Minggu, 28 April 2019

MEMBACA HASIL HITUNG CEPAT PILPRES


Bangsa Indonesia baru saja menyelesaikan pesta demokrasi dalam pemilihan umum (PEMILU) serentak untuk memilih presiden – wakil presiden dan memilih anggota dewan (perwakilan rakyat dan perwakilan daerah). Sekalipun pengumuman resmi dari KPU belum dirilis, namun masyarakat sudah mengetahui hasil akhir pemilu dari hasil quick count. Untuk presiden dan wakil presiden publik sudah mengetahui hasilnya pada kisaran angka 54% untuk pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin, dan angka 45% untuk pasangan Prabowo – Sandi.
Melihat hasil quick count  dengan kisaran angka 54% : 45%, masyarakat tentulah sudah bisa membacanya, yaitu kemenangan diraih pasangan nomor urut 01, Jokowi – Ma’ruf Amin, sekalipun Prabowo mengklaim dirinya menang. Untuk hal ini tentulah orang tak membutuhkan keahlian khusus untuk membacanya. Akan tetapi, tidak demikian jika angka quick count itu dikaitkan dengan survey elektabilitas.
Jika diperhatikan hasil survey beberapa lembaga survey menjelang tanggal 17 April, elektabilitas pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin memang selalu unggul dua digit dari pasangan Prabowo – Sandi. Angkanya ada dikisaran 50-an% dan 30-an%. Misalnya, diambil dari sumber detik.com:
   ·        Lembaga survey Vox Populi, yang melakukan survey pada 5 – 15 Maret mendapatkan hasilnya 54,1% untuk Jokowi – Ma’ruf dan 33,6% untuk Prabowo – Sandi.
   ·        Lembaga survey Charta Politika, yang melakukan survey pada 1 – 9 Maret mendapatkan hasilnya 53,6% untuk Jokowi – Ma’ruf dan 35,4% untuk Prabowo – Sandi.
    ·        Lembaga survey JSI, yang melakukan survey pada 3 – 8 Maret mendapatkan hasilnya 55,6% untuk Jokowi – Ma’ruf dan 26,1% untuk Prabowo – Sandi.
     ·        lembaga survey New Indonesia Research & Consulting, yang melakukan survey pada 1 – 10 Maret mendapatkan hasilnya 55,8% untuk Jokowi – Ma’ruf dan 34,3% untuk Prabowo – Sandi.
Hasil survey di atas tak jauh berbeda dengan survey-survey yang dilakukan sebelumnya. Nah, bagaimana kita membaca hasil quick count pilpres bila dikaitkan dengan survey-survey elektabilitas peserta pilpres?
Pertama, pasangan Prabowo – Sandi jauh lebih popular dari pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin. Hal ini terlihat dari hasil quick count, dimana suara pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin berada dalam posisi stagnan, sedangkan suara pasangan Prabowo – Sandi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Prabowo – Sandi berhasil memangkas selisih dua digit pada survey elektabilitas menjadi single digit pada pilpres.
Kedua, berlawanan dengan poin 1 di atas, dapat dikatakan bahwa popularitas pasangan nomor urut 01, Jokowi dan Ma’ruf Amin, sangat rendah. Bisa juga dikatakan bahwa nilai jual baik Jokowi maupun Ma’ruf sangat rendah. Untuk Jokowi, hal ini terlihat dari hasil quick count di daerah Makasar, dimana pilpres 2014 lalu Jokowi unggul jauh dari Prabowo. Banyak pengamat menilai, kemenangan tahun 2014 karena faktor Jusuf Kalla. Hal demikian dengan sosok Ma’ruf Amin. Ketika memilih ketua MUI itu, salah satu targetnya adalah para pemilih islam, khususnya di kantong-kantong islam dimana tahun 2014 lalu suara Jokowi kecil. Terbukti dari hasil quick count Jokowi tetap kalah, bahkan di tanah kelahiran Ma’ruf Amin sendiri.
Ketiga, mesin politik pasangan Prabowo – Sandi berjalan sangat efektif, sementara mesin politik pasangan Jokowi – Ma’ruf tidak berjalan maksimal. Salah satu mesin politik pasangan nomor urut 02 ini adalah kelompok islam. Mereka, lewat dakwah, dzikir dan pengajian, selalu mempopulerkan pasangan Prabowo – SandiDapat juga dikatakan bahwa nilai jual Prabowo – Sandi, entah itu program kerja, pendekatan atau pun popularitas, sangat tinggi. Karena itu, bukan tidak mungkin pemilu berikut Prabowo dapat memenangi pertarungan, siapa pun lawannya.
Keempatkampanye negatif dan kampanye hitam yang dialamatkan ke pasangan Jokowi – Ma’rufsecara teristimewa kepada pribadi Jokowi, sangat berhasil. Sebagaimana diketahui, sebelum dan selama masa kampanye, Jokowi selalu dikaitkan dengan kafir, PKI, TKA (yang lebih dikaitkan dengan China), utang, bencana alam, dll. Black campaign ini sepertinya termakan oleh sebagian besar warga pemilih, secara khusus yang dalam data survey masuk dalam kelompok yang belum menentukan pilihan. Serangan kampanye hitam, lewat hoax dan fitnah, yang kemungkinan besar dilancarkan oleh kelompok pendukung setia Prabowo benar-benar menghilangkan popularitas dan prestasi Jokowi. Hal ini ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kelima, terkait dengan poin 3 di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata masih banyak orang bodoh di Indonesia. Mereka mudah termakan hoax dan fitnah tanpa ada usaha pemfilteran. “Bodoh” di sini tidak ada kaitannya dengan urusan kecerdasan intelektual, melainkan soal sikap bijak atau kritis. Orang bodoh adalah orang yang tidak bijak dan tidak kritis. Mereka, sekalipun berpendidikan tinggi, sangat mudah dibodohi dengan hoax dan fitnah yang bertebaran di media sosial maupun dalam kehidupan.
Demikianlah lima kesimpulan yang dapat diambil ketika orang membaca hasil quick count yang dikaitkan dengan survey elektabilitas. Mungkin dengan dasar ini pihak Prabowo berani mengklaim telah memenangi pertarungan pilpres 2019. Dasarnya, dirinya lebih populer daripada petahana, yang dilihat dari naiknya jumlah dukungan suara (dari kisaran 30-an% ke 40-an%, sementara petahana hanya dikisaran 50-an%). Dari sini kelompok Prabowo mengumbar isu adanya kecurangan dalam PEMILU, dengan harapan diadakan lagi PEMILU ulang, khusus pilpres.
Dari hasil bacaan ini kita dapat melihat satu keprihatinan dasar, yaitu mudahnya rakyat Indonesia dibodohi. Ironisnya, yang membodohi itu adalah orang Indonesia sendiri. Mungkin inilah yang dimaksud Bung Karno dulu, yang mengajak warga Indonesia untuk senantiasa waspada dalam mengisi kemerdekaan. Karena, setelah merdeka akan ada penjajahan lain, yang dilakukan oleh anak-anak bangsa sendiri.
Dabo, 27 April 2019

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar