Jumat, 04 September 2020

MENGKRITISI SURAH AL-MA’ARIJ AYAT 29 – 30

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas islam. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT. Ada dua versi pemaknaan dari kata “langsung” ini. Versi pertama memahami Al-Qur’an, sebagai sebuah kitab yang utuh diberikan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan pada kisah turunnya wahyu pertama, saat Muhammad bersemedi di gua Hira. Saat itu suatu malaikat menampakkan diri kepada Muhammad dan memberi perintah singkat: Bacalah! Dari kisah ini orang mengartikan bahwa pada waktu itu sudah ada kitab, yang belakangan dikenal dengan nama Al-Qur’an, sehingga malaikat menyuruh Muhammad untuk membacanya.
Versi lain memahami bahwa wahyu Allah SWT diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah (jaraknya kurang lebih 450 km). Makna “langsung” di sini Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada Muhammad, dan kemudian ditulis. Kumpulan tulisan wahyu Allah ini kemudian dikumpulkan, dan jadilah Al-Qur’an.
Keyakinan bahwa Al-Qur’an sungguh wahyu Allah diperkuat dengan pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam surah as-Sajdah: 2 dan surah az-Zumar: 1 – 2, 41. Jadi, ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya dinilai sebagai suci oleh umat islam, tetapi juga benar, karena Allah, yang mewahyukannya, adalah mahabenar. Karena itu, dalam surah al-Haqqah: 51 dikatakan bahwa “Al-Qur’an itu kebenaran yang meyakinkan.”

Karena berasal langsung dari Allah SWT, maka Al-Qur’an menjadi pedoman hidup atau petunjuk bagi umat islam. Umat islam harus mengikuti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an (QS al-Qiyamah: 18). Bahkan beberapa negara, yang berlandaskan pada agama islam, menjadikan Al-Qur’an sebagai hukumnya.
Sangat menarik kalau kita membaca dan mencermati surah al-Ma’arij: 29 – 30. Apa yang tertulis dalam surah ini benar-benar merupakan wahyu Allah SWT dan menjadi pedoman hidup. Di sana dikatakan:
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
“Memelihara kemaluannya, …… terhadap” dimaknai dengan persetubuhan. Dan persetubuhan itu, dalam ayat ini, dapat dilakukan terhadap istri atau hamba sahaya. Dengan kata lain, penis hanya boleh masuk ke dalam lobang vagina istri atau hamba sahaya. Dan orang yang melakukan hal ini adalah tidak tercela. Mereka telah melaksanakan kehendak Allah.
Persetubuhan dengan istri adalah wajar. Suami dan istri sudah diikat dengan ikatan perkawinan sehingga boleh melakukan hubungan seks. Istri wajib memenuhi hak suami untuk kepuasan seksualnya. Bagaimana dengan hamba sahaya? Apakah majikan sudah terikat dengan perkawinan dengan hamba sahaya sehingga kemaluannya juga halal bagi hamba sahayanya? Dapat dipastikan bahwa relasi majikan dan hamba ini tidak diikat dengan tali perkawinan. Normalnya, tindakan hubungan seks tersebut masuk kategori dosa zinah, namun pada ayat ini ditegaskan bahwa yang melakukan hal tersebut TIDAK TERCELA. Dengan perkataan lain, seorang suami (majikan) boleh melakukan hubungan seks dengan hambanya sekalipun mereka bukan suami istri; dan itu bukan zinah,
Mungkin wahyu inilah yang menjadi inspirasi nabi Muhammad ketika “berselingkuh” atau bersenggama dengan seorang hambanya yang cantik, bernama Mariah Koptiah. Muhammad melakukan persetubuhan itu di rumah istrinya, Hafsa, di atas tempat tidurnya. Dan kejadian itu diketahui oleh Hafsa sehingga Hafsa marah. Ketika bersenggama dengan Mariah, Muhammad sama sekali bukan berzinah. Apa yang dilakukan Muhammad bukanlah tindakan tercela, karena Muhammad telah memelihara kemaluannya hanya untuk istri-istri dan hamba sahayanya.
Menariknya, wahyu Allah seperti ini diulang kembali dalam surah yang lain, yaitu surah al-Mukminun. Jika dalam surah al-Ma’arij orang yang melakukan persetubuhan dengan hamba sahaya adalah tidak tercela, dalam surah ini orang yang melakukannya adalah beruntung. Dalam surah al-Mukminun, Allah SWT berfirman:
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, ….., yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki (ayat 1, 5 – 6).
Bagaimana dua wahyu Allah ini diterjemahkan dalam situasi sekarang? Berhubung dewasa ini perbudakan telah dihapus, maka hamba sahaya juga sudah tidak ada lagi. Tapi mana mungkin kata-kata Allah ini dihapus begitu saja. Hilangnya perbudakan tidak lantas berarti menghilangkan juga peran hamba. Peran hamba dewasa ini diambil alih oleh pembantu rumah tangga. Karena itu, mengikuti dua surah ini, sebagai pedoman hidup umat islam, seorang majikan boleh menyetubuhi pembantu rumah tangganya. Tindakan tersebut bukanlah dosa, melainkan sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Jadi sangat jelas apa yang terkandung dalam surah al-Ma’arij dan surah al-Mukminun. Wahyu Allah yang terdapat dalam dua surah tersebut mengajarkan bahwa seorang suami, yang sekaligus juga seorang majikan, dapat melakukan persetubuhan dengan istri dan juga dengan pembantu rumah tangganya. Jika dia melakukan hal tersebut, artinya dia telah memelihara kemaluannya hanya terhadap istri dan pembantu rumah tangga yang dimilikinya; dan dia termasuk orang beruntung dan tidak tercela.
Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari sini? Setidaknya ada beberapa pesan sebagai pelajaran.
1.    Tidak pernah ada kasus perkosaan. Perkosaan dipahami sebagai hubungan seks yang dilakukan dengan cara paksa atau kekerasan. Wahyu Allah dalam dua surah di atas membolehkan seorang majikan menyetubuhi pembantu rumah tangganya, tak peduli apakah pembantunya itu suka atau tidak; apakah dilakukan dengan sukarela atau paksaan. Sekalipun dengan paksaan, tindakan tersebut tetap tak bisa dikatakan perkosaan, karena si majikan melaksanakan kehendak Allah SWT. Atau mungkin perkosaan terhadap pembantu rumah tangga oleh majikan dikehendaki oleh Allah SWT.
2.    Istri harus rela. Jika ada pembantu rumah tangga di rumah, dan suami melakukan hubungan seks dengannya, seorang istri yang islami harus rela dan membiarkan hal itu terjadi. Dia tak boleh marah, apalagi cemburu. Istri harus sadar bahwa apa yang dilakukan suaminya adalah pemenuhan wahyu Allah SWT yang ada dalam Al-Qur’an. Malahan seorang istri yang benar-benar islami harus menyuruh suaminya berhubungan seks dengan pembantu rumah tangga yang mereka miliki agar dengan demikian suaminya menjalani kehendak Allah SWT.
3.    Peringatan bagi calon pembantu rumah tangga (PRT). Tak sedikit wanita sedang mencari pekerjaan. Salah satu lapangan pekerjaan adalah pembantu rumah tangga. Lapangan kerja ini bisa saja ada di dalam negeri maupun luar negeri. Satu hal yang harus disadari adalah soal wahyu Allah ini yang membolehkan majikan menyetubuhi pembantunya. Calon PRT perlu sadar jika dirinya bekerja pada keluarga muslim, maka majikannya bisa saja sesewaktu akan menyetubuhinya. Apa yang dilakukan majikannya itu adalah pemenuhan wahyu Allah SWT yang ada dalam Al-Qur’an.
DEMIKIANLAH pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari wahyu Allah yang terdapat dalam dua surah Al-Qur’an. Pada intinya kedua surah tersebut mau mengatakan bahwa islam mengajarkan bahwa seorang majikan boleh menyetubuhi pembantu rumah tangga yang dimilikinya. Ini adalah sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu adalah beruntung dan tidak tercela.
Dabo Singkep, 10 Agustus 2020
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar