Senin, 07 Juli 2014

Orang Kudus 7 Juli: St. Maria Romero Maneses

BEATA MARIA ROMERO MENESES, PENGAKU IMAN
Maria Romero Meneses lahir pada 13 Januari 1902 di Granada, Nikaragua. Ia adalah puteri dari keluarga kelas atas di Nikaragua. Sejak kecil ia sudah diberikan pendidikan terbaik, terutama dalam hal menggambar dan melukis, bermain piano dan biola. Ia kemudian disekolahkan di sekolah suster-suster Salesian.

Ketika Maria berusia duabelas tahun ia mengalami penyembuhan ajaib dari sakitnya yang membuat ia terpanggil untuk menjadi biarawati Salesian. Pada 8 Desember 1915, Maria bergabung dengan kelompok Putri-Putri Maria, yang berdevosi kepada Bunda Maria. Setelah melalui bimbingan dari pembimbing rohaninya, pada tahun 1920, Maria bergabung dengan Putri-putri Maria Penolong Umat Kristiani (F.M.A.). Pada 6 Januari 1929, Maria mengikrarkan kaul kekal.

Pada tahun 1931, Maria pergi ke San Jose, Costa Rica. Di sana ia mengajar untuk sekolah bagi gadis-gadis kaya, pada tahun 1933. Pada tahun 1934, ia berhasil menarik beberapa murid untuk berkarya bersamanya menyebarkan Injil serta berkatekisasi. Pada tahun 1945, Maria mulai membuat pusat rekreasi dan pada tahun 1953, ia juga membuat pusat pendistribusian makanan. Pada tahun 1961, Maria mendirikan "casita", sebuah sekolah bagi gadis-gadis miskin. Pada tahun 1966 Maria mendirikan sebuah klinik dimana banyak dokter dengan sukarela membantunya, juga banyak donasi yang diberikan untuk usaha Maria.

Maria juga merencanakan untuk mendirikan sebuah desa, dimana orang miskin dapat memperoleh tempat tinggal dengan harga terjangkau, serta pasar, sekolah, dan pusat pelatihan kerja. Semua hal ini terwujud pada tahun 1973. Maria juga mendirikan sebuah gereja yang didedikasikan untuk St. Maria, Penolong Umat Kristiani. Maria Romero Meneses, F.M.A., meninggal dunia pada 7 Juli 1977, karena serangan jantung di Las Penitas, Leon, Nikaragua. Tubuhnya dipindahkan ke San Jose, Kosta Rika, dan dimakamkan di kapel Salesian. Pada 14 April 2002, ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II.

(Pencerahan) Dilema Kata "Iri Hati"

DILEMA KATA “IRI HATI”
Tentu kita sudah tak asing dengan kata “iri hati”. Kata ini sering disejajarkan dengan kata “cemburu”. Jadi, orang yang iri hati sama saja dengan orang yang cemburu. Tak jarang pula kata ini disamakan dengan kata “dengki”. Kata ini masuk kategori kata moral. Yang dimaksud dengan kata moral adalah kata yang mempunyai nilai-nilai moral. Penilaian moral itu menyangkut baik dan buruk; baik dan jahat. Karena itu, dalam kata-kata moral itu ada penilaian baik atau jahat. Beberapa kata moral lain adalah seperti: sederhana, dermawan, menolong, membunuh, korupsi, fitnah, dengki, dendam, murah hati, mengampuni, kasih, benci, iri hati, dll.

Selain terletak pada kata itu, nilai moral juga terletak pada sesuatu yang kepadanya diarahkan kata-kata itu. Misalnya, kata “pencuri”. Di dalam kata itu terkandung nilai jahat. Namun, jika kata itu ditujukan kepada seseorang, misalnya “Umar pencuri”, maka nilai jahat itu melekat juga pada diri si Umar. Contoh lain misalnya, kata “murah hati”, yang secara moral memiliki nilai baik, jika dikenakan pada “Si Amir”, maka itu berarti si Amir itu orang baik, atau memiliki nilai kebaikan.

Akan tetapi, kata “iri hati” sedikit bermasalah karena membingungkan. Kebingungan itu bukan terletak pada penilaiannya, karena soal nilainya sudah jelas. Kebingungan itu timbul dari efek penggunaannya, dan itu terfokus pada orang yang menyandang atau kepadanya kata itu dilekatkan. Kata ini mempunyai nilai buruk atau jahat. Orang yang menyandangnya, atau kepadanya dikenakan kata ini, berarti yang bersangkutan itu buruk secara moral. Agama juga mengajarkan agar umatnya tidak iri hati.

Kenapa kata “iri hati” membingungkan?

Kita ambil contoh cerita SMK Fatamorgana tentang tokoh yang bernama Atikus. Dalam cerita itu dikatakan bahwa guru-guru berpandangan negatif kepada sdr. Atikus yang sering pergi ke luar kota dengan boss. Para guru merasa aneh dengan kebiasaan itu. Keanehan itu dilihat dari keuangan, tugas dan urgensitasnya. Soal uang orang bertanya, biaya perjalanan itu dari mana? Satu masalah kecil, tak satu orang pun yang bisa mengetahui laporan keuangan kecuali boss dan Atikus. Soal tugas orang bertanya, apa hubungan kepergian itu dengan tugas sdr. Atikus? Satu masalah kecil, tugas sdr. Atikus sendiri memang kurang jelas. Soal urgensitas orang bertanya, apa kepentingannya sehingga sdr. Atikus pergi ke luar kota bersama boss? Bukankah kepergiannya itu mengganggu efektifitas kerjanya?

Terhadap keanehan-keanehan yang dilontarkan para guru itu, sdr. Atikus menanggapinya dengan sederhana. Ia mengatakan kalau pernyataan guru-guru itu lahir dari rasa iri hati. Mereka tidak senang melihatnya bahagia bisa bepergian dengan boss. Mereka cemburu karena mereka tidak mengalami nasib seperti dirinya atau tidak punya kesempatan seperti dirinya. Jadi, sebenarnya ada keinginan di hati para guru untuk bepergian ke luar kota bersama boss, namun tidak mendapat kesempatan.

Sdr. Atikus meletakkan kata moral “iri hati” dan “cemburu” kepada guru-guru yang menilai aneh kebiasaannya bepergian dengan boss ke luar kota. Pernyataan sdr. Atikus ini menempatkan para guru itu sebagai orang yang buruk secara moral. Mereka, dalam kacamata agama, masuk ke dalam golongan orang berdosa. Orang lain yang berada di luar pusaran ini, setelah mendengar penjelasan dari sdr. Atikus, juga menilai guru-guru tersebut sebagai jahat.

Namun, benarkah mereka itu jahat secara moral? Inilah yang membingungkan. Memang kedua kata itu (iri hati dan cemburu) memiliki nilai buruk; dan guru yang dikenakan kata itu, mau tidak mau, dinilai sebagai buruk. Akan tetapi, jika ditelaah dengan baik belumlah tentu demikian. Para guru itu sebenarnya mau bersikap kritis karena melihat adanya keanehan. Salahkah orang bersikap kritis?

Maksud hati baik (bersikap kritis) namun akhirnya dituding jahat. Tentu tidak ada orang yang dari awalnya ingin mendapat gelar jahat. Namun efek jahat yang akan dikenakan sebagai dampak dari niat baik itu membuat orang sering mengurung niatnya. Akhirnya kejahatan tetap terlestari.

Nah, tambah bingung kan?
Jakarta, 8 April 2014
by: adrian
Baca juga:

2.      SMK Fatamorgana
3.      Kebaikan Semu

Renungan Hari Senin Biasa XIV - Thn II

Renungan Hari Senin Biasa XIV, Thn A/II
Bac I    Hos 2: 13 – 15, 18 – 19; Injil           Mat 9: 18 – 26;

Tema sabda Tuhan hari ini adalah percaya. Percaya merupakan jawaban umat atas sapaan kasih Allah. Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Hosea, dilukiskan dengan sangat bagus soal kepercayaan itu. Memang di sana diuraikan sabda Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Hosea. Awalnya Tuhan menyampaikan situasi ketidaksetiaan umat Israel, namun Tuhan tetap menunjukkan kesetiaan-Nya. Malah Tuhan menjanjikan kehidupan layak bagi mereka, dengan catatan umat kembali percaya kepada-Nya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kehidupan bahagia yang dijanjikan Allah merupakan buah kepercayaan mereka kepada Tuhan Allah.

Kepercayaan juga menjadi inti sari dari kisah Yesus dalam Injil hari ini. Injil mengisahkan dua peristiwa mujizat besar. Pertama, seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan; dan kedua, putri dari seorang kepala rumah ibadat yang telah mati hidup kembali. Pada dua kisah ini ada kepercayaan. Pada kisah kedua, kepercayaan itu diungkapkan oleh kepala rumah ibadat itu. “Anakku perempuan baru saja meninggal, tapi datanglah dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, maka ia akan hidup.” Demikian ungkapan iman kepala rumah ibadat itu. Ia yakin kalau Tuhan Yesus meletakkan tangan-Nya atas putrinya, maka putrinya akan hidup. Ia sungguh percaya. Hal ini terlihat juga pada perempuan yang sakit pendarahan. “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” Ia yakin Tuhan Yesus, sekalipun hanya jubah-Nya saja, dapat menyembuhkan penyakitnya. Dan buah kepercayaan mereka adalah hidup dan kesembuhan.

Sabda Tuhan hari ini mau menyadarkan kita bahwa buah kepercayaan adalah kebahagiaan. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan peduli pada umat-Nya, dan tak ingin membiarkan kita hidup dalam penderitaan. Tuhan ingin supaya kita bahagia. Namun pada kita dituntut sikap percaya kepada-Nya. Percaya kepada Tuhan mengandaikan bahwa hanya Tuhan-lah yang ada dalam hidup kita, tidak ada yang lain. Untuk itu dituntut kesetiaan. Inilah yang dikehendaki Tuhan melalui sabda-Nya.

by: adrian