PERAN ORANGTUA DALAM PERKEMBANGAN MENTAL
KEPRIBADIAN ANAK USIA REMAJA
Pertengahan
Januari 2016 lalu, karyawan keuskupan mendatangkan 3 ekor anak anjing untuk
dipelihara. Kelihatan anak-anak anjing itu baru saja lepas susu. Penampilan ketiga
anak anjing itu sungguh sangat menarik, lucu dan menggemaskan. Keberadaannya sungguh
menyenangkan, bukan saja bagi karyawan yang mendatangkan dan akan
memeliharanya, tetapi juga bagi para romo di keuskupan.
Pada
9 Maret, setelah pelayanan Paskah di Paroki Ujung Beting (saya berangkat pada 8 Februari), saya mendapati anak-anak
anjing itu sudah tidak terurus. Badan mereka penuh koreng, dan darinya
mengeluarkan bau yang tidak sedap. Seorang rekan imam berkomentar, “Waktu kecil
anjing itu diperhatikan, tapi sekarang siapa yang memberinya makan?” Rekan imam
ini seakan mau menyindir karyawan yang tidak lagi mau memberi makan anak-anak
anjing itu. Akhirnya rekan imam inilah yang meluangkan waktu untuk memberi makan
pada ketiga anak anjing itu.
Namun,
sebagaimana tindakan yang sudah-sudah, apa yang dilakukan rekan imam ini pun
setali tiga uang. Ia hanya sebatas memberi makan. Tidak ada tindakan untuk
merawat dan memelihara anak anjing itu. Ketiga anak anjing itu tetap tumbuh
besar dengan koreng-koreng di tubuhnya, dan aroma tak sedap menyertainya.
Demikianlah
gambaran dunia anak-anak dalam rumah tangga dewasa kini. Kebanyakan orangtua
hanya bisa melahirkan anak tanpa mau peduli akan pembinaan mental kepribadian anak.
Ketika anak masih balita, orangtua kelihatan senang dan sayang kepada anaknya. Tapi
ketika anak mulai besar, tak sedikit dari orangtua mulai lupa akan kewajibannya
untuk mendidik dan membina anak sehingga anak benar-benar tumbuh secara sehat,
baik fisik, psikis maupun spiritual. Orangtua merasa sudah melakukan tugas
hanya dengan memberi makan, uang sekolah dan kebutuhan lainnya.
Jika
orangtua hanya puas dengan memberi kebutuhan akan makanan, pendidikan sekolah
dan kebutuhan fisik lainnya, orangtua tak jauh beda dengan orang yang hanya
bisa memberi makan anak anjing tapi tak mampu merawat dan memeliharanya. Hal ini
menyebabkan anak tumbuh tidak dengan baik. Ada kekurangan yang kemudian
dirasakan, sebagaimana anak anjing dalam contoh di atas yang menampilkan koreng
pada tubuhnya dan aroma busuk.
Bulan
Mei ini publik Indonesia dihebohkan dengan berbagai kasus kejahatan seksual. Yang
membuat miris peristiwa ini adalah bukan hanya korbannya dari kalangan anak di
bawah umur (5 – 17 tahun), tetapi juga pelakunya adalah anak di bawah umur. Beberapa
pelaku kejahatan seksual ini, yang bahkan berujung pada kematian (paling sadis
adalah kejadian yang menimpa Enno Parinah di Tanggerang), adalah anak di bawah
umur, yang masih masuk dalam kategori remaja.
Banyak
ahli sependapat bahwa masa remaja merupakan masa krisis. Anak di usia remaja
sering kali mengalami krisis, yang jika tidak ditangani dengan baik dan benar,
dapat berdampak buruk pada kehidupannya dan juga sosialnya. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan aneka kenakalan pada anak-anak, misalnya seperti terlibat
dalam tawuran, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dll. Kenakalan-kenakalan
yang dibiarkan atau dikompromi ini akhirnya membuahkan kejahatan, sebagaimana
kita saksikan akhir-akhir ini.
Kenakalan
dan kejahatan yang terjadi dengan pelakunya anak remaja mau menunjukkan kondisi
remaja yang sedang sakit. Ini ibarat anak anjing dalam contoh di atas yang
tumbuh berkembang dengan borok dan koreng di badannya sehingga menyebarkan
aroma tak sedap. Dan ini dapat dikatakan kurangnya perhatian dan pengasuhan dari
orangtua terhadap anaknya. Perhatian orangtua sepertinya hanya sebatas memberi makan,
membiayai uang sekolah dan melengkapi keperluan anak.
Banyak
orangtua seakan tak peduli akan tumbuh-kembang anaknya. Hal ini diperparah
dengan salah satu ciri remaja yang tidak mau dikontrol. Elisabeth B. Hurlock,
dalam bukunya Psikologi Perkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, mengungkapkan salah satu
masalah yang menyebabkan konflik orangtua dan remaja adalah “masalah palang
pintu”. Dan berhadapan dengan ini tak sedikit orangtua memilih sikap permisif:
tak peduli kemana dan dimana saja anaknya berada, dan dengan siapa saja anaknya
bergaul. Bahkan ada orangtua yang tidak memperhatikan kehidupan rohani anaknya,
padahal menurut pakar psikologi pergolakan kehidupan rohani anak usia remaja
sangat kuat.
Belajar dari Keluarga Kudus
Yesus
adalah Allah yang menjadi manusia (sabda yang sudah menjadi daging, bdk. Yoh 1:
14). Sama seperti manusia pada umumnya, Yesus juga melalui tahap-tahap
perkembangan manusia, mulai dari lahir, balita, remaja dan dewasa. Yesus tumbuh
dan berkembang dalam keluarga hingga Ia memulai karya perutusan-Nya (bdk. Luk
2: 52). Karena itu, tentulah ciri-ciri yang melekat pada periode perkembangan
itu dapat juga ditemui pada diri Yesus, meski harus dikatakan bahwa Dia tidak
berdosa (bdk Ibr 4: 15).
Jadi,
Yesus juga melalui masa remaja. Apakah Yesus juga nakal pada masa remaja-Nya? Dalam
arti tertentu, dapatlah dikatakan bahwa pada masa remaja, Yesus pernah berlaku “nakal”.
Ini dapat kita baca dalam Lukas 2: 41 – 52. Inilah satu-satunya kisah yang
menceritakan kehidupan masa remaja Yesus. Saat itu Yesus berusia 12 tahun. Usia
12 tahun masih masuk dalam kategori remaja. WHO, organisasi kesehatan PBB,
membagi usia remaja dalam 2 kelompok, yaitu remaja awal (10 – 14 tahun) dan
remaja akhir (15 – 20 tahun).
Dalam
kisah Yesus ditemukan dalam Bait Allah ini terkesan bahwa Yesus melawan
orangtuanya. Dia memisahkan diri dari orangtuanya, dan melakukan aktivitas yang
sesuai dengan keinginannya tanpa sepengetahuan Maria dan Yosef. Inilah gambaran
“kenakalan” Yesus, jika kita memang benar-benar melihat kisah Lukas 2: 41 – 52 ini
secara manusiawi.
Namun
ada yang menarik dari kisah ini yang ditunjukkan oleh Maria dan Yosef. Setelah tahu
Yesus tidak ada bersama mereka, Yosef dan Maria segera mencari Yesus (ay. 44 –
45). Maria dan Yosef tidak membiarkan Yesus hilang begitu saja. Mereka benar-benar
memiliki tanggung jawab untuk tumbuh dan berkembangnya Yesus. Pertama-tama
Maria dan Yosef sadar anaknya tidak ada bersama mereka, kemudian mereka
berusaha mencari tahu dimana anaknya. Ini terlihat dalam ayat 44, dimana Yosef
dan Maria mencari jejak Yesus di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Dan ketika
Yesus tidak diketahui juga, Maria dan Yosef akhirnya memutuskan untuk
mencari-Nya.
Tindakan
Maria dan Yosef ini bertolak belakang dengan kebanyakan orangtua dewasa ini. Sekalipun
sadar anaknya tidak ada, orangtua masih sibuk dengan urusannya sendiri dan tak
peduli dengan anaknya. Jarang sekali orangtua berusaha mencari tahu keberadaan,
keadaan serta dunia pergaulan anaknya. Tunggu ketika ada kasus, misalnya
pembunuhan atau narkoba, orangtua mulai sibuk dan bingung. Karena itu, apa yang
dilakukan Maria dan Yosef terhadap anaknya, dapat menjadi teladan bagi
keluarga-keluarga masa kini.
Yang
menarik lainnya dari kisah masa remaja Yesus ini ada pada ayat 51 dan ayat 52. Dalam
ayat 51 dikatakan bahwa Yesus tetap hidup dalam asuhan Yosef dan Maria. Tak kalah
menarik dengan ayat 52, yang mau menunjukkan buah dari asuhan Maria dan Yosef
ini, yaitu “Yesus makin bertambah besar
dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan
manusia.” Hal ini seakan mau menegaskan kembali apa yang sudah dilakukan
Maria dan Yosef selama ini, yang dapat dibaca dalam ayat 39 dan ayat 40. Artinya,
Yosef dan Maria, sebagai orangtua, mewujudkan tanggung jawab mereka dalam
mengasuh anaknya. Jadi, di sini terlihat jelas bahwa Maria dan Yosef
sungguh-sungguh memperhatikan Yesus. Mereka bukan sekedar memberi-Nya makan,
pakaian, uang jajan, melainkan memperhatikan perkembangan fisik, mental dan
rohani sehingga Ia makin dikasihi Allah dan manusia.
Dalam
pengasuhan ini tentulah ada dialog dan komunikasi di antara mereka. Yosef dan
Maria bukan hanya bisa berbicara memberi nasehat, tetapi juga mau mendengarkan.
Hal ini seakan sudah menjadi karakter Bunda Maria, yang setelah mendengarkan, “menyimpan
semua perkara itu di dalam hatinya.” (ay. 51). Jadi, komunikasi dalam keluarga
kudus ini bersifat dialogal.
Teladan
keluarga kudus inilah yang hendaknya dihidupi oleh keluarga-keluarga kristiani
masa kini. Hendaknya orangtua selalu meluangkan waktu untuk berkomunikasi
dengan anak-anaknya, secara khusus yang menginjak usia remaja. Dalam komunikasi
ini harus juga ditumbuhkan sikap dan semangat mendengarkan. Jadi, bukan tugas
anak untuk mendengarkan kata-kata orangtua, tetapi juga orangtua mesti
mendengarkan kata-kata anaknya. Dengan pengasuhan, sebagaimana dicontohkan oleh
Maria dan Yosef ini, bukan tidak mustahil anak-anak remaja kita dapat tumbuh
bertambah besar dan bertambah hikmatnya, dan makin dikasihi oleh Allah dan
manusia.
Pangkalpinang,
20 Mei 2016
by:
adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar