Hari Jumat, 7 Maret 2014, sekitar jam 20.00, seorang teman yang tinggal di
Tanggerang menelepon saya. Awalnya dia ungkapkan kekesalannya terhadap saya
karena susah sekali menghubungi saya. Dia sebenarnya sudah mengontak saya pada
jam 16.00 tadi. Tujuannya agar saya menonton acara di Metro TV, tentang vonis
mati mantan pastor.
Karena saya tidak menonton, maka dia akhirnya menceritakan sedikit acara
tersebut yang berisi wawancara dengan mantan pastor yang divonis hukuman mati
karena terbukti membunuh kekasih dan anak hasil hubungan gelapnya. Saat
peristiwa itu terjadi, sang mantan itu masih berstatus pastor. Dan baru
terbongkar setelah 10 tahun.
Satu komentar singkat teman saya itu adalah, koq pastor
itu tega menghabisi tiga nyawa. Sungguh amat keji. Teman saya belum bisa
menerima hal itu, mengingat pelakunya adalah seorang imam. Kalau awam biasa,
mungkin dia bisa terima. Saya hanya menjawab singkat, itulah manusia.
Saya mengatakan bahwa memang apa yang dilakukan mantan pastor itu adalah
tindakan keji. Semua orang mengetahui dan menyadarinya. Namun, semuanya selesai
dengan adanya vonis itu. Pastor pembunuh itu membunuh orang dan orangnya mati.
Tindakannya diketahui dan vonis sudah diputuskan. Selesai. Pastor itu tentunya
akan merasa tenang. Arwah korban pun mendapat ketenangan. Keluarga korban juga
puas. Apa yang dilakukan oleh mantan pastor ini saya istilahkan dengan
“membunuh mati”.
Akan tetapi, ada satu tindakan keji lainnya yang juga dilakukan oleh pastor, yaitu “membunuh hidup”. Apa yang dilakukan pastor ini sebenarnya sudah “membunuh” namun tidak mengakibatkan kematian. Yang menjadi persoalannya adalah semua orang belum mengetahui dan menyadarinya. Karena itu, tidak ada vonis apapun terhadap pastor ini, sehingga tindakan ini terus berulang-ulang. Dan pastornya pun terus saja melakukan tindakannya, karena merasa tidak bersalah.