk atau jahat, sehingga harus disingkirkan.

Ada kesan kalau para argumentator kontra ini lupa kalau para ustad ini menyampaikan apa yang diajarkan oleh agamanya. Misalnya, soal larangan akan patung dan gambar, bukanlah ajaran ustad itu, tetapi ajaran nabi Muhammad. Dasarnya ada pada hadis. Demikian pula soal larangan menyanyi. Kami sendiri, tak lama setelah peristiwa Ustad Abdul Somad (UAS) dengan jin kafirnya, mencoba menggali dasar dari pernyataan beliau. Dan ternyata apa yang disampaikannya benar-benar merupakan aqidah islam, sesuai dengan ajaran islam. Kami pun akhirnya bisa memahami kenapa UAS bersikukuh tidak mau minta maaf, sekalipun karena itu orang akan menilai bahwa islam membolehkan menghina agama lain. Karena itu, mengecam atau mempermasalahkan mereka sama halnya dengan mengecam dan mempermasalahkan sumber ajaran islam.

Soal label yang diberikan kepada para ustad ini, kami jadi ingat akan kebiasaan umat islam pada umumnya yang suka memberi label “islamfobia” kepada orang yang mempunyai pemikiran atau pandangan negatif terhadap islam. Kami melihat adanya kemiripan. Keduanya sama-sama diberi atas dasar ketidak-sukaan, bukan pada kebenaran. Label “islamfobia” diberikan karena umat islam tidak suka dengan pandangan terhadap islam yang negatif. Misalnya seperti soal terorisme yang dikaitkan dengan islam atau soal nabi Muhammad yang menikah dengan anak usia 6 tahun dan bersetubuh dengan anak usia 9 tahun. Umat islam tidak suka dengan pemikiran ini, sekalipun pemikiran ini benar dan memiliki landasannya, karena pemikiran tersebut membuat jelek islam. Padahal mereka tahu islam itu agama yang sempurna dan Muhammad adalah teladan agung.

Akan tetapi, yang tampak di permukaan pemberian label ini seolah-olah dikaitkan dengan kebenaran. Dengan memberi label, orang seakan-akan menilai bahwa yang diberi label adalah salah, sedangkan yang memberi label adalah benar. Inilah yang terlihat dipermukaan, dan kesannya umat tidak menyadari hal ini. Hanya orang yang waras bisa melihat adanya ketimpangan ini. Mereka tetap menilai bahwa label tidak ada kaitan dengan kebenaran; semua ini murni urusan perasaan, suka dan tidak suka. Kalau mau jujur, justru kebenaran terletak pada apa yang disampaikan oleh para ustad itu (tolok ukurnya adalah ajaran agama).

Pelarangan musik, patung dan gambar manusia ada dalam hadis. Sedangkan ajaran yang membolehkan pria muslim bersenggama dengan budak perempuan dapat ditemukan pada Al-Qur’an. Nabi Muhammad sendiri, yang bagi umat islam dianggap sebagai teladan agung, pernah bersetubuh dengan budah perempuannya. Nah, nabi yang istimewa itu saja melakukan, apalagi umat islam, yang memang terpanggil untuk mengikuti teladannya.

Jadi, tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh para ustad itu. Semuanya berdasarkan sumber islam sendiri. Artinya, agama islam memang mengajarkan bahwa umat islam haram mendengar musik (apalagi memainkan, haram menyimpan patung atau gambar manusia dirumahnya, haram memelihara anjing; boleh bersetubuh dengan budaknya. Mereka yang mempersoalkan itu hanyalah membenturkan ajaran islam dengan tata aturan yang ada dalam negara Indonesia. Dengan kata lain, mereka yang kontra lebih memilih taat pada aturan negara ketimbang aturan Allah, sementara mereka yang pro pada ceramah ustad itu memilih untuk taat pada kehendak Allah.

Karena itu, bisa disimpulkan bahwa secara implisit, dalam kaca mata orang yang kontra, ada yang aneh – kalau tak boleh mengatakan salah – dengan ajaran islam. Ini tentu karena mereka menggunakan akal sehat. Hanya sayangnya mereka tidak memberikan mana yang seharusnya benar. Dengan kata lain, mereka hanya bisa mengatakan tausiyah para ustad itu salah, tanpa pernah menunjukkan mana yang benar. Seandainya pun mereka memperlihatkan yang benar, bisa dipastikan kebenaran itu bukan bersumber dari ajaran agama islam.

Dabo Singkep, 6 Juni 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar