
Baru-baru
ini, kita digemparkan dengan cuitan seorang CEO perusahaan besar yang begitu kontroversial
sampai-sampai menyebabkan “rating” minat ke perusahaannya menurun drastis.
Salahkah pernyataan CEO ini? Mengapa orang sepandai dan sesukses ini bisa
terpeleset dalam membuat “statement”
yang beresiko?
Di
sini kita melihat bahwa orang yang super-inteligen pun, bisa jatuh karena
kurang bijaksana. Apakah dengan banyaknya kita terobsesi pada layar kaca dan
peralatan elektronik, membuat kita lupa mempelajari kebijaksanaan? Padahal,
dengan berkembangnya artificial
intelligence (kecerdasan buatan/AI), kita mengklaim: We’re more than just intelligent machines.
Gejala
ini sudah diramalkan Isaac Asimov pada 1988. Bahkan Elon Musk, si raja disruptor
penemu Tesla, mobil tanpa pengemudi ini, mengatakan bahwa penciptaan AI ini
perlu dikontrol dengan sikap waspada.
Namun,
para futuris barat ini pun tidak secara jelas mengekspresikan bagaimana cara
meningkatkan budi manusia ini agar tetap setara dengan akalnya. Aristoteles,
filsuf Yunani, pernah mengemukakan konsep phronesis
yang pada dasarnya adalah sikap mental untuk menjadikan pengalaman sebagai
kebenaran: “A true and reasoned state of
capacity to act with regard to the things that are good or bad for man.”
“From Knowledge to Wisdom”