Rabu, 18 April 2018

ORANG KATOLIK MENDOAKAN YANG BUKAN KATOLIK JUGA

Di suatu hari Minggu, setelah perayaan ekaristi, seorang pemuda datang kepada saya. Berdua kami ngobrol di ruang sakristi. Setelah membuka pembicaraan dengan saling perkenalan, dia mengutarakan niatnya untuk kembali menjadi katolik.
Pemuda ini menjelaskan bahwa ia telah menikah secara islam, ketika berada di tanah rantau. Karena islam tidak mempunyai ritus perkawinan campur, maka yang non muslim harus masuk islam terlebih dahulu. Jadi, saya langsung menyimpulkan bahwa pemuda ini, saat itu beragama islam, dan dia mau kembali menjadi orang katolik. Saat ini dia, istri dan keempat anaknya tinggal di kampung halamannya. Mereka semua masih memeluk islam.
Spontan otak saya langsung berpikir bahwa jika pemuda itu menjadi katolik, yang dalam kacamata islam, berarti dia telah murtad. Dan dalam syariah islam, orang murtad boleh dibunuh. Ini didasarkan pada hadis sahih Bukhari. Namun saya menyingkirkan bayangan dia akan dibunuh. Saya hanya menjelaskan posisi dia dalam Gereja Katolik, dan bagaimana Gereja menanggapi persoalannya. Sekedar gambaran, istrinya akan tetap menganut islam.
Setelah menjelaskan semuanya itu, pemuda itu juga mengungkapkan bahwa anak-anaknya akan dibaptis dalam Gereja Katolik, kecuali anak pertama. Anak pertama akan tetap sebagai muslim atas permintaan istrinya, karena supaya ada yang mendoakan dia jika dia meninggal. Jadi, dalam agama islam, anak harus mendoakan orangtuanya yang sudah meninggal dengan cara islam. Ada kesan bahwa islam mengajarkan tidak mungkin orang kafir mendoakan orang islam yang sudah meninggal, sekalipun orangtua sendiri; sama seperti orang islam tak mungkin mendoakan orang kafir yang sudah meninggal, sekalipun orangtuanya sendiri.
Mendengar penjelasannya itu, saya tertawa kecil, membuat dia sedikit bingung. Terkesan bahwa istri pemuda itu berpikir dengan cara pikir orang islam: hanya orang islam yang mendoakan arwah orang islam; tak mungkin yang non islam mendoakan arwah orang islam. Kemudian saya langsung membuka tas saya dan mengambil buku Tata Perayaan Ekaristi. Saya katakan bahwa dalam perayaan ekaristi setiap hari para imam bersama umat mendoakan Doa Syukur Agung. Dalam doa tersebut terselip juga doa kepada arwah semua orang, bukan hanya orang katolik saja.
Dalam Doa Syukur Agung II tertulis: “Ingatlah (pula) akan saudara-saudari kami, kaum beriman, yang telah meninggal dengan harapan akan bangkit, dan akan semua orang yang telah berpulang dalam kerahiman-Mu. Terimalah mereka dalam cahaya wajah-Mu.” Dalam teks ini sama sekali tidak disebut orang katolik, tapi kaum beriman dan semua orang; dan itu adalah termasuk orang-orang yang bukan katolik.
Dalam Doa Syukur Agung III tertulis: “Terimalah dengan rela ke dalam kerajaan-Mu: saudara-saudari kami dan semua orang yang berkenan pada-Mu, yang telah beralih dari dunia ini.” Sama seperti Doa Syukur Agung II, di sini juga tidak ditulis orang katolik. Patokannya bukan pada agama, tetapi hidup yang berkenan pada Allah. Jadi, siapapun yang hidupnya berkenan pada Allah akan didoakan supaya mendapat keselamatan. Hidup yang berkenan pada Allah tidak ditentukan dari agama yang dianut, tetapi sepenuhnya hanya Allah yang tahu.
Sangat menarik dan indah kalau dibaca Doa Syukur Agung IV. “Ingatlah juga saudara-saudari kami yang telah berpulang dalam damai Kristus dan semua orang yang meninggal; hanya Engkaulah yang mengenal iman mereka.” Di sini terlihat jelas bahwa orang katolik menyerahkan arwah orang yang seudah meninggal, apapun agamanya, kepada kerahiman dan belas kasih Allah, karena hanya Allah saja yang tahu iman mereka.
Saya juga menjelaskan bahwa bukan hanya orang yang sudah meninggal saja yang didoakan. Saya katakan kepada pemuda itu, seandainya istrinya yang islam merayakan ulang tahun atau sedang sakit, tidak salah jika dia membuat intensi misa dalam perayaan ekaristi. Sama sekali Gereja tidak melarang umat untuk membuat intensi misa bagi mereka yang bukan katolik.
Mendengar penjelasan saya, pemuda itu sedikit kaget. Selama ini dia berpikir seperti yang dipikirkan istrinya. Langsung muncul rasa bangga akan Gereja Katolik. “Luar biasa ya Gereja Katolik!” demikian ungkapnya. Dan saya menutupnya dengan ajakan, “Banggalah menjadi orang katolik, karena kekatolikan tidak mengajari kita untuk bersikap picik dan sombong.”
Jadi, tidak seperti orang islam, orang katolik terpanggil untuk mendoakan orang-orang lain yang bukan katolik, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena, seperti kata Yesus bahwa Allah "menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar  dan orang yang tidak benar." (Mat 5: 45).
Koba, 18 Januari 2018
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar