Al-Qur’an diyakini oleh umat islam sebagai
wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada nabi Muhammad. Apa yang tertulis
dalam Al-Qur’an sekarang merupakan kata-kata Allah sendiri. Karena itulah, umat
islam menilai Al-Qur’an itu suci sehingga harus dihormati. Pelecehan terhadap
Al-Qur’an dinilai sebagai pelecehan terhadap Allah. Umat islam sudah
diperintahkan untuk membunuh orang yang melakukan hal tersebut.
Benarkah apa yang tertulis dalam Al-Qur’an
itu sungguh perkataan Allah, tanpa campur tangan atau pengaruh luar? Tentulah
umat islam tidak akan mau menerima klaim adanya pengaruh luar dalam kitab
sucinya. Karena itulah, dalam islam tidak ada studi terhadap Al-Qur’an. Kitab
tersebut diterima begitu saja.
Padahal, bila dilakukan tinjauan dan
perbandingan ilmu-ilmu lain, maka dapat terlihat adanya pengaruh asing dalam
Al-Qur’an. Ketika mengkritisi Al-Qur’an, Ibn Warraq menemukan ada banyak sumber
yang menjadi rujukan Al-Qur’an. Dengan demikian, ia tidak murni dari Allah.
Warraq menyebut sumber Al-Qur’an 10% dari Kitab Talmud Babilonia, 5% dari
potongan Injil yang diselewengkan, 25% dari Hindu, 10% dari kepercayaan
animisme Arab dan 40% khayalan Muhammad. Temuan Warraq ini dituangkannya dalam
buku yang berjudul “Membedah Asal Usul Al-Qur’an”.
Kami sendiri menemukan adanya jejak ajaran
Nestorianisme dalam Al-Qur’an. Kebetulan, kaum nasrani yang ada di Mekkah dan
Madinah pada masa Muhammad adalah kaum nasrani yang beraliran Nestorian. Mereka
sudah dinyatakan sesat oleh Konsili Efesus pada
431 Masehi. Lebih lanjut mengenai
jejak nestorianisme ini, siahkan baca di “Menemukan Jejak Nestorianisme dalamIslam”.
Akan tetapi, ternyata bukan hanya ajaran nestorianisme saja yang ada dalam Al-Qur’an, melainkan juga ajaran Gnostisisme turut memberi pengaruh. Kebetulan ajaran nestorianisme tak bisa juga dipisahkan dari ajaran gnostisisme. Pada abad pertama, aliran ini menjadi ancaman bagi keyakinan iman kaum kristiani. Pengaruh aliran gnostisisme dalam Al-Qur’an tampak dalam pandangannya terhadap Yesus atau Isa Almasih.
Dikutip dari https://filsafatteologikatolik.wordpress.com/,
gnostisisme merupakan sistem
kepercayaan dalam yang beranggapan bahwa keselamatan bergantung sepenuhnya pada
pengetahuan khusus atau pencerahan tentang Allah yang membebaskan orang dari
ketidak-tahuan dan kejahatan yang merupakan ciri tata ciptaan. Aliran ini sudah ada sebelum kelahiran Yesus. Ada yang
menduga bahwa paham ini berasal dari Mesopotamia lalu menyusupi Yudaisme
sebelum berkontak dengan kekristenan awal. Aliran ini baru berkembang pesat
antara tahun 130 dan 180 Masehi. Namun pada Abad Pertengahan, keberadaan kaum
gnostik semakin berkurang karena pengikutnya memeluk islam. Apa
dan bagaimana pandangan gnostisisme terkait Yesus Kristus?
YM. Seto Marsunu, ketika mengulas 1Yohanes 5:
6 – 9, mengatakan bahwa aliran ini berpendapat Yesus lahir sebagai manusia,
lalu pada pembaptisan Yesus yang ilahi turun ke dalam manusia Yesus. Pada saat
berkarya, Yesus yang manusia dan yang ilahi bersatu. Kemudian saat kematian di
kayu salib, Yesus yang ilahi meninggalkan Yesus yang manusiawi dan kembali pada
kemuliaan-Nya di surga. Dengan demikian, yang mati di kayu salib bukan Yesus
yang llahi tetapi Yesus yang manusiawi, dan kematian-Nya tidak memiliki nilai
keselamatan bagi manusia (Lih. Pendalaman Kitab Suci, vol. 30, no. 1, Januari –
Februari 2015, hlm. 13).
Gambaran gnostisisme tentang Yesus ini tak
jauh beda dengan gambaran Al-Qur’an tentang Yesus. Sekalipun tidak memberikan
kejelasan dan ketegasan kapan kehadiran Yesus yang manusiawi dan yang ilahi
serta bagaimana kesatuan keduanya, Al-Qur’an mengakui adanya dua dimensi itu dalam
diri Yesus. Artinya, Al-Qur’an mengakui juga keilahian Yesus, meski tidak
secara tegas dan jelas, karena takut terbentur dengan konsep tauhid, yang
begitu ditekankan dalam warta Muhammad. Keilahian Yesus tampak dalam beberapa
ayat Al-Qur’an, seperti tahu soal hari kiamat (QS 43: 61), sebagai Kalimat
Allah (QS Ali Imran: 45, dan QS an-Nisa: 171), sebagai Roh Allah (QS an-Nisa:
171). Akan tetapi, keilahian Yesus dalam Al-Qur’an “dikalahkan” oleh
kemanusiaan-Nya, sehingga tetap saja umat islam memandang Yesus sebagai manusia
biasa. Al-Qur’an menghina orang yang memandang Yesus sebagai Allah dengan
sebutan kafir (QS al-Maidah: 72).
Pengaruh gnostisisme sangat jelas terbaca
dalam peristiwa kematian Yesus, yang dalam Al-Qur’an diwartakan dalam QS
an-Nisa: 157. Agak mirip seperti gnostisisme, Al-Qur’an menilai bahwa yang mati
itu bukanlah Yesus, melainkan “orang yang diserupakan” dengan-Nya. Al-Qur’an
membuatnya menjadi orang yang diserupakan, karena sulit memahami konsep
dualisme gnostisisme, yakni yang ilahi dan yang manusiawi menyatui dalam satu
sosok, dan mati tergantung di salib. Bukan tidak mungkin dasarnya karena yang
menerima wahyu tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai. Jadi, pada
prinsipnya Al-Qur’an mengakui konsep gnostisisme bahwa yang mati di salib bukan
Yesus ilahi.
Menjadi menarik jika melihat kelanjutannya.
Gnostisisme mengajarkan bahwa pada peristiwa salib, Yesus ilahi meninggalkan
raga manusiawi-Nya dan kembali pada kemuliaan-Nya di surga. Ini juga yang
diakui oleh Al-Qur’an, meski bukan dalam bentuk dualisme Yesus. Dalam ayat 158 dari
surah yang sama dikatakan bahwa Allah mengangkat Yesus ke hadirat-Nya. Secara
sederhana Al-Qur’an mengaui bahwa Yesus tidak mati di salib, tapi Dia langsung
diangkat ke surga. Jadi, Al-Qur’an mempunyai pemahaman yang sama seperti konsep
gnostisisme, meski redaksi bahasa yang berbeda.
Dari uraian ini terlihat jelas bahwa
Al-Qur’an juga memiliki konsep yang sama dengan gnostisisme, yaitu kematian
Yesus tidak mempunyai nilai keselamatan bagi manusia. Ada kesan kalau Al-Qur’an
menilai “salib” sebagai momok dan aib jika Yesus yang merupakan utusan Allah
benar-benar mati. Penilaian ini tak jauh beda dengan pandangan yang sudah ada
sejak abad pertama. Karena itulah, islam memandang negatif terhadap salib. Hal
ini terbaca dari sebuah hadis yang mengatakan bahwa ketika akhir jaman Yesus
datang kembali, Ia akan akan mematahkan salib-salib di dunia. Atau pada
pernyataan Ustad Abdul Somad (UAS), dimana pada salib ada jin kafir.
Kita dapat merangkumkan kemiripan pandangan
gnostisisme dan Al-Qur’an terkait dengan Yesus Kristus.
Gnostisisme |
Al-Qur’an |
Ada
dimensi ilahi dan manusia dalam diri Yesus. |
Ada
dimensi ilahi dan manusia dalam diri Yesus. |
Yang
mati adalah bukan Yesus ilahi, tapi Yesus manusiawi |
Yang
mati adalah orang yang mirip dengan Yesus. |
Ketika
mati, Yesus ilahi meninggalkan raga manusiawi dan kembali kepada kemuliaan. |
Ketika
mati, Allah mengangkat Yesus ke surga. |
Salib
tidak punya makna keselamatan |
Salib
tidak punya makna keselamatan |
Akan
tetapi, sikap dan pandangan Al-Qur’an tentang siapa yang mati di salib
mengandung konsekuensi lebih berat daripada pandangan gnostisisme, bila
dikontraskan dengan data dan fakta sejarah. Catatan sejarah dunia mengatakan
bahwa Yesus-lah yang mati di salib. Ketika dikonfrontasikan dengan catatan
sejarah ini, pandangan gnostisisme tidak menemukan kendala, karena mereka akan
mengatakan bahwa yang tergantung itu adalah Yesus yang manusiawi. Tidaklah
demikian dengan Al-Qur’an. Menjadi persoalan adalah Al-Qur’an merupakan wahyu
Allah, dimana Allah diyakini sebagai mahabenar dan maha mengetahui. Bagaimana
mungkin Allah yang mahabenar dan maha mengetahui bisa berbeda pandangan dengan
catatan sejarah?
Demikianlah uraian singkat mengenai adanya
pengaruh gnostisisme dalam Al-Qur’an. Seperti aliran nestorianisme, gnostisisme
sudah ada jauh sebelum wahyu QS an-Nisa: 157 – 158 diturunkan. Bahkan
gnostisisme lebih dahulu ada daripada nestorianisme. Karena itu, tidaklah
mungkin mengatakan gnostisisme mengambil pandangan Al-Qur’an. Kemungkinan
terbesar adalah Allah mendapat inspirasi dari gnostisisme, lalu mengolahnya
berdasarkan kemampuan yang dimiliki baru kemudian diturunkan kepada Muhammad.
Lingga,
30 Mei 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar