Tahun baru 2014 rakyat Indonesia mendapat kado istimewa dari
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu BPJS dan kenaikan harga gas elpiji
12 kg. Kenaikan harga yang melangit membuat rakyat kecil, khususnya Usaha Kecil
Menengah, menjerit. Aksi protes pun terjadi di mana-mana. Ada yang demo, ada
pula yang melakukan aksi membuang tabung gas elpiji ke tempat sampah.
Akhirnya harga gas elpiji diturunkan sehingga rakyat sedikit
bisa bernafas lega. Namun ada dua hal yang menarik dari berita turunnya harga
gas elpiji tersebut. Pertama, baik menteri maupun
kader Partai Demokrat mengatakan bahwa setelah mendengar aspirasi rakyat,
akhirnya pemerintah (SBY) menurunkan harga gas elpiji. Sebuah pernyataan yang
sangat indah di telinga, seolah-olah SBY begitu peduli dengan nasib rakyat.
Lagi-lagi tudingan pencitraan meruak. Hal ini tidaklah aneh, karena memang SBY
suka sekali dengan politik pencitraan. Maklum, tahun 2014 adalah tahun PEMILU.
Hal menarik yang kedua adalah bahwa SBY
tidak tahu soal kenaikan harga gas elpiji 12 kg. Ketidaktahuan SBY ini
bermakna bahwa dirinya tidak diberitahu. Jadi, karena tidak diberitahu, makanya
SBY tidak tahu. Hal ini sungguh menarik perhatian orang, khususnya para
pengamat politik. Banyak orang merasa aneh, koq
urusan ini tidak dilaporkan kepada presiden supaya yang bersangkutan tahu. Dari
sini muncul penilaian kalau komunikasi di antara presiden dan bawahannya tidak
berjalan dengan baik.
Akan tetapi, melihat reaksi Menteri BUMN, Dahlan Ikhsan,
banyak orang merasa tak yakin kalau SBY tidak tahu. Orang lantas menilai kalau
PERTAMINA dan Dahlan Ikhsan telah dijadikan korban politik pencitraan. Maklum,
sosok Dahlan Ikhsan adalah sosok pekerja, bukan politikus. Beliau tidak mau
dipusingkan dengan urusan politik, yang penting baginya adalah bekerja untuk
kepentingan nusa dan bangsa.
Karena itulah, menjadi pertanyaan kita sekarang adalah apakah
memang SBY tidak tahu soal kenaikan harga gas elpiji atau memang pura-pura
tidak tahu. Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa kecil kemungkinan
kalau SBY tidak tahu soal hal itu. Kemungkinan besarnya adalah SBY pura-pura
tidak tahu. Setelah mengetahui reaksi dari rakyat, barulah SBY tampil bak pahlawan untuk menyelamatkan
rakyatnya.
Atau, kemungkinan lain lagi, SBY memang tidak mau tahu. Sepertinya
salah satu sikap SBY adalah tidak mau tahu. Salah satu contoh adalah ketika SBY
ditanya oleh salah seorang peserta pertemuan East Asian Summit 2013 tentang kemacetan di Jakarta, SBY menjawab
kalau dirinya tidak tahu; lantas menyuruh penanya untuk langsung bertanya ke Gubernur
DKI Jakarta. Di sini tampak bahwa SBY tidak mau tahu urusan DKI Jakarta, meski
dirinya bekerja di Jakarta, dan melemparkan urusan itu ke pemerintah daerah. (Tentang hal ini lihat di sini)
Nah, demikian pula halnya dengan masalah kenaikan gas elpiji
12 kg ini. Bukan tidak mungkin SBY tidak mau tahu dengan urusan ini. Toh masa pemerintahannya tinggal
beberapa bulan lagi. Daripada sibuk mengurus negara, mendingan mengurus partai
yang terus didera kasus korupsi. Elektabilitas partai pun tidak memuaskan.
Kepastian soal sikap SBY ini: tidak tahu, pura-pura tidak
tahu atau memang tidak mau tahu, hanyalah Tuhan dan SBY saja yang tahu. Sekalipun
SBY dengan lantang mengatakan bahwa dirinya SUNGGUH tidak tahu, sebagian besar
rakyat sudah tidak percaya. Rakyat Indonesia bukan orang bodoh lagi. Banyak rakyat
sudah pintar. Mereka tahu kalau politikus itu pembual; lain di bibir lain pula
di hati dan di lapangan. Karena itulah, masalah ini diserahkan kepada hati
nurani yang bersangkutan.
Jakarta, 7 Januari 2014
by: adrian