Buku merupakan jendela ilmu. Seperti jendela pada umumnya, dengan membuka
jendela kita bisa mengetahui apa saja yang terjadi di luar. Demikian pula halnya
dengan buku. Akan tetapi, buku baru benar-benar bisa bermanfaat apabila dia,
seperti jendela, dibuka. Kata “dibuka” di sini harus dimaknai dengan dibaca. Dengan
membaca buku, wawasan kita akan semakin luas.
Toko Gramedia merupakan toko yang menjual aneka buku bacaan. Secara tidak
langsung Gramedia berperan untuk mencerdaskan bangsa, membantu dalam membuka
wawasan orang. Namun patut disayangkan kalau di bulan Juni 2012, Gramedia membakar
sebuah buku karya terjemahan karangan Douglas Wilson dengan judul “5 Kota
Paling Berpengaruh di Dunia”. Masalahnya Gramedia takut menghadapi tuntutan
hukum dan juga aksi massa islam yang terkenal sadis dan biadab. Karena itulah, disaksikan
beberapa pengurus MUI, Gramedia membakar 216 eksemplar. Sebelumnya Gramedia
sudah memusnahkan 1.000 buku. Yang lain masih dalam perjalanan. Kehadiran MUI
tentulah hendak menegaskan persetujuan atas tindakan pemberangusan informasi
itu.
Kenapa Gramedia takut dan akhirnya memutuskan untuk memusnahkan “jendela
ilmu” itu? Pangkal masalah terdapat pada halaman 24 buku itu, di mana ada
tulisan tentang nabi Muhammad SAW yang menurut umat islam bertentangan dengan
fakta, berkaitan dengan aktivitas beliau di kota Madinah. Hal tersebut
merupakan bentuk penghinaan dan bertentangan dengan agama islam. Umat islam
merasa dirugikan dengan beredarnya buku itu.
Melihat Sisi Gramedia
Gramedia adalah simbol industri buku. Berbicara tentang Gramedia tak
mungkin dipisahkan dari buku. Gramedia merupakan penerbit buku yang terbesar di
Indonesia. Buku terbitan Gramedia selalu bermutu, bukan cuma kualitas cetakan
melainkan juga isi bukunya. Gramedia memang identik dengan buku berkualitas.
Karena itu adalah tugas dan tanggung jawab Gramedia untuk menghadirkan buku-buku berkualitas. Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat eksternal, yaitu kepada para pembeli/pembaca, tetapi juga bersifat internal. Tentulah hanya naskah-naskah yang berkualitas yang akan mereka cetak dan terbitkan. Untuk hal ini tentulah ada ahlinya. Mereka dengan bertanggung jawab akan berusaha mencari, melihat dan menyeleksi naskah-naskah buku yang bermutu.
Dari sini kita dapat mengajukan pertanyaan, salahkah pihak Gramedia dengan
terbitnya buku terjemahan itu? Berkaitan dengan materi laporan Irwan, saya sama
sekali tidak tahu karena saya buta hukum. Akan tetapi kalau dikaitkan penilaian
Irwan bahwa pihak Gramedia melakukan penghinaan dan bahwa isi buku tersebut
bertentangan dengan agama islam, saya bisa katakan Gramedia tidak salah.
Terhadap buku-buku berbahasa asing, pihak Gramedia hanya menerjemahkannya
saja. Demikian terhadap buku karya Douglas Wilson. Seperti yang dikatakan
Direktur Utama PT GPU, untuk buku karya Douglas tersebut pihak Gramedia hanya
menerjemahkannya apa adanya. Jadi, terjemahan itu sesuai dengan aslinya.
Gramedia menampilkan isi buku Douglas apa adanya. Dimana letak kesalahan
Gramedia? Siapa yang melakukan penghinaan? Apakah Gramedia sudah mengubah
terjemahannya sehingga isinya ada yang tidak sesuai dengan fakta dan agama
islam?
Bagi saya pribadi, jika Gramedia tidak menerjemahkan sesuai dengan aslinya
sehingga uraian hasil terjemahan itu bertentangan dengan agama islam barulah
pihak Gramedia salah. Artinya, bahwa naskah asli buku Douglas sudah sesuai
dengan fakta dan agama islam, lalu diterjemahkan oleh Gramedia tidak sesuai
dengan aslinya sehingga ada penyimpangan terjemahan, yang berdampak juga pada
pernyimpangan lainnya, maka pihak Gramedia dapat disalahkan. Yang terjadi (ini
masih menurut pengakuan Direktur Utama PT GPU) adalah pihak Gramedia
menerjemahkan buku itu apa adanya, sesuai dengan aslinya. Jadi tidak ada salah
dalam terjemahan.
Kalau begitu, tidak tepatlah tuntutan umat islam terhadap Gramedia. Konon
ide pemusnahan buku tersebut berasal dari MUI. Pihak Gramedia tak salah. Yang
salah adalah Douglas Wilson, sang penulis buku itu. Karena itu, tuntutan
harusnya dilayangkan kepada penulis buku itu, bukan kepada penerjemah atau pun
penerbit buku terjemahan itu.
Akan tetapi, mengapa Gramedia tetap memusnahkan buku itu?
Saya langsung teringat akan peristiwa tabloid Monitor edisi
15 Oktober 1990 yang memuat hasil polling bertajuk “Kagum 5 Juta”. Hasil
polling yang tentu juga melibatkan umat islam dan monitor hanya
menampung hasilnya, dinilai umat islam melecehkan nabi Muhammad. Massa umat
islam mengamuk dan mengobrak-abrik kantor Monitor. Akhirnya Monitor dibredel
dan Arswendo mendekap dalam penjara untuk beberapa tahun.
Kiranya memori ini masih membekas pada pihak Gramedia. Mereka takut
berhadapan dengan massa islam. Seolah-olah ada kesan begini terhadap umat
islam: “Kami mayoritas. Kami punya massa. Jangan main-main dengan kami. Loe
silap kami sikat!” Karena itulah, pihak Gramedia akhirnya memilih jalan aman:
segera memusnahkan buku-buku terjemahan itu. Gramedia takut bukan karena salah,
tetapi karena resikonya sangat besar. Sekalipun benar, Gramedia memilih amannya
saja.
Tindakan yang Disayangkan
Ketika akhirnya Gramedia memilih memusnahkan buku terjemahan itu, saya
pribadi sangat menyayangkan tindakan itu. Memang harus diakui bahwa Gramedia
melakukan tindakan itu karena ditekan oleh ketakutan pada massa islam. Kejadian
yang menimpa “anak” mereka Tabloid Monitor benar-benar masih
membekas. Padahal Gramedia tidak salah. Mereka hanya menerjemahkan saja.
Kecuali kalau terjemahan itu yang salah, tidak sesuai dengan aslinya dan
bertentangan dengan agama islam.
Apa yang dilakukan oleh Gramedia ini bukanlah baru kali ini saja. Sudah
begitu banyak Gramedia menerbitkan buku yang bertentangan dengan agama. Hanya
selama ini belum pernah menyinggung agama islam. Dulu Gramedia pernah
menerbitkan buku terjemahan karya Dan Brown, The Da Vinci Code, yang dinilai
sebagai bentuk penyerangan terhadap kekristenan. Isi dari The Da Vinci Code
sangat bertentangan dengan fakta sejarah dan agama kristen. Ada juga buku
tentang makam keluarga Yesus yang pernah dimuat di National Geographic.
Jelas, isi buku tersebut bertentangan keyakinan umat kristen selama ini.
Gramedia juga pernah menerbitkan karya Anand Krisna Sabda Pencerahan Ulasan
Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern dan Isa: Hidup dan Ajaran Sang
Masiha. Bagi umat kristen dua buku
ini bertentangan dengan fakta sejarah dan ajaran kristiani.
Akan tetapi umat kristen tidak mengamuk atau
menuntut agar pihak Gramedia memusnahkan buku-buku yang telah melecehkan agama
kristen. Gramedia juga tak pernah mengeluarkan pernyataan maaf telah
menerbitkan buku itu. Apakah umat kristen tidak punya power? Saya pikir bukan
itu masalahnya. Umat kristen lebih memilih cara terpuji dan terdidik: buku
dilawan dengan buku. Maka terhadap buku-buku yang dinilai telah bertentangan
dengan agama kristen, dikeluarkanlah buku-buku yang melawan balik isi buku
tersebut. Bukan dengan emosional yang membabi-buta, melainkan dengan cara
ilmiah. Dari sini umat diajak untuk berpikir kritis. Setelah membaca dua buku
yang saling bertentangan, umat sendiri akan menilai dan menemukan kebenaran.
Karena itu, sangat bijak kalau umat islam
membuat buku yang menyatakan bahwa buku karya Douglas Wilson adalah keliru. Dan
dalam uraian itu tentulah sangat diharapkan disertakan data-data akurat yang
dapat dipertanggungjawabkan. Karena dalam bukunya tentulah Douglas menyertakan
data pustaka. Jadi, buku terjemahan itu tetap dibiarkan dan munculkan buku
“tandingan”. Biarkanlah umat sendiri yang menilai dan menemukan kebenarannya.
Dengan ini tampak jelas bahwa buku benar-benar mencerdaskan bangsa.
Menjadi persoalan, apakah umat islam mampu? Dapat
dikatakan kalau umat islam tidak punya kemampuan itu. Kemampuan mereka hanya
sebatas marah, mengancam dan bila perlu mengamuk.
Terkesan bahwa peristiwa pembakaran buku ini
menunjukkan kehebatan islam. Tapi kalau direnungkn dengan hati yang jernih,
justru hal ini menunjukkan kemunduran. Hal ini sungguh memalukan, karena bisa
saja orang menilai islam anti keterbukaan informasi, islam agama kolot, islam
agama anti kritik, dan segulang gelar negatif lainnya. Terlihat jelas islam tidak siap berhadapan dengan kebenaran yang tidak sesuai dengan kebenarannya. Islam terlalu percaya diri pada kebenarannya. Atau dengan kata lain, kebenaran itu hanya milik islam. Di luar islam bukanlah kebenaran. Sungguh memprihatinkan agama seperti ini.
Diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar