Belum
lama ini publik muslim Indonesia dihebohkan dengan video seorang Youtuber
bernama Joseph Paul Zhang. Sontak tema penistaan agama dan ujaran kebencian
mengiringi kehebohan tersebut. Yang menjadi korban dalam kasus ini adalah umat
islam; dan ini sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah. Setiap ada penodaan
agama islam, kehebohan pasti mengiringinya. Salah satu pusat
kehebohan itu adalah klaim Joseph Paul Zhang bahwa dirinya adalah nabi ke-26 setelah nabi Muhammad. Pernyataan
ini dinilai sungguh melukai hati perasaan umat islam. Karena itulah, mereka
lantas mencap Joseph Paul Zhang sebagai penoda agama.
Sebenarnya umat islam harus bangga karena dalam
pernyataan tersebut secara tersirat Joseph Paul Zhang mengakui kenabian Muhammad. Dari nama, “penoda” ini
bukanlah umat islam, tapi dia mengakui Muhammad sebagai nabi ke-25. Di saat
umat agama lain tidak mengakui kenabian Muhammad, ini ada orang yang
mengakuinya. Sudah seharusnya umat islam bangga. Tapi, yang terlihat justru
tersinggung, marah dan lantas mengecam Joseph
Paul Zhang. Jika umat islam sudah yakin bahwa
Muhammad adalah nabi terakhir, yah anggap saja pernyataan Joseph
Paul Zhang itu ngawur. Umat islam harus
belajar dari pengalaman orang Yahudi dan Nasrani saat pertama kali Muhammad
mengklaim dirinya nabi. Baik orang Yahudi maupun Nasrani langsung menolak kenabian Muhammad tanpa sama sekali merasa tersinggung atau marah. Mereka malah merasa lucu. Hal ini karena mereka sudah
yakin dengan agamanya. Mereka punya standar atau kriteria nabi, yang bila
dikenakan ke Muhammad “jauh panggang dari api”.
Dalam tulisan ini, kami sama sekali bukan hendak membela Joseph Paul Zhang. Posisi sikap kami adalah mengecam perbuatannya, sekalipun dia merasakan bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai pengungkapan kebenaran. Sikap kami ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh Paus Fransiskus dan Ahmad al-Tayyeb, dalam Dokumen Abu Dhabi (4 Februari 2019). Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa agama tidak boleh menghasut pemeluknya untuk menebarkan kebencian dan permusuhan tetapi harus menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Kami juga mendukung upaya untuk menegakkan hukum untuk penangan kasus ini.
Yang
menjadi keprihatinan kami di sini adalah sikap reaktif umat islam menghadapi
kasus penistaan agama. Sangat jarang ditemukan adanya sikap rekatif dari
pemeluk agama lain saat agamanya dinodai. Sangat jauh berbeda dengan islam.
Seperti kasus Joseph Paul Zhang ini, ada banyak komentar dari tokoh-tokoh
islam, mulai dari tokoh agama hingga politikus. Mereka ramai-ramai mengutarakan
sikapnya, yang sebenarnya sama saja.
Memang
adalah hak mereka untuk berkomentar. Akan tetapi, ada beberapa komentar yang
menimbulkan keprihatinan bagi kami. Berikut ini akan diulas beberapa pernyataan
para tokoh islam ini.
1. Masduki Baidlowi. Selain sebagai juru
bicara wakil presiden, ia adalah juga Ketua
Bidang Informasi dan Komunikasi di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada 2 poin penting
disampaikannya terkait dengan kasus Joseph Paul Zhang. Pertama, ia mendukung
upaya hukum. Bagi dia, semua orang sama di muka hukum. Memang benar apa yang
dikatakannya, bahwa semua orang sama di muka hukum. Namun, apakah Baidlowi sendiri memiliki sikap
seperti apa yang dikatakannya? Tentulah kita masih ingat akan kasus Ustad Abdul Somad (UAS), dengan pernyataan jin kafirnya. Sangat jelas UAS menista agama
kristen katolik. Tapi apa sikap MUI? Masih ada jejak digital, bahwa MUI berada
di belakang UAS, dan bahwa MUI meminta agar kasus UAS tidak sampai ke polisi.
Tidak berhenti di situ, MUI juga
bernegosiasi dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI) untuk hal tersebut. Dan ingat, Baidlowi ada di sana waktu itu.
Hanya karena tindakan UAS yang menghina agama sesuai dengan aqidah islam, maka
MUI lunak sehingga melupakan asas semua orang sama di muka hukum.
Kedua, Baidlowi mengaitkan tindakan
Joseph Paul Zhang ini dengan cap “islamfobia”. Atau dengan kata lain, Baidlowi langsung melabeli Joseph
Paul Zhang dengan label “islamfobia” hanya karena sikap dan perbuatan Joseph
Paul Zhang negatif terhadap islam. Sepertinya, di dunia ini hanya ada lebel
islamfobia. Tidak pernah ada lebel kristenfobia bagi orang yang takut dengan
salib, kristenisasi dalam lagu “naik-naik ke puncak gunung”, dll. Atau mungkin
semua itu sesuai dengan aqidah islam. Ada kesan bahwa islam begitu mudah
memberi label tersebut kepada siapa saja yang memiliki sikap dan pemikiran
negatif terhadap islam, sekalipun yang negatif itu adalah suatu fakta sejarah
da nada dasarnya. Misalnya, orang yang mengaitkan islam dengan terorisme selalu
dicap islamfobia, padahal orang mempunyai dasar untuk mengatakan islam sebagai
agama teroris. Atau ketika ada buku mengungkapkan sisi gelap Muhammad, langsung
saja dicap sebagai islamfobia, padahal sisi gelap tersebut sesuai dengan fakta
sejarah.
Hal inilah yang menjadi
keprihatinan bagi kami. Terlihat jelas kalau Baidlowi
tidak konsisten dengan sikap dan ucapannya. Selain itu, tampak jelas kalau daya
refleksinya masih sangat lemah. Seharusnya, ketika berhadapan dengan orang yang
bersikap dan berpikiran negatif tentang islam, jangan langsung buru-buru
memberi cap islamfobia, melainkan bertanya kenapa mereka bersikap dan
berpikiran negatif? Jangan begitu mudah menyalahkan orang berpikiran negatif
tanpa pernah tahu landasannya. Sikap buru-buru melabeli orang yang negatif itu
disebabkan karena umumnya umat islam menilai agamanya yang sempurna, sementara
di luar islam buruk. Harus berani bertanya, benarkah islam itu tak ada yang
negatif?
2. Ada
tokoh agama islam, menanggapi kasus Joseph Paul Zhang, berkomentar, “Jangan
menari di atas genderang orang.” Pernyataannya ini memang sangat positif. Ia
mau mengajak umat islam untuk tidak terpancing dengan perbuatan Joseph Paul
Zhang sehingga menimbulkan aksi demo yang berdampak kekacauan situasi. Apalagi
saat ini Indonesia sedang dalam masa pandemic covid-19. Jadi, jika umat islam
turun ke jalan melakukan aksi, sebagaibama yang sudah biasa dilakukan, itu
berarti umat islam menari di atas genderang Joseph Paul Zhang.
Tentulah kita masih ingat
akan kasus Ahok, dengan surah al-Maidahnya. Bukankah umat islam, waktu itu,
menari di atas genderang Ahok? Bahkan MUI, yang waktu itu diketuai oleh wakil
presiden saat ini, juga turut menari di atasnya. Malah ada yang menilai kalau
MUI turut memainkan musik lainnya. Ada ratusan ribu umat islam (malah ada yang
mengklaim sampai jutaan) turun ke jalan, membanjiri ibu kota Jakarta sehingga
“mematikan” beberapa sektor kehidupan seperti ekonomi dan pendidikan. Banyaknya
jumlah umat islam yang “menari” itu bukan hanya berasal dari 1 ormas islam
saja. Bukan tidak mustahil ada beberapa dari anggota NU, Muhammadiyah, dan
ormas islam lainnya.
3. Ada
juga yang menanggapi kasus Joseph Paul Zhang ini dengan mengatakan bahwa semua
agama mengajarkan sikap menghargai dan bukannya kebencian dan penghinaan. Di
balik pernyataan tersebut, hendak dikatakan bahwa agama islam mengajarkan
umatnya untuk tidak menghina agama lain, tetapi menghormatinya. Di sini kita
bisa mengajukan pertanyaan, benarkah islam mengajarkan umatnya untuk tidak
menghina agama lain? Bukankah dalam ajaran islam terkandung begitu banyak
ujaran dan sikap kebencian dan permusuhan kepada agama lain? Sudah lumrah
diketahui umum bahwa hanya islam agama yang mengkafir-kafirkan pemeluk agama
lain; dan sikap itu ada di dalam Al-Qur’an. Sepertinya hanya islam, yang dalam
kitab sucinya, terang-terangan mengatakan bahwa kitab suci agama lain itu
palsu. Kasus UAS sudah membuktikan bahwa ternyata menghina agama kristen itu
sesuai dengan aqidah islam.
Demikianlah
3 poin cermatan atas beberapa komentar tokoh islam yang menanggapi kasus Joseph
Paul Zhang. Sebenarnya masih ada banyak komentar
lainnya. Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami sama
sekali tidak mau membela Joseph Paul Zhang. Kami malah mengecamnya. Kami hanya
mau mengajak umat islam pada umumnya untuk berani berefleksi. Berefleksi itu ibarat bercermin. Saat bercermin, kita
hanya melihat diri kita sendiri, bukan orang lain. Salah
satu kekuatan refleksi adalah melihat dan menilai diri sendiri sebelum keluar. Inilah yang perlu
ditumbuhkan dalam diri umat islam.
Daik, 22 April 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar