AGAMA DAN MISTERI
Dari etimologinya, kata
“agama” memiliki beberapa arti. Ada yang mengatakan bahwa kata “agama” berasal
dari bahasa Sanskerta, dari kata A yang berarti tidak dan GAMA yang berarti kacau.
Secara sederhana agama dipahami tidak kacau; dan ini mengarah pada tradisi.
Biasanya tradisi ini mengacu pada relasi manusia dengan Sang Pencipta,
sesamanya dan juga alam. Jika agama ini dipelihara maka terciptalah harmoni.
Istilah lain yang sering
dipakai untuk pengertian agama adalah RELIGI. Istilah ini berasal dari Bahasa
Latin “religio”, yang diambil dari akar kata RE yang berarti kembali, dan LIGARE yang berarti mengikat. Jadi, religi berarti mengikat
kembali; karena istilah ini biasa digunakan dalam hubungan antara manusia
dengan Tuhan, maka istilah religi dipahami mengikat kembali relasi dengan
Tuhan.
Apapun pengertiannya,
istilah agama ini biasanya dikaitkan dengan Tuhan. Karena itu, orang sering
mendefinisikan agama sebagai penghambaan manusia kepada Tuhannya. Relasi
manusia dengan Tuhan adalah relasi hamba – tuan. Dan untuk mengatur relasi itu,
muncullah agama.
Ada cukup banyak agama di
muka bumi ini. Agama-agama itu mengatur relasi umatnya dengan Tuhannya. Semua
aturan itu tertuang dalam norma-norma agama. Hal inilah yang membuat agama
dilihat sebagai suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani
manusia.
Berhubung agama itu
menyangkut keberadaan Tuhan, maka agama memiliki cirinya, yaitu misteri. Kata
“misteri” berasal dari Bahasa Latin mysterium
(Yun: mysterion mystes) yang
berarti tutup atau bungkam. Misteri dapat dipahami sebagai sesuatu yang
keberadaannya tersembunyi dari kita atau sangat sulit dicapai. Tuhan itu
diyakini sebagai suatu entitas yang ilahi, yang tak dapat dipahami oleh akal
manusia yang terbatas.
Oleh karena itu, Jeremy Tailor
(1613 – 1667), seorang penulis spiritual berkebangsaan Inggris, pernah berkata,
“Agama yang tanpa misteri adalah agama tanpa Allah.” Di sini Jeremy mau
menegaskan bahwa misteri merupakan suatu syarat mutlak agama, dalam kaitannya
dengan relasi dengan Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan itu mahakuasa, yang
bukan hanya mencakup alam semesta, melainkan juga semuanya. Tak mungkinlah
kesemuanya itu dapat dimasukkan ke dalam otak manusia yang hanya sekepal
tangan. Bagi manusia, Tuhan masih menyisakan misteri. Dan karena misteri itu,
sikap yang dibutuhkan adalah iman. Jadi, iman merupakan tanggapan manusia akan
misteri keilahan Tuhan.
Pernyataan Jeremy senada
dengan apa yang dikatakan Mgr. Ignatius Suharyo, dalam bukunya The Catholic Way (2009: 11), “Kalau
semuanya jelas, itu pasti bukan Allah dan bukan iman.” Memang iman itu perlu
dipertanggungjawabkan. Seorang beriman akan berusaha mencari kebenaran atau
memenuhi dambaan hati dan budinya. Namun ada saatnya pencarian dengan akal budi
itu mentok. Pada titik inilah orang hanya bisa mengambil keputusan iman. Orang umumnya
akan berkata, “Saya percaya meskipun saya tidak tahu segala-galanya.” Bukan lantas berarti meninggalkan iman, sebagaimana yang dilakukan oleh orang ateis. Dibutuhkan sikap rendah hati untuk mengakui keterbatasan diri.