Selasa, 01 Desember 2020

MUHAMMAD DAN SINDROM NAPOLEON


Napoleon adalah salah satu tokoh sejarah Perancis yang hidup tahun 1769 - 1821. Ada anggapan bahwa tokoh ini pendek perawakannya. Istilah “sindrom Napoleon” biasa dikenakan kepada seseorang yang menderita gangguan seperti memiliki sifat sebagai orang yang arogan, sombong, narsis dan agresif. Sangat menarik, bahwa karakteristik ini sangat umum dialami oleh pria berpostur tubuh pendek, kurang dari 165 cm. Apakah nabi Muhammad SAW mengalami sindrom Napoleon?

Menurut ilmu psikologi, sindrom Napoleon digambarkan sebagai orang yang menderita kecenderungan ‘kompleksitas rasa rendah diri’ yang kuat dan sangat rentan untuk mengompensasi berlebihan badan mereka yang pendek dengan perilaku yang sombong dan tidak bertanggung-jawab, untuk mendapatkan hormat dan penerimaan dari ‘kawan-kawan mereka yang besar’. Orang dengan kompleks ini mempunyai karakter sosial yang terlalu agresif dan mendominasi. Sebelum menjelaskan kerumitan dari gangguan ini, pertama-tama perlu diketahui berapa sesungguhnya tinggi tubuh Muhammad. Memang umat islam selalu menggambarkan Muhammad dengan perawakan sempurna: tinggi, tegap, atletis dan macho. Namun beberapa sumber islam menyebut Muhammad sebenarnya termasuk cebol, dan juga gendut.

Telah menceritakan kepada kami muslim bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Abdussalam bin Abu Hazim Abu Thalut ia berkata; Aku melihat Abu Barzah masuk menemui Ubaidullah bin Ziyad, lalu ada seseorang dalam sebuah rombongan bernama muslim bercerita kepadaku. Ketika Ubaidullah melihatnya, ia berkata, "Sesungguhnya salah satu dari kelompok Muhammad adalah orang yang gemuk dan pendek." (Abu Dawud 4124, cetak tebal dari kami sebagai penekanan).

Dari kutipan hadis tersebut, perkataan Ubaidullah menjelaskan bahwa postur Muhammad adalah gemuk dan pendek. Akan tetapi, ada juga terjemahan lain yang berdampak pada beda tafsiran: "Sesungguhnya salah satu dari kelompok Muhammad ada orang yang gemuk dan pendek." Pada kalimat ini, postur tubuh gemuk dan pendek ada dalam kelompok Muhammad, entah siapa itu. Terjemahan mana yang benar, tak ada ada yang tahu persis.

Namun untuk mendukung pernyataan pertama, kisah “testing roh” dapat memberi gambaran soal postur Muhammad. Dikisahkan suatu hari Khadijah, istri Muhammad, ingin mengetes apakah kerasukan Muhammad disebabkan oleh iblis atau roh ilahi. Khadijah mau meyakinkan Muhammad bahwa dia ‘waras’.

 “Bisakah kamu katakan kalau roh itu datang kepadamu?” Ketika Muhammad mengatakan bahwa roh itu sudah datang, Khadijah berkata, “Muhammad, duduklah di paha kiriku.” Muhammad duduk di paha kirinya. “Apa kamu masih lihat roh itu?” tanyanya. “Ya.” “Kalau begitu duduk di paha kananku.” Muhammad duduk di paha kanannya. “Apa masih kamu lihat roh itu?” tanyanya. “Ya,” jawabnya. “Kalau begitu duduklah di pangkuanku. “Muhammad duduk di pangkuannya. “Masih kamu lihat roh itu?” tanyanya. “Ya,” jawabnya. Khadijah membuka bagian feminin dari tubuhnya selagi Muhammad duduk di pangkuannya. “Masih kamu lihat roh itu?” “Tidak,” jawabnya. Kemudian Khadijah berkata, “Muhammad, roh itu adalah malaikat, bukan iblis”

Dari kisah tersebut sulit membayangkan jika Muhammad, yang ketika menikah dengan Khadijah berusia 24 tahun, berpostur besar, tegap dan macho duduk di paha seorang wanita berusia 40-an. Ada kesan kalau Khadijah sedang memangku seorang anak kecil. Hal inilah yang membuktikan bahwa Muhammad mempunyai tubuh pendek atau kecil. Karena itu, ciri fisik ini bisa menjadi indikasi adanya gangguan sindrom Napoleon. Secara umum, orang yang bertubuh pendek sulit mendapatkan perhatian. Mereka merasa tidak layak dan butuh diyakinkan terus menerus. Kebutuhan akan perhatian ini, pada diri Muhammad ditunjang juga oleh pengalaman penolakan yang dialaminya pada masa kanak-kanak.

Akibatnya, Muhammad menciptakan cerita bohong guna melatar-belakangi ‘kenabian’-nya dan mengarang bertemu dengan makhluk supranatural. Berhubung juga orang Arab sedang dalam pencarian jati diri religiositas, mereka langsung terkesima dengan hal-hal tidak masuk akal yang kotbahkannya. Muhammad menterjemahkan kekaguman mereka akan dirinya sebagai sesuatu hal yang positif yang meneguhkan sifat psikopatnya yang semakin lama semakin besar, yang kemudian makin mengkondisikan dirinya sehingga perilaku tersebut menjadi permanen.

Orang yang bertubuh kecil memiliki kecenderungan menjadi yang paling lantang kalau berada di dalam suatu acara sosial, menjadi terobsesi dengan body-building, peningkatan gambar diri, dan melebih-lebihkan pencapaian mereka (jika mereka punya). Mereka yang mengidap ‘sindrom Napoleon’ akan mengarang kebohongan untuk meninggikan dirinya secara profesional maupun secara sosial, yang secara umum memualkan bagi yang mendengarnya. Mempromosikan diri sendiri adalah sifat yang umum yang terjadi di setiap pria yang berukuran kecil. Ketakutan mereka yang paling besar adalah kalau mereka semakin lama semakin menghilang menjadi tidak berharga dan tidak dibutuhkan lagi.

Muhammad menderita sindrom ini dengan amat jelas. Jika mempelajari hadis, akan didapati bahwa Muhammad melakukan semua karakter yang merupakan indikasi dari gangguan perilaku jenis ini. Ia sangat sering mempromosikan dirinya sendiri, menjuluki dirinya sebagai “pribadi dengan derajat karakter yang mulia”, “tauladan perilaku yang istimewa” dan sang “insan sempurna.” Dan setelah didiskusikan sebelumnya, sifatnya yang cenderung membenci laki-laki dan membenci wanita (misandry dan misogyny) tentu akan memaksa Muhammad untuk menguasai dan mengendalikan istri-istrinya, dan wanita pada umumnya. Alhasil, tidak terhindarkan untuk seseorang dengan tubuh kecil yang mengalami ‘sindrom Napoleon’ untuk mengendalikan orang lain, karena itu lah yang terpenting.

Dengan cara yang sama, sebagai individu yang selalu iri yang tidak tahan melihat orang lain mengungguli dirinya, ia dengan arogannya melarang para pengikutnya bermain atau memainkan alat musik. Bila seseorang dapat memainkan suatu alat musik tentu akan memerlukan suatu kemampuan tertentu. Jika Muhammad tidak dapat memainkan satu pun jenis alat musik, maka hal itu membuktikan bahwa ia bukanlah ‘insan yang sempurna’ sebagaimana ia seharusnya. Bagaimana pun hal itu akan sangat menjengkelkan perasaannya untuk mendengar sesuatu yang indah, yang dilakukan sekelompok orang yang bersama-sama memainkan talenta mereka, sementara mereka tahu bahwa ia tidak bisa memainkannya, atau bahkan memahami kerumitan dari keindahan suatu pertunjukkan seni.

Bagaimanapun, setelah menyingkirkan para pengikutnya dari hal-hal yang sensual, ia menyebarkan suatu kebohongan bahwa ia sendiri memiliki kemampuan ‘supranatural’ yang tidak terbatas, yang jauh melebihi orang biasa - bahkan mencontek keajaiban-keajaiban yang dilakukan Yesus. Dikisahkan Muhammad mampu membelah bulan, mengeluarkan air dari jari-jarinya (untuk wudhu) dan melipat gandakan roti untuk pengikutnya. Tentu saja hal itu adalah kebohongan yang dikarang para fanatik islam untuk menyebarkan mitos, tetapi sebenarnya hal itu menaruh kaum muslim di posisi yang mempertanyakan apakah benar orang ini sebenarnya adalah penipu.

Muhammad tahu bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan seperti nabi-nabi yang tercatat di dalam tradisi Yahudi, apalagi memahami strategi sederhana. Ia tak pernah mengerti teori strategis, memandang jauh ke depan, atau antisipasi, dan malahan bersandar semata-mata pada pe-’wahyu’-an aneh yang dikarangnya untuk mengamankan dirinya ketika tertangkap basah sedang berbuat senonoh - sesuatu yang selalu dilakukannya. Kampanye militernya didanai dari merampok dan menyerang siapa saja yang lewat di jalur dagang, yang menunjukkan ketidak-mampuannya untuk mengatur tetapi menunjukkan kalau dirinya adalah semata seorang barbar tanpa otak. Hal ini sekali lagi menunjukkan ‘perilakunya yang beresiko’.

Kenyataannya, berulang kali Muhammad gagal dalam usahanya menginvasi Mekkah membuktikan kemampuannya ber-strategi di bawah rata-rata. Oleh karena itu, tidak heran kalau ia akhirnya melarang permainan penuh strategi seperti ‘catur’, karena setiap orang yang benar-benar menguasai dasar-dasar catur yang berdasarkan matematika bisa tanpa sengaja mengalahkan sang ‘nabi’ - suatu prospek yang tidak bisa diterima untuk seseorang yang dianggap terpilih oleh Allah dari antara semua umat manusia.

Pelan tapi pasti, melalui rasa bahwa dirinya lah yang terpenting yang makin besar, Muhammad menyingkirkan segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan dari kehidupan kaum muslim. Misalnya seperti musik, perhiasan emas, gambar/seni, dll. Perbuatannya yang terakhir membuang total individualitas dengan pembatasan model rambut dan cita rasa berpakaian, tidak berbeda dengan negara yang berideologi pemujaan seperti Korea Utara dalam mengindoktrinasi warganya.

Rasa ketakutan selalu menjadi perekat yang berfungsi merekatkan masyarakat di dalam islam. Muhammad dengan kerasnya memerintahkan dengan siapa pengikutnya harus berteman, mengutuki kafir dengan menggambarkan mereka sebagai ciptaan yang jorok, yang membuat Muhammad bisa dengan jelas menentukan dan mengendalikan lingkaran-lingkaran masyarakat kaum muslim. Lebih lanjut ia memanipulasi logika para pengikutnya, menghalangi akal sehat dan melarang mereka untuk menunjukkan belas-kasihan kepada orang non muslim. Seluruhnya sangat khas orang yang mengidap ‘sindrom Napoleon’. Kenyataannya, Muhammad adalah orang yang aneh, egosentrik yang suka mengatur; sebanding dengan pem-bully di sekolah-sekolah atau seorang pemimpin geng yang paranoid.

Orang yang mengalami rasa harga diri yang besar, mungkin akan bertingkah sesuai dengan khayalannya dimana mereka percaya mempunyai suatu hubungan istimewa dengan seseorang atau sesuatu yang punya kekuatan. Akibatnya, Muhammad membual bahwa ia memiliki hubungan ‘istimewa’ kepada suatu allah, dan ia telah terpilih untuk suatu tugas besar. Untuk mengompensasi pencapaiannya yang kurang, Muhammad sesumbar tentang kemampuannya untuk melakukan ‘mujizat’ supranatural, dan keunikan hubungannya dengan dunia roh.

Jika tidak terdiagnosa dan tidak diobati dengan psikoterapi, sindrom Napoleon dapat berkembang menjadi suatu keadaan khayal bahwa dirinya adalah agung mulia (megalomania). Yang menyedihkan, harga diri yang dikhayalkan dan dibesar-besarkannya menyebar bak kanker, termasuk agresinya yang tidak dapat dicegah, berakibat matinya jutaan orang tak bersalah -- identik dengan Napoleon yang gemar berperang dan berkhayal.

Individu yang menderita dengan “berkhayal menjadi orang yang agung” hanya sedikit yang mampu menerima kondisi mereka yang biasa-biasa saja dan memandang setiap tindakan mereka belum pernah ada duanya, genius, penuh kebajikan dan tanpa kesalahan. Yang menyedihkan, orang yang menderita sindrom ini dapat mengejawantahkan khayalannya menjadi episoda kegilaan, dan akan memburu setiap kesempatan untuk menghidupi fantasi mereka, kadang kalau perlu dengan kekerasan. Studi menunjukkan bahwa mereka dengan ‘komplesitas rasa rendah diri’ selalu merasa tidak aman dan gelisah. Jangan lupa Muhammad juga seorang yang gelisah dan merasa tidak aman, dan berupaya untuk membenarkan keberadaannya dengan menarik perhatian terus kepada dirinya; bahkan bila itu harus berarti negatif. Ketidak-amanannya juga ditunjukkan dengan ketergantungan yang berlebihan kepada Khadijah, kepada Sawdah, dan kepada seluruh istri-istrinya.

Peneliti juga sekarang telah menghubungkan ‘sindrom Napoleon’, dan ‘komplesitas rasa rendah diri’, secara langsung dengan ‘skizofrenia paranoid’, yang juga diderita Muhammad. Ditemukan juga bahwa mereka yang menderita dengan ‘skizofrenia; menggunakan khayalan mereka sebagai mekanisme pembelaan untuk mengimbangi rasa rendah diri mereka.

Sangat tidak menguntungkan, bahkan islam pada hari ini terus menyebarkan kebohongan tentang bentuk tubuh ‘nabi’ yang sempurna, temperamennya yang sejuk, dan kondisi psikologisnya yang stabil. Tentu saja, pembelaan kaum muslim tidak tertolong lagi oleh karena sistem pemujaan mereka telah dihujani indoktrinasi psikologis yang berlangsung selama 1400 tahun. Seperti pemujaan yang berlebihan kepada pemimpin di negara-negara komunis, islam pun menggunakan pendekatan yang sama bagi junjungan mereka.

Sangat disayangkan, bagi seorang yang dianggap ‘insan sempurna - kenyataannya tidak lain dari seorang yang frustasi, membenci dirinya, dan seorang individu yang penuh kekecewaan, karena satu hal – tinggi badannya. Lebih memprihatinkan lagi bagi kaum muslim yang bersedia mencerna mitos ‘insan sempurna’ bahwa junjungan mereka ‘nabi’ Muhammad memiliki fisik yang menawan, dan menolak menerima kenyataan bahwa sang ‘nabi’ tidak lebih dari seorang yang pendek tubuhnya -  tidak hanya fisiknya, tetapi juga secara mental dan emosi.

diolah kembali dari The People vs Muhammad, hlm. 237 – 252

Tidak ada komentar:

Posting Komentar