Senin, 27 September 2021

MELIHAT KEMBALI PERISTIWA PEMBAKARAN BUKU OLEH GRAMEDIA

 

Buku merupakan jendela ilmu. Seperti jendela pada umumnya, dengan membuka jendela kita bisa mengetahui apa saja yang terjadi di luar. Demikian pula halnya dengan buku. Akan tetapi, buku baru benar-benar bisa bermanfaat apabila dia, seperti jendela, dibuka. Kata “dibuka” di sini harus dimaknai dengan dibaca. Dengan membaca buku, wawasan kita akan semakin luas.

Toko Gramedia merupakan toko yang menjual aneka buku bacaan. Secara tidak langsung Gramedia berperan untuk mencerdaskan bangsa, membantu dalam membuka wawasan orang. Namun patut disayangkan kalau di bulan Juni 2012, Gramedia membakar sebuah buku karya terjemahan karangan Douglas Wilson dengan judul “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia”. Masalahnya Gramedia takut menghadapi tuntutan hukum dan juga aksi massa islam yang terkenal sadis dan biadab. Karena itulah, disaksikan beberapa pengurus MUI, Gramedia membakar 216 eksemplar. Sebelumnya Gramedia sudah memusnahkan 1.000 buku. Yang lain masih dalam perjalanan. Kehadiran MUI tentulah hendak menegaskan persetujuan atas tindakan pemberangusan informasi itu.

Kenapa Gramedia takut dan akhirnya memutuskan untuk memusnahkan “jendela ilmu” itu? Pangkal masalah terdapat pada halaman 24 buku itu, di mana ada tulisan tentang nabi Muhammad SAW yang menurut umat islam bertentangan dengan fakta, berkaitan dengan aktivitas beliau di kota Madinah. Hal tersebut merupakan bentuk penghinaan dan bertentangan dengan agama islam. Umat islam merasa dirugikan dengan beredarnya buku itu.

Melihat Sisi Gramedia

Gramedia adalah simbol industri buku. Berbicara tentang Gramedia tak mungkin dipisahkan dari buku. Gramedia merupakan penerbit buku yang terbesar di Indonesia. Buku terbitan Gramedia selalu bermutu, bukan cuma kualitas cetakan melainkan juga isi bukunya. Gramedia memang identik dengan buku berkualitas.

Karena itu adalah tugas dan tanggung jawab Gramedia untuk menghadirkan buku-buku berkualitas. Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat eksternal, yaitu kepada para pembeli/pembaca, tetapi juga bersifat internal. Tentulah hanya naskah-naskah yang berkualitas yang akan mereka cetak dan terbitkan. Untuk hal ini tentulah ada ahlinya. Mereka dengan bertanggung jawab akan berusaha mencari, melihat dan menyeleksi naskah-naskah buku yang bermutu.

Dari sini kita dapat mengajukan pertanyaan, salahkah pihak Gramedia dengan terbitnya buku terjemahan itu? Berkaitan dengan materi laporan Irwan, saya sama sekali tidak tahu karena saya buta hukum. Akan tetapi kalau dikaitkan penilaian Irwan bahwa pihak Gramedia melakukan penghinaan dan bahwa isi buku tersebut bertentangan dengan agama islam, saya bisa katakan Gramedia tidak salah.

Terhadap buku-buku berbahasa asing, pihak Gramedia hanya menerjemahkannya saja. Demikian terhadap buku karya Douglas Wilson. Seperti yang dikatakan Direktur Utama PT GPU, untuk buku karya Douglas tersebut pihak Gramedia hanya menerjemahkannya apa adanya. Jadi, terjemahan itu sesuai dengan aslinya. Gramedia menampilkan isi buku Douglas apa adanya. Dimana letak kesalahan Gramedia? Siapa yang melakukan penghinaan? Apakah Gramedia sudah mengubah terjemahannya sehingga isinya ada yang tidak sesuai dengan fakta dan agama islam?

Bagi saya pribadi, jika Gramedia tidak menerjemahkan sesuai dengan aslinya sehingga uraian hasil terjemahan itu bertentangan dengan agama islam barulah pihak Gramedia salah. Artinya, bahwa naskah asli buku Douglas sudah sesuai dengan fakta dan agama islam, lalu diterjemahkan oleh Gramedia tidak sesuai dengan aslinya sehingga ada penyimpangan terjemahan, yang berdampak juga pada pernyimpangan lainnya, maka pihak Gramedia dapat disalahkan. Yang terjadi (ini masih menurut pengakuan Direktur Utama PT GPU) adalah pihak Gramedia menerjemahkan buku itu apa adanya, sesuai dengan aslinya. Jadi tidak ada salah dalam terjemahan.

Kalau begitu, tidak tepatlah tuntutan umat islam terhadap Gramedia. Konon ide pemusnahan buku tersebut berasal dari MUI. Pihak Gramedia tak salah. Yang salah adalah Douglas Wilson, sang penulis buku itu. Karena itu, tuntutan harusnya dilayangkan kepada penulis buku itu, bukan kepada penerjemah atau pun penerbit buku terjemahan itu.

Akan tetapi, mengapa Gramedia tetap memusnahkan buku itu?

Saya langsung teringat akan peristiwa tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990 yang memuat hasil polling bertajuk “Kagum 5 Juta”. Hasil polling yang tentu juga melibatkan umat islam dan monitor hanya menampung hasilnya, dinilai umat islam melecehkan nabi Muhammad. Massa umat islam mengamuk dan mengobrak-abrik kantor Monitor. Akhirnya Monitor dibredel dan Arswendo mendekap dalam penjara untuk beberapa tahun.

Kiranya memori ini masih membekas pada pihak Gramedia. Mereka takut berhadapan dengan massa islam. Seolah-olah ada kesan begini terhadap umat islam: “Kami mayoritas. Kami punya massa. Jangan main-main dengan kami. Loe silap kami sikat!” Karena itulah, pihak Gramedia akhirnya memilih jalan aman: segera memusnahkan buku-buku terjemahan itu. Gramedia takut bukan karena salah, tetapi karena resikonya sangat besar. Sekalipun benar, Gramedia memilih amannya saja.

Tindakan yang Disayangkan

Ketika akhirnya Gramedia memilih memusnahkan buku terjemahan itu, saya pribadi sangat menyayangkan tindakan itu. Memang harus diakui bahwa Gramedia melakukan tindakan itu karena ditekan oleh ketakutan pada massa islam. Kejadian yang menimpa “anak” mereka Tabloid Monitor benar-benar masih membekas. Padahal Gramedia tidak salah. Mereka hanya menerjemahkan saja. Kecuali kalau terjemahan itu yang salah, tidak sesuai dengan aslinya dan bertentangan dengan agama islam.

Apa yang dilakukan oleh Gramedia ini bukanlah baru kali ini saja. Sudah begitu banyak Gramedia menerbitkan buku yang bertentangan dengan agama. Hanya selama ini belum pernah menyinggung agama islam. Dulu Gramedia pernah menerbitkan buku terjemahan karya Dan Brown, The Da Vinci Code, yang dinilai sebagai bentuk penyerangan terhadap kekristenan. Isi dari The Da Vinci Code sangat bertentangan dengan fakta sejarah dan agama kristen. Ada juga buku tentang makam keluarga Yesus yang pernah dimuat di National Geographic. Jelas, isi buku tersebut bertentangan keyakinan umat kristen selama ini. Gramedia juga pernah menerbitkan karya Anand Krisna Sabda Pencerahan Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern dan Isa: Hidup dan Ajaran Sang Masiha. Bagi umat kristen dua buku ini bertentangan dengan fakta sejarah dan ajaran kristiani.

Akan tetapi umat kristen tidak mengamuk atau menuntut agar pihak Gramedia memusnahkan buku-buku yang telah melecehkan agama kristen. Gramedia juga tak pernah mengeluarkan pernyataan maaf telah menerbitkan buku itu. Apakah umat kristen tidak punya power? Saya pikir bukan itu masalahnya. Umat kristen lebih memilih cara terpuji dan terdidik: buku dilawan dengan buku. Maka terhadap buku-buku yang dinilai telah bertentangan dengan agama kristen, dikeluarkanlah buku-buku yang melawan balik isi buku tersebut. Bukan dengan emosional yang membabi-buta, melainkan dengan cara ilmiah. Dari sini umat diajak untuk berpikir kritis. Setelah membaca dua buku yang saling bertentangan, umat sendiri akan menilai dan menemukan kebenaran.

Karena itu, sangat bijak kalau umat islam membuat buku yang menyatakan bahwa buku karya Douglas Wilson adalah keliru. Dan dalam uraian itu tentulah sangat diharapkan disertakan data-data akurat yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena dalam bukunya tentulah Douglas menyertakan data pustaka. Jadi, buku terjemahan itu tetap dibiarkan dan munculkan buku “tandingan”. Biarkanlah umat sendiri yang menilai dan menemukan kebenarannya. Dengan ini tampak jelas bahwa buku benar-benar mencerdaskan bangsa.

Menjadi persoalan, apakah umat islam mampu? Dapat dikatakan kalau umat islam tidak punya kemampuan itu. Kemampuan mereka hanya sebatas marah, mengancam dan bila perlu mengamuk.

Terkesan bahwa peristiwa pembakaran buku ini menunjukkan kehebatan islam. Tapi kalau direnungkn dengan hati yang jernih, justru hal ini menunjukkan kemunduran. Hal ini sungguh memalukan, karena bisa saja orang menilai islam anti keterbukaan informasi, islam agama kolot, islam agama anti kritik, dan segulang gelar negatif lainnya. Terlihat jelas islam tidak siap berhadapan dengan kebenaran yang tidak sesuai dengan kebenarannya. Islam terlalu percaya diri pada kebenarannya. Atau dengan kata lain, kebenaran itu hanya milik islam. Di luar islam bukanlah kebenaran. Sungguh memprihatinkan agama seperti ini.

Diolah kembali dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar