Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu berbantah-bantahan tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil diturunkan setelah dia (Ibrahim)? Apakah kamu tidak mengerti? (QS 3: 65)
Tak bisa dipungkiri bahwa umat islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad, yang kemudian ditulis di atas kertas. Sekalipun ada di kertas, tapi umat islam yakin bahwa itu adalah kata-kata Allah sendiri. Karena Allah itu suci, maka kertas yang ditulisi perkataan Allah adalah suci juga. Maka dari itu, tak heran ketika ditemukan lembaran-lembaran Al-Qur’an di tempat sampah, yang sebagiannya sudah terbakar, umat islam merasa marah. Hal itu dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap Allah. Allah sendiri sudah meminta umat islam untuk membunuh mereka yang menghina-Nya (QS al-Maidah: 33).
Dasar keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan
wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah
sendiri. Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya.
Berhubung Allah itu mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar.
Mana mungkin Allah yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa
berbohong. Logika pikir orang islam kira-kira begini: bahwa Al-Qur’an itu wahyu
Allah karena Allah sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu
mahabenar yang tak bisa salah.
Dari premis di atas haruslah
dikatakan bahwa kutipan ayat di atas merupakan perkataan Allah. Namun harus disadari,
kutipan ayat 65 ini tidak bisa dipisahkan dari ayat sebelumnya. Jika tanpa ayat
64, maka pembaca akan melihat bahwa wahyu Allah ini tidak langsung disampaikan
kepada Muhammad tetapi kepada Ahli Kitab. Dalam ilmu islam yang dimaksud dengan
Ahli Kitab ini adalah kelompk orang yang telah diberikan kitab oleh Allah.
Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani. Apa yang tertulis dalam ayat 65 ini
merupakan kata-kata Allah yang disampaikan kepada Muhammad untuk diteruskan
kepada Ahli Kitab. Di sini Allah mempertanyakan sikap orang Yahudi dan Nasrani
yang saling bertengkar soal Ibrahim (atau Abraham). Apa yang dipertengkarkan
oleh orang Nasrani dan Yahudi ini? Untuk memahami hal ini, pembaca diharuskan
membaca ayat-ayat sesudahnya. Jadi, tidak bisa berhenti hanya di ayat 65 saja.
Jawaban atas pertanyaan soal apa yang dipertengkarkan ada dalam ayat 67. Dalam
ayat ini tampak jelas sepertinya orang Yahudi dan Nasrani saling memperebutkan
status Ibrahim dalam agamanya. Orang Yahudi bilang bahwa Ibrahim adalah orang
Yahudi, sedangkan orang Nasrani mengatakan Ibrahim itu orang Nasrani.
Akan tetapi, Allah menegaskan kepada orang Yahudi dan Nasrani, melalui mulut Muhammad, bahwa Ibrahim itu bukan orang Yahudi dan bukan pula orang Nasrani, tetapi orang Muslim. Jika direnungkan dengan akal sehat yang jernih, maka jawaban Allah ini (ayat 67) sebenarnya bukanlah jawaban, melainkan pernyataan baru yang menegaskan keterlibatan-Nya dalam pertengkaran awal. ini mirip pertengkaran 2 anak kecil tentang ayah siapa yang paling hebat. masing-masing anak tentu menjagokan ayahnya. Lantas muncul anak ketiga, melerai keduanya dengan mengatakan bahwa ayah yang paling hebat itu adalah ayahnya. Tentu ini bukan jawaban, karena dia memasukkan diri dalam pertengkaran baru lagi. Itulah yang terjadi dalam persoalan kutipan wahyu di atas.
Yang menarik untuk
direnungkan dari kutipan wahyu Allah di atas adalah pertanyaan Allah kepada
Ahli Kitab, “Mengapa kamu berbantah-bantahan tentang Ibrahim.” Yang lucu adalah
anak kalimatnya sama sekali tidak sambung dengan pertanyaan ini. Pernyataan
“Taurat dan Injil diturunkan setelah Ibrahim” sama sekali tidak berkorelasi
langsung dengan pertanyaan mengapa kamu berbantah-bantah tentang Ibrahim. Apa
hubungan Taurat dan Injil yang diturunkan setelah Ibrahim dengan perbantahan
tentang Ibrahim orang Yahudi atau orang Nasrani. Sama sekali tidak ada. Ini
hendak menunjukkan cara berpikir Allah yang kacau dan tidak jelas. Tentulah
bagi yang masih waras dan punya akal sehat langsung mempertanyakan sungguhkah
ini perkataan Allah? Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna menghasilkan
pemikiran yang tidak sempurna? Dari sini akal sehat akan mengatakan pastilah
kutipan ayat di atas bukan merupakan perkataan Allah, tetapi hasil pemikiran
Muhammad yang kacau (bdk. QS al-Anbiya: 5).
Untuk mengkritisi lebih
lanjut kutipan wahyu Allah di atas, dapat diajukan pertanyaan, benarkah orang
Yahudi dan orang Nasrani berbantah-bantah tentang Ibrahim? Sungguhkah dulu
orang Yahudi pernah mengklaim bahwa Ibrahim adalah orang Yahudi dan orang
Nasrani mengatakan Ibrahim itu orang Nasrani? Dapat dipastikan bahwa, baik
orang Yahudi maupun orang Nasrani, sama sekali tidak pernah melakukan hal
tersebut. Orang Nasrani sama sekali tidak pernah mengklaim Ibrahim itu orang
Nasrani; sama sekali tidak pernah. Orang Nasrani malah mengakui Ibrahim itu
orang Yahudi, sama seperti mereka mengakui Yesus (Isa Almasih) itu orang
Yahudi. Jika demikian, kenapa Allah justru menurunkan wahyu ini? Hal ini hendak
menunjukkan 2 hal penting.
1. Kutipan
wahyu Allah ini seakan hendak menegaskan kembali salah satu karakter Allahnya
umat islam, yaitu sibuk mencampuri orang lain; dan sayangnya apa yang
dipersoalkan itu pun sebenarnya tidak pernah ada. Ada banyak wahyu Allah
seperti ini, sibuk mempersoalkan pandangan dan perkataan umat agama lain, yang
belum tentu kebenarannya (QS al-Baqarah: 111; QS al-Ankabut: 12; QS al-Maidah:
14 dan 18; QS Ali Imran: 24; QS Yunus: 68). Dari semuanya terlihat jelas bahwa
apa yang dikutip Allah keliru sehingga penyampaiannya pun menjadi salah. Allah
mempersoalkan klaim orang Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim, padahal orang
Yahudi dan Nasrani sama sekali tidak pernah melakukan hal itu. Jadi,
seolah-olah klaim itu dibuat ada lalu diletakkan pada mulut orang Yahudi dan
Nasrani. Tentulah ini suatu fitnah. Dan itu dilakukan oleh Allah.
2. Kutipan
wahyu Allah ini seakan hendak menegaskan kembali salah satu pernyataan orang
Yahudi dan Nasrani masa Muhammad dulu, bahwa Al-Qur’an itu hanyalah kebohongan
Muhammad (QS al-Furqan: 4; QS Saba: 43). Dapatlah dikatakan bahwa kutipan ayat
di atas bukanlah merupakan wahyu Allah, tetapi karangan Muhammad saja (bdk. QS
Hud: 35; QS al-Ahqaf: 8; QS as-Sadjah: 3). Tidak mungkin Allah itu berbohong.
Kalau yang berbohong itu Muhammad, sangatlah dimungkinkan. Berangkat dari
analisa ini, dapat dipastikan bahwa sebenarnya kutipan ayat di atas tidak
ditujukan kepada Ahli Kitab. Ayat ini sebenarnya disampaikan Muhammad kepada
para pengikutnya. Muhammad hanya mencatut nama Ahli Kitab.
DEMIKIANLAH telaah singkat
atas surah Ali Imran ayat 65. Dari telaah singkat ini terlihat jelas kalau
Al-Qur’an bukanlah wahyu Allah, melainkan rekayasa Muhammad. Ini seakan
membenarkan apa yang dikatakan orang-orang zalim di Mekkah pada masa Muhammad,
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an (QS al-Anbiya: 5). Karena merupakan buah
karya manusia, maka wajar saja bila di sana sini terdapat begitu banyak
kekacauan. Dan tak heran Ali Sina, dalam bukunya “Understanding Muhammad: A Psychobiography”, mengatakan bahwa
Al-Qur’an “adalah buku yang membingungkan, tulisannya kacau balau, penuh
khayalan dan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal.” (hlm 224). Dan J.K
Sheildlin, dalam bukunya, “The People vs Muhammad: Psychological Analysis”, mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan “pikiran
orang bingung yang dituliskan di atas kertas.” (hlm. 81).
Tanjung Pinang, 18 Januari 2022
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar