Sabtu, 24 Januari 2015

Menyoal Hukuman Mati

PERTANYAAN KECIL BUAT HIKMAHANTO JUWANA
Topik diskusi hangat beberapa hari belakangan ini, selain kasus calon Kapolri, adalah soal hukuman mati. Hari Minggu lalu (18/01/15) enam terpidana mati terkait kejahatan narkoba menjalani eksekusi mati. Kecaman pun bermunculan, bukan saja dari dalam negeri tetapi juga dari luar negari. Dua negara sahabat menarik duta besarnya. Dua negara itu adalah Brasil dan Belanda.

Untuk meramaikan diskusi ini, Hikmahanto Juwana menurunkan tulisannya di Harian Kompas dengan judul “Narkoba dan Hukuman Mati” (Senin, 19/01). Harus diakui bahwa tulisan Juwana memang sangat bagus dan menarik. Di sana Juwana mencoba menjelaskan mengapa akhirnya pemerintah Indonesia memilih jalan hukuman mati, dan memahami sikap dua negara yang menarik duta besarnya. Dari seluruh tulisannya itu, terlihat jelas kalau Juwana mendukung hukuman mati.

Kami tidak mau masuk ke dalam diskusi pro kontra masalah hukuman mati. Akan tetapi, tulisan Prof. Juwana tersebut, bagi kami, masih menyisahkan tanda tanya. Ada beberapa pertanyaan yang terbuka untuk didiskusikan.

Pertama, Juwana menyatakan bahwa hukuman mati diberlakukan karena rakyat Indonesia sudah geram dan marah dengan masalah narkoba. Menjadi pertanyaan, apakah kemarahan itu menjadi landasan untuk melegalkan hukuman mati? Ini bisa menjadi preseden buruk, karena jika masyarakat sudah sampai pada titik geram dan marah, maka menjadi sah untuk menjatuhi hukuman mati. Inilah yang terjadi dengan aksi membakar pencopet atau penjabret.

Kita mungkin pernah dengar seorang pencopet yang kedapatan dibakar oleh massa. Bisa dikatakan bahwa massa sudah muak dengan aksi mereka itu. Kemuakan itu disebabkan karena aparat hukum tidak bisa lagi menindak mereka. Beda antara tindakan ini dengan hukuman mati di atas adalah hukuman mati di atas dilegalkan oleh hukum dengan kasus pencopet ini tidak. Namun keduanya didasari pada hal yang sama, yaitu kemarahan masyarakat.

Dapat dibayangkan bagaimana kalau masyarakat bertindak demikian. Hal inilah yang menjadi pertanyaan kedua, yaitu soal peradaban. Juwana mengatakan bahwa penerapan hukuman mati sama sekali tidak terkait dengan tingkat peradaban suatu masyarakat. Salah satu tanda masyarakat beradab adalah pengendalian amarah. Sekalipun marah, ia tetap tidak akan melakukan tindakan-tindakan biadab. Jika kegeraman dan kemarahan selalu diikuti dengan hukuman mati, baik legal atau tidak, rusaklah suatu masyarakat.

Renungan Hari Sabtu Biasa II - Thn I

Renungan Hari Sabtu Biasa II, Thn B/I
Bac I    Ibr 9: 2 – 3, 11 – 14; Injil                 Mrk 3: 20 – 21;

Injil hari ini sangat singkat; cuma dua ayat saja. Namun di sana kita dapat mengenal siapa sosok Yesus itu. Dikisahkan bahwa Yesus tiba di sebuah rumah dan di sana orang banyak datang. Mereka mengerumuni Tuhan Yesus dan bisa dikatakan mereka datang dengan keperluannya masing-masing. Pastilah Tuhan Yesus melayani, karena Dia penuh belas kasih. Hal ini terlihat dari pernyataan makanpun tidak sempat lagi (ay. 20). Kejadian inilah – melayani hingga tak sempat lagi untuk makan – membuat orang berkesimpulan bahwa Dia sudah tak waras lagi (ay. 21). Tak waras di sini bukan dalam arti gila (psikis), tetapi gila melayani sampai-sampai mengorbankan diri sendiri. Tak waras di sini dipahami bahwa Tuhan Yesus sibuk melayani orang banyak tanpa peduli pada diri-Nya sendiri. Inilah pengorbanan yang tinggi.

Tentang pengorbanan inilah yang direfleksikan penulis Surat kepada Orang Ibrani. Dalam bacaan kedua hari ini, pusat refleksi penulis adalah Tuhan Yesus sebagai Imam Besar. Penulis menampilkan perbedaan antara Imam Besar, yang adalah Tuhan Yesus, dengan imam-imam besar lainnya dalam hal membawa korban persembahan. Jika imam-imam besar membawa korban darah anak domba, Tuhan Yesus membawa korban Diri-Nya sediri. Di sini penulis mengacu pada peristiwa salib. Jadi, pada salib ada pengorbanan yang tinggi. Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya demi keselamatan umat manusia.

Sabda Tuhan hari ini berbicara soal pengorbanan. Tuhan Yesus datang ke dunia hendak menyelamatkan manusia dengan cara mengorbankan diri-Nya sendiri. Demi umat Tuhan tidak mementingkan kepentingan pribadi. Nilai inilah yang hendak ditawarkan Tuhan melalui sabda-Nya. Tuhan menghendaki supaya kita memiliki sikap mau dan berani berkorban demi kebaikan orang lain, meski korban itu menuntut pengorbanan kepentingan pribadi. Tuhan tidak mau kita hanya mementingkan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan bersama.

by: adrian