Nuni,
bukan nama sebenarnya, merupakan satu dari sejumlah perempuan yang menikah di
usia dini. Kepada wartawan Bangka Pos dia mengungkapkan penyesalannya telah
menikah di usia muda. Kini, di usia 19 tahun, Nuni harus menghidupi dua anak
seorang diri. (baca beritanya di Bangka
Pos, Rabu, 25 Oktober 2017).
Nuni
mengaku menikah dengan pria yang dipacarinya sejak SMP. Pria, yang kemudian
menjadi suaminya itu, adalah kakak kelasnya di SMP. Pergaulan bebas membuat dia
akhirnya berbadan dua. Pendidikan SMP pun putus di tengah jalan, karena
akhirnya orangtua “memaksa” mereka untuk menikah.
Tahun
pertama hidup berumah tangga berjalan baik dan lancar. Suami Nuni kerja
serabutan dan membantu di kebun milik orangtuanya. Maklum, susah mencari
pekerjaan lain jika hanya mengandalkan ijazah SD, ditambah lagi tidak ada
ketrampilan. Waktu itu mereka tidak pernah bertengkar.
Akan
tetapi, mulai hamil anak kedua, sang suami mulai banyak bertingkah. Dia sering
memukul, tidak pernah kasih uang, bahkan pulang ke rumah orangtuanya. Tidak hanya
perlakuan kasar, belakangan Nuni mengetahui suaminya punya selingkuhan. Manisnya
pernikahan pun sirna. Hal inilah yang akhirnya membuat Nuni memutuskan untuk
bercerai.
Berdasarkan
data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung menempati urutan keempat tertinggi tingkat pernikahan
dini secara nasional. Peringkat pertama adalah Kalimantan Tengah, diikuti Jawa
Barat dan Kalimantan Selatan. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini, Kabupaten
Bangka Selatan menjadi daerah tertinggi pernikahan dininya. Urutan kedua
ditempati Bangka Tengah, lalu ada Bangka Barat, Belitung Timur, Bangka dan
Belitung serta Pangkalpinang.
Secara
gerejawi, pernikahan dini banyak terjadi di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Koba. Memang data dari BKKBN tidak menampilkan agama pelaku pernikahan dini. Namun
data tersebut bisa menjadi bahan refleksi umat Paroki Koba.
Apa
kriteria pernikahan dini? Kepala BKKBN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
mengatakan pasangan yang menikah di usia dini adalah mereka yang usianya kurang
dari 21 tahun. Memang dalam Undang-undang no 1 thn 1974 tentang perkawinan
dinyatakan bahwa usia menikah adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun
untuk pria. Namun undang-undang perlindungan anak menyatakan bahwa usia hingga
18 tahun masuk kategori anak-anak, sehingga harus dilindungi dari segala
eksploitasi, termasuk menikah.
Hal
itulah yang membuat kenapa Gereja Katolik tidak mau menikahkan anak di usia
belum genap 18 tahun. Hukum Gereja menghimbau para gembala umat untuk
menjauhkan kaum muda dari pernikahan dini (Kan. 1072). Selain itu, perkawinan orang
katolik terikat dengan 3 hukum, yaitu hukum ilahi, hukum gerejawi dan hukum negara.
Mgr Albertus Soegijapranata pernah berkata bahwa umat katolik Indonesia harus
bisa menjadi “100% katolik 100% Indonesia”. Gereja katolik tidak hanya taat
pada hukum Gerejanya saja, tapi juga menghormati hukum sipil.
Dengan
demikian, Gereja tidak akan memberkati pernikahan umatnya yang masih usia muda.
Malah Gereja akan mengajak, bukan hanya kepada kaum muda, tetapi juga kepada
para orangtua untuk menghindari pernikahan dini.
Koba,
25 Oktober 2017
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar