Jumat, 16 April 2021

TELAAH ATAS AYAT-AYAT PERANG DALAM AL-QUR'AN


 

Terorisme dan radikalisme, dengan segala kekerasannya, sepertinya sudah melekat erat pada islam. Setiap kali muncul aksi terorisme, radikalisme dan intoleransi selalu saja nama islam islam terbawa, baik itu lewat para pelakunya maupun atribut-atribut yang menyertainya. Memang banyak umat islam, termasuk tokoh agamanya, menolak kaitan terorisme dan radikalisme dengan agama islam. Sering keluar pernyataan bahwa islam itu agama damai dan terorisme itu bukan islam. Sayangnya, publik tak bisa dibohongi. Semua orang tahu bahwa ajaran agama selalu mengacu pada kitab suci. Dan banyak orang yang sudah membaca Al-Qur’an tidak serta merta percaya bantahan tokoh-tokoh islam itu. Mereka lebih percaya kalau memang islam itu agama teroris dan intoleran, karena ada begitu banyak perintah terkait dengan hal tersebut yang tersebar dalam Al-Qur’an. Salah satu perintahnya adalah perang.

Ada cukup banyak “ayat-ayat perang” yang ada dalam Al-Qur’an. Yang dimaksud dengan “ayat-ayat perang” di sini adalah ayat dalam Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kata dengan kata dasar “perang” dan “jihad”. Tentulah bukan hanya terfokus pada 2 kata itu saja, tetapi juga kata-kata lain yang mengandung 2 kata tersebut. Misalnya seperti berperang, peperangan, perangilah, memerangi, berjihad, dll. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an ini didasarkan pada Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006.

Ayat-ayat yang ada ini berdasarkan hasil tangkapan mata manusiawi. Sadar akan kelemahan dan keterbatasan, tentu ada ayat yang terlewatkan. Inilah “ayat-ayat perang” Al-Qur’an.

Surah

Ayat

Jumlah

QS 2

117, 190, 191, 193, 216, 217, 218, 244, 246, 273, 279

11

QS 3

13, 111, 123, 127, 140, 142, 146, 156, 161, 165, 167, 168, 172, 195

14

QS 4

24, 72, 74, 75, 76, 77, 84, 90, 91, 94, 95, 141

12

QS 5

24, 33, 35, 54, 64,

5

QS 8

1, 16, 41, 57, 65, 69, 70, 72, 74, 75

10

QS 9

5, 12, 13, 14, 16, 19, 20, 24, 25, 29, 36, 38, 39, 41, 43, 44, 49, 50, 73, 81, 83, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94. 107, 111, 120, 122, 123

34

QS 16

81, 110

2

QS 21

80

1

QS 22

39, 78

2

QS 24

53

1

QS 27

33

1

QS 29

6, 69

2

QS 33

18, 20, 25, 50, 60

5

QS 47

4, 20, 21, 31

4

QS 48

16, 17, 19, 20, 22

5

QS 49

9, 15

2

QS 57

10

1

QS 59

11, 12, 14

3

QS 60

1, 8, 9

3

QS 61

4, 11

2

QS 63

8

1

QS 66

9

1

QS 73

20,

1

QS 100

1

1

Tabel – 9

Dari tabel di atas terlihat jelas ada 24 surah yang memuat “ayat-ayat perang”, yang tersebar di kelompok surah Makkiyyah maupun Madaniyyah. Dari 24 surah, “ayat-ayat perang” terbanyak ada di kelompok surah Madaniyyah, yaitu 18 surah (sekitar 79%). Jumlah ayat pada surah Madaniyyah yang berisi “ayat-ayat perang” ada 116 ayat. Sementara itu, “ayat-ayat perang” pada surah Makkiyyah hanya 8 ayat. Dari keseluruhan surah, “ayat-ayat perang” terbanyak terdapat pada surah at,-Taubah, yaitu sebanyak 34 ayat. Tidak ada satu surah pun yang membuat “ayat-ayat perang” hingga mencapai 15 ayat. Karena itu, surah at-Taubah ini dapat digelari sebagai “surah perang”.

Jadi, total “ayat-ayat perang” dalam Al-Qur’an ada sebanyak 124 ayat. Sebenarnya jumlah ayat dan juga surah yang memuat “ayat-ayat perang” ini bisa bertambah lagi. Ada beberapa kata yang memiliki makna sama seperti “perang”. Misalnya, pertempuran, bertempur, serang, menyerang dan penyerangan. Namun semua kata-kata tersebut tidak masuk dalam kategori demi menjaga konsistensi pilihan (2 pilihan) sehingga sama seperti “ayat-ayat cinta”, yang juga terbatas pada 2 pilihan (cinta dan kasih).

Jika membaca “ayat-ayat perang” dengan akal sehat yang jernih, maka kita dapat menemukan beberapa poin penting.

1.    Konteks waktu. “Ayat-ayat perang” dalam Al-Qur’an mempunyai 2 jenis konteks waktu, yaitu masa lampau dan masa kini. Yang dimaksud dengan masa kini bukan saat sekarang ini, tetapi konteks zaman Muhammad, sedangkan masa lampau adalah konteks zaman sebelum Muhammad. Setelah ditelaah “ayat-ayat perang” yang ada, maka akan ditemukan ada sekitar 5 ayat dengan konteks lampau, 3 ayat di kelompok surah Makkiyyah dan sisanya di surah Madaniyyah. Perang dalam kelima ayat ini terjadi pada zaman Musa, Daud dan Sulaiman. “Ayat-ayat perang” dengan konteks zaman Muhammad ada 119 ayat; dimana ada 5 ayat berada dalam kelompok surah Makkiyyah.

Jumlah yang banyak ini hendak menegaskan betapa pesan perang itu sangat kuat dalam Al-Qur’an, dan bukan tidak mustahil pesan tersebut menjadi pedoman bagi umat islam dewasa kini. Hal ini tidak jauh berbeda dengan “ayat-ayat kafir” yang juga lebih banyak konteks waktu kini ketimbang lampau.

2.    Jenis ayat. Dari 124 “ayat-ayat perang”, tidak semuanya mempunyai jenis yang sama. Kita dapat membagi jenis “ayat-ayat perang” ke dalam beberapa kelompok, seperti perintah, aktivitas atau kegiatan, keadaan atau situasi, dll. Jenis perintah di sini berarti ada nada ajakan untuk berperang atau berjihad. Jenis aktivitas atau kegiatan tampak pada kata-kata seperti “berperang”, “memerangi”, “diperangi”, dll, sedangkan untuk jenis keadaan terlihat pada kata “peperangan”.

Dari penelusuran “ayat-ayat perang”, jenis ayat perintah ada sebanyak 20 ayat. Karena Al-Qur’an itu merupakan wahyu Allah yang langsung, maka dapatlah dikatakan bahwa perintah untuk berperang itu langsung berasal dari Allah. Karena ini merupakan perintah, maka ia menjadi kewajiban. Jadi, umat islam wajib untuk berperang. Hal ini ditegaskan kembali dalam QS al-Baqarah: 216.

3.    Dampak/hasil perang. Setiap perang pastilah menimbulkan dampak. Umumnya dampak yang dihasilkannya adalah buruk. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan bahwa dampak perang itu positif, sehingga perang dijadikan kewajiban. Ada beberapa surah yang menegaskan bahwa perang atau jihad itu wajib bagi umat islam, dan itu langsung berasal dari Allah, bukan manusia. Surah yang mewajibkan perang adalah QS al-Baqarah: 216, 246; QS an-Nisa: 77; QS al-Anfal: 72.

Dampak perang dalam Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu dampak jangka pendek dan jangka panjang (masa depan). Untuk jangka pendek, perang atau jihad dapat menghasilkan rampasan perang. Rampasan perang dapat menjadi penghasilan yang menghidupkan keluarga. Sekedar diketahui bahwa para pengikut Muhammad di Madina tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang untuk menghidupkan diri dan keluarga. Mereka tidak punya kebun, dan tak punya juga keahlian dalam berkebun. Untuk menjawab tuntutan inilah Muhammad, dengan mengatas-namakan wahyu Allah, akhirnya memutuskan untuk “merampok” kafilah-kafilah yang menuju/dari Mekkah. Wahyu Allah tentang rampasan perang dapat dibaca dalam QS Ali Imran: 161; QS al-Anfal: 1, 41, 69; QS al-Fath: 19, 20.

Memang perang akan menimbulkan kematian di kedua belah pihak. Kematian di pihak islam bukanlah suatu kerugian, melainkan keuntungan yang selalu dikejar. Orang yang mati dalam perang atau jihad mendapat jaminan masuk sorga dengan kenikmatan segala kenikmatannya, termasuk kenikmatan seksual. Inilah dampak jangka panjang. Perang atau jihad dilakukan bukan semata-mata karena kewajiban, tetapi juga karena sorga yang dijanjikan. Ada banyak ayat yang menyatakan hal tersebut, seperti QS Ali Imran: 195; QS an-Nisa: 95; QS at-Taubah: 111; QS al-Fath: 17.

4.    Sasaran Perang. Dalam buku-buku sejarah dipaparkan bahwa salah satu sasaran perang atau jihad kelompok Muhammad adalah para kafilah. Tujuan penyerangan terhadap rombongan kafilah ini adalah untuk mendapatkan harta rampasan yang bisa menghidupi anggota kelompok Muhammad. Tujuan lain adalah untuk mematikan jalur ekonomi Mekkah serta memberi pesan (psy-war) kepada Mekkah.

Akan tetapi, hal ini sepertinya tidak tampak dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sasaran perang kelompok Muhammad pertama-tama adalah kaum kafir. Allah sudah mengatakan bahwa kaum kafir adalah musuh yang nyata bagi umat islam. Selain orang kafir, sasaran perang kelompok Muhammad lainnya adalah kaum musyrikin dan kaum munafik.

5.    Khas Madaniyyah. Dari 124 “ayat-ayat perang”, sekitar 93,5% berada dalam kelompok surah Madaniyyah. Menjadi pertanyaan, kenapa “ayat-ayat perang” jauh lebih banyak berada pada kelompok surah ini? Dari uraian tentang nabi Muhammad terlihat jelas bahwa saat berada di Madinah kelompok Muhammad bukanlah kelompok kecil lagi seperti ketika masih berada di Mekkah. Muhammad tidak hanya tampil sebagai nabi. Sejak saat itu dia tampil juga sebagai pemimpin. Ada tanggung jawab sebagai pemimpin untuk menghidupi kelompoknya; ada ambisi tersembunyi untuk menguasai Mekkah (ka’bah) dan menjadi penguasa Arab. Untuk semua hal inilah maka diturunkanlah wahyu-wahyu yang berisikan tentang perang dan jihad. Dengan kata lain, kata-kata “perang” dan “jihad” baru muncul saat berada di Madinah. Selama berada di Mekkah Muhammad disibukkan dengan membangun image agar orang menerimanya sebagai nabi serta ajarannya.

Banyaknya “ayat-ayat perang” yang berkonteks jaman Muhammad berada pada kelompok surah Madaniyyah membuat surah Madaniyyah bisa disebut sebagai surah-surah perang. Malah kita dapat menjadikan “ayat-ayat perang” sebagai salah satu tolok ukur atau kriteria untuk menempatkan sebuah surah masuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah atau Madaniyyah. Hanya surah-surah yang di dalamnya terdapat 2 kata dasar “perang” dan “jihad” dengan konteks jaman Muhammad, masuk ke dalam kelompok surah Madaniyyah.

Akan tetapi, ada sedikit persoalan kecil. Ada 3 surah, yang dalam pandangan umum masuk kelompok surah Makkiyyah, namun di dalamnya terdapat “ayat-ayat perang”. Ketiga surah itu adalah QS an-Nahl: 81, 110; QS al-Ankabut: 6, 69 dan QS al-Muzzammil: 20. Bagaimana menjelaskan ketiga surah ini?

Menyikapi ketiga surah ini, setidaknya ada 2 pendapat yang bisa diajukan. Pertama, haruslah dikatakan bahwa ketiga surah tersebut bukan masuk kelompok surah Makkiyyah, tetapi Madaniyyah. Dasarnya 2 surah, yaitu surah an-Naml dan al-Muzzammil, menggambarkan situasi perang yang dapat dipastikan tidak pernah terjadi di Mekkah (sebelum hijrah). Demikian pula dengan surah al-Ankabut dimana kata “jihad”, yang dalam Al-Qur’an dapat dimaknai juga dengan perang, baru mungkin muncul setelah hijrah. Surah an-Naml, selain kata “perang” dan “jihad” ada indikasi kuat lain yang bisa menempatkannya pada kelompok surah Madaniyyah, yaitu kata “hijrah” (ay. 110). Bagaimana mungkin muncul kata ini selagi di Mekkah, sebelum hijrah dilakukan? Hanya mungkin ketika Muhammad berada di Madinah (setelah hijrah).

Kedua, jika ketiga sudah ini tetap diakui sebagai kelompok surah Makkiyyah, maka haruslah dikatakan bahwa ayat-ayat yang memuat “ayat-ayat perang” bukanlah bagian surah tersebut. Mungkin orang-orang dulu, yang bertugas menulis wahyu-wahyu Allah, salah menempatkannya. Sekedar diketahui, penempatan suatu wahyu ke dalam kelompok surah Makkiyyah atau Madaniyyah bukanlah atas kehendak Allah, melainkan atas inisiatip manusia. karena itulah, kekeliruan dalam penempatan bukan tidak mustahil bisa terjadi mengingat setiap manusia mempunyai keterbatasan.

DEMIKIANLAH 5 poin penting hasil telaah atas “ayat-ayat perang”. Dari hasil telaah ini dapatlah dikatakan bahwa islam adalah agama perang. Dasarnya, Al-Qur’an tidak hanya untuk umat islam pada abad VI dan VII saja, tetapi berlaku hingga sepanjang masa. Ada wahyu Allah yang penerapannya menuntut supaya umat islam, mau tidak mau, harus berperang. Dengan kata lain, umat islam harus menciptakan perang agar wahyu Allah tersebut menjadi relevan dan hidup. Jika tak ada perang maka ayat Al-Qur’an menjadi mati. Tentulah hal ini berdampak bagi iman islam.

Tak sedikit islam moderat berasionalisasi dengan mengatakan bahwa saat ini perang yang dimaksud adalah perang melawan kemungkaran, seperti melawan kejahatan, korupsi, prostitusi dan kemaksiatan lainnya. Akan tetapi, konteks yang ditawarkan ini bertentangan dengan wahyu Allah dalam QS al-Baqarah: 216. Perang yang dimaksudkan Allah adalah perang yang sesungguhnya, dimana ada bunuh-membunuh, yang tentu saja tidak menyenangkan sehingga banyak umat tidak menyukainya. Sementara perang melawan kejahatan dan kemaksiatan tentulah sangat disukai. Karena itulah, rasionalisasi umat islam tersebut jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Allah.

Bentuk rasionalisasi umat islam lainnya adalah dengan mengatakan bahwa ayat perang itu harus dipahami dalam konteks waktu. Artinya, perang yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah perang pada zaman Muhammad, yang tidak lagi bisa diterapkan pada masa sekarang. Jadi, ayat perang melawan kaum kafir harus dipahami pada konteks dulu, orang kafir zaman dulu yang diperangi, bukan orang kafir dewasa kini. Rasionalisasi ini pun sangat lemah. Jika pemahaman konteks seperti itu, maka pengharaman babi sekarang tidak relevan. Ketika babi dikatakan kotor, itu harus dilihat pada konteks dulu, sementara banyak babi sekarang bersih. Karena itu, babi sekarang tidak haram. Selain itu, pemahaman konteks seperti itu membuat wahyu Allah tidak lagi relevan.

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar