Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas islam. Umat
islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT. Ada dua versi
pemaknaan dari kata “langsung” ini. Versi pertama memahami Al-Qur’an, sebagai
sebuah kitab yang utuh diberikan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini
didasarkan pada kisah turunnya wahyu pertama, saat Muhammad bersemedi di gua
Hira. Saat itu suatu malaikat menampakkan diri kepada Muhammad dan memberi
perintah singkat: Bacalah! Dari kisah ini orang mengartikan bahwa pada waktu itu sudah ada kitab, yang belakangan dikenal dengan nama Al-Qur’an, sehingga malaikat menyuruh
Muhammad untuk membacanya.
Versi lain
memahami bahwa wahyu Allah SWT diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun.
Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah (jaraknya kurang lebih 450 km). Makna “langsung” di sini Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada
Muhammad, dan kemudian ditulis. Kumpulan tulisan wahyu Allah ini kemudian
dikumpulkan, dan jadilah Al-Qur’an.
Keyakinan bahwa
Al-Qur’an sungguh wahyu Allah diperkuat dengan pernyataan Allah sendiri, yang
dapat dibaca dalam surah as-Sajdah: 2 dan surah az-Zumar: 1 – 2, 41. Jadi,
ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya dinilai sebagai suci oleh umat islam, tetapi
juga benar, karena Allah, yang mewahyukannya, adalah mahabenar. Karena itu,
dalam surah al-Haqqah: 51 dikatakan bahwa “Al-Qur’an itu kebenaran yang
meyakinkan.”
Karena berasal langsung dari Allah SWT, maka Al-Qur’an menjadi pedoman hidup atau petunjuk bagi umat islam. Umat islam harus
mengikuti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 18). Bahkan beberapa
negara, yang berlandaskan pada agama islam, menjadikan Al-Qur’an sebagai hukumnya.
Sangat menarik
kalau kita membaca dan mencermati surah al-Ma’arij: 29 – 30. Apa yang tertulis
dalam surah ini benar-benar merupakan wahyu Allah SWT dan menjadi pedoman hidup.
Di sana dikatakan:
Dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
“Memelihara
kemaluannya, …… terhadap” dimaknai dengan persetubuhan. Dan persetubuhan itu,
dalam ayat ini, dapat dilakukan terhadap istri atau hamba sahaya. Dengan kata
lain, penis hanya boleh masuk ke dalam lobang vagina istri atau hamba sahaya.
Dan orang yang melakukan hal ini adalah tidak tercela. Mereka telah
melaksanakan kehendak Allah.
Persetubuhan
dengan istri adalah wajar. Suami dan istri sudah diikat dengan ikatan
perkawinan sehingga boleh melakukan hubungan seks. Istri wajib memenuhi hak
suami untuk kepuasan seksualnya. Bagaimana dengan hamba sahaya? Apakah majikan
sudah terikat dengan perkawinan dengan hamba sahaya sehingga kemaluannya juga
halal bagi hamba sahayanya? Dapat dipastikan bahwa relasi majikan dan hamba ini
tidak diikat dengan tali perkawinan. Normalnya, tindakan hubungan seks tersebut
masuk kategori dosa zinah, namun pada ayat ini ditegaskan bahwa yang melakukan
hal tersebut TIDAK TERCELA. Dengan perkataan lain, seorang suami (majikan) boleh
melakukan hubungan seks dengan hambanya sekalipun mereka bukan suami istri; dan
itu bukan zinah,
Mungkin
wahyu inilah yang menjadi inspirasi nabi Muhammad ketika “berselingkuh” atau bersenggama dengan seorang
hambanya yang cantik, bernama Mariah Koptiah. Muhammad melakukan persetubuhan
itu di rumah istrinya, Hafsa, di atas tempat tidurnya. Dan kejadian itu
diketahui oleh Hafsa sehingga Hafsa marah. Ketika bersenggama dengan Mariah,
Muhammad sama sekali bukan berzinah. Apa yang dilakukan Muhammad bukanlah
tindakan tercela, karena Muhammad telah memelihara kemaluannya hanya untuk
istri-istri dan hamba sahayanya.
Menariknya,
wahyu Allah seperti ini diulang kembali dalam surah yang lain, yaitu surah
al-Mukminun. Jika dalam surah al-Ma’arij orang yang melakukan persetubuhan
dengan hamba sahaya adalah tidak tercela,
dalam surah ini orang yang melakukannya adalah beruntung. Dalam surah al-Mukminun, Allah SWT berfirman:
Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, ….., yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki (ayat 1, 5 – 6).
Bagaimana
dua wahyu Allah ini diterjemahkan dalam situasi sekarang? Berhubung dewasa ini
perbudakan telah dihapus, maka hamba sahaya juga sudah tidak ada lagi. Tapi
mana mungkin kata-kata Allah ini dihapus begitu saja. Hilangnya perbudakan
tidak lantas berarti menghilangkan juga peran hamba. Peran hamba dewasa ini
diambil alih oleh pembantu rumah tangga. Karena itu, mengikuti dua surah ini,
sebagai pedoman hidup umat islam, seorang majikan boleh menyetubuhi pembantu
rumah tangganya. Tindakan tersebut bukanlah dosa, melainkan sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Jadi
sangat jelas apa yang terkandung dalam surah al-Ma’arij dan surah al-Mukminun.
Wahyu Allah yang terdapat dalam dua surah tersebut mengajarkan bahwa seorang
suami, yang sekaligus juga seorang majikan, dapat melakukan persetubuhan dengan
istri dan juga dengan pembantu rumah tangganya. Jika dia melakukan hal
tersebut, artinya dia telah memelihara kemaluannya hanya terhadap istri dan
pembantu rumah tangga yang dimilikinya; dan dia termasuk orang beruntung dan
tidak tercela.
Lantas,
pelajaran apa yang bisa dipetik dari sini? Setidaknya ada beberapa pesan
sebagai pelajaran.
1. Tidak pernah ada kasus
perkosaan. Perkosaan dipahami sebagai hubungan seks
yang dilakukan dengan cara paksa atau kekerasan. Wahyu Allah dalam dua surah di
atas membolehkan seorang majikan menyetubuhi pembantu rumah tangganya, tak
peduli apakah pembantunya itu suka atau tidak; apakah dilakukan dengan sukarela
atau paksaan. Sekalipun dengan paksaan, tindakan tersebut tetap tak bisa
dikatakan perkosaan, karena si majikan melaksanakan kehendak Allah SWT. Atau
mungkin perkosaan terhadap pembantu rumah tangga oleh majikan dikehendaki oleh
Allah SWT.
2. Istri harus rela.
Jika ada pembantu rumah tangga di rumah, dan suami melakukan hubungan seks
dengannya, seorang istri yang islami harus rela dan membiarkan hal itu terjadi.
Dia tak boleh marah, apalagi cemburu. Istri harus sadar bahwa apa yang
dilakukan suaminya adalah pemenuhan wahyu Allah SWT yang ada dalam Al-Qur’an.
Malahan seorang istri yang benar-benar islami harus menyuruh suaminya
berhubungan seks dengan pembantu rumah tangga yang mereka miliki agar dengan
demikian suaminya menjalani kehendak Allah SWT.
3. Peringatan bagi calon
pembantu rumah tangga (PRT). Tak sedikit wanita sedang
mencari pekerjaan. Salah satu lapangan pekerjaan adalah pembantu rumah tangga.
Lapangan kerja ini bisa saja ada di dalam negeri maupun luar negeri. Satu hal
yang harus disadari adalah soal wahyu Allah ini yang membolehkan majikan
menyetubuhi pembantunya. Calon PRT perlu sadar jika dirinya bekerja pada
keluarga muslim, maka majikannya bisa saja sesewaktu akan menyetubuhinya. Apa
yang dilakukan majikannya itu adalah pemenuhan wahyu Allah SWT yang ada dalam
Al-Qur’an.
DEMIKIANLAH
pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari wahyu Allah yang terdapat dalam
dua surah Al-Qur’an. Pada intinya kedua surah tersebut mau mengatakan bahwa islam mengajarkan bahwa seorang majikan
boleh menyetubuhi pembantu rumah tangga yang dimilikinya. Ini adalah sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu adalah beruntung
dan tidak tercela.
Dabo Singkep, 10 Agustus 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar