SANTO GREGORIUS VII, PAUS & PENGAKU IMAN
Saat terakhir kehidupan Gregorius dijalani di tempat
pengasingan. Ia meninggal dunia di Salerno, Sisilia pada tanggal 25 Mei 1085.
Ia seorang pencinta keadilan dan perdamaian. Hal ini dapat disimak dari
kata-katanya yang terakhir sebelum ajalnya: “Aku telah mencintai keadilan dan
perdamaian dan membenci kelaliman. Karena itu aku meninggal di pengasingan.”
Mencintai keadilan dan perdamaian dan berjuang untuk menegakkannya demi
kebaikan Gereja adalah warna dasar seluruh kehidupan Gregorius. Hildebrand nama
kecil Gregorius VII, lahir di Toskania, Italia Tengah pada tahun 1020 dari
sebuah keluarga sederhana. Setelah menjadi rahib di sebuah biara Ordo
Benediktin di luar negeri, ia dikirim belajar di biara Santa Maria di Roma.
Karena kemampuan dan prestasinya sungguh luar biasa, ia dipindahkan ke Schola Cantorum, sebuah sekolah ternama
di Roma. Di sini ia dibimbing oleh Yohanes Gratian, seorang imam yang menjadi
Paus pada tahun 1045, dengan nama ‘Gregorius VI’. Oleh Gregorius VI, Heldebrand
diangkat menjadi Sekretaris Pribadi. Tetapi kemudian dalam Konsili Sutri pada
tahun 1046 yang diprakarsai oleh kaisar Jerman Henry III, Gregorius VI
(1045-1046)-pengganti Paus
Benediktus IX-dipaksa meletakkan jabatannya sebagai Paus karena dituduh
melakukan praktek Simonia (= membeli jabatan Paus dengan uang). Sebagai
gantinya, Konsili memilih Klemens II
(1046-1047).
Setelah pemecatannya, Gregorius
VI meninggalkan kota Roma dan mengungsi ke pegunungan Alpen ditemani oleh
Hildebrand. Dari tempat pengungsian itu, Hildebrand pergi ke Jerman. Di sana ia
menjalin hubungan erat dengan Uskup Bruno dari Toul. Bersama Uskup Bruno, ia
ikut membaharui kehidupan Gereja. Tatkala Uskup Bruno terpilih menjadi Paus
(Paus Leo IX, 1049-1054), Hildebrand menemaninya ke Roma. Di sana ia
ditabhiskan menjadi Diakon Agung, suatu jabatan penting yang bertugas mengurus
hubungan Tahkta Suci dengan negara-negara lain. Selain itu, ia dipercayakan
jabatan sebagai pengawas keuangan kepausan. Sebagai rekan kerja terdekat Paus
Leo IX, Hildebrand turut aktif melaksanakan berbagai program pembaharuan hidup
menggereja.
Situasi Gereja pada masa itu sangat memprihatinkan. Berbagai
kebiasaan buruk merajalela di kalangan raja-raja dan kaisar. Mereka tanpa
segan-segan turut campur tangan dalam urusan-urusan yang sebenarnya menjadi
urusan intern Gereja. Sering terjadi praktek pelantikan Imam dan Uskup
dilakukan oleh raja atau kaisar, hanya karena dipandang dapat memberikan
keuntungan kepada kerajaan atau kekaisaran. Jabatan Imam dan Uskup bahkan Paus
dapat dibeli dengan uang. Soal kelayakan pribadi tidak diperhitungkan sama
sekali. Kecuali itu, imam-imam pun tidak menghayati imamatnya dengan baik.
Karya pembaharuan Gereja digalakkan untuk melenyapkan berbagai praktek itu.
Keberhasilan awal dari usaha Hildebrand diperolehnya di biara Santo Paulus di
Roma. Dengan pengaruhnya yang besar ia berhasil mengembalikan citra kehidupan
imamat di antara kaum imam-imam yang hidup di dalam biara itu. Umat di Roma
mulai bangkit lagi dengan semangat baru untuk menghayati imannya secara
sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ketika Leo IX meninggal dunia, orang-orang
Roma dengan suara bulat memilihnya menjadi pengganti Leo IX.
Tetapi Hildebrand yang ketika itu sedang bertugas di Perancis segera meminta
agar umat memilih saja orang lain. Ia sendiri pun berjuang untuk mengangkat
Gebhard, Uskup kota Eichstadt sebagai pengganti Leo IX. Pada
tahun 1055, Gebhard menjadi Paus dengan nama Viktor II (1055-1057). Sepeninggal
Viktor II (1057), Frederick dari Monte Casino diangkat menjadi Paus dengan nama
Stefanus
IX (1057-1058). Setahun kemudian ia meninggal dunia dan diganti oleh Uskup
Gerhard dari Florence dengan nama Nikolas II (1059-1061).
Pada masa kepemimpinan Paus Nikolas
II terjadi dua peristiwa penting. Pertama, terbitnya dekrit pembaharuan
aturan pemilihan Paus baru. Pemilihan ini sepenuhnya berada dalam tangan para
Kardinal, tanpa campur tangan kaisar. Kedua, penandatanganan naskah perjanjian
dengan bangsa Normandia yang menguasai Italia Selatan. Kedua peristiwa ini
terjadi atas prakarsa Hildebrand, yang menjabat sebagai Diakon Agung. Peraturan
baru mengenai pemilihan Paus mulai diterapkan Hildebrand ada waktu pemilihan Paus
Aleksander II (1061-1073).
Sepeninggal Aleksander II, peraturan baru itu seolah tidak berlaku. Umat secara
spontan dan suara bulat memilih Hildebrand sebagai Paus, mengingat kesalehan
hidupnya dan berbagai prestasinya dalam menangani urusan-urusan Gereja. Karena
berpegang teguh pada aturan pemilihan yang baru, Hildebrand bersikeras menolak
keinginan umat itu. Namun akhirnya ia menerimanya juga karena ketulusan hati
umat. Ia menduduki Tahkta Santo Petrus dengan nama Gregorius VII (1073-1085).
Semenjak ia merestui keinginan umat untuk menjadi Paus, berbagai tugas yang
berat yang menuntut penyelesaian segera bermunculan secara beruntun. Program
yang telah dijalankannya selama 25 tahun terus dijalankan. Ia berjuang keras
memberantas berbagai praktek buruk di kalangan awam (kaisar dan raja-raja) dan
kalangan pejabat Gereja. Praktek memperjual belikan jabatan imam dan Uskup juga
diberantasnya. Ia mengadakan sinode-sinode untuk membicarakan masalah-masalah
itu sekaligus untuk mencarikan jalan keluarnya. Ia menegaskan kepada para Uskup
agar tidak lagi membiarkan Gereja Kristus dipermainkan oleh orang awam yang
tidak bertanggungjawab. Ketegasannya dan pelbagai usaha pembaharuannya mendapat
perlawanan keras dari kaum awam, terutama kaisar. Di Spanyol, Perancis,
terutama di Jerman di bawah kaisar Hendrik IV, para imam dan kaum awam dengan
keras menentang kebijaksanaan Paus Gregorius VII. Meskipun demikian Gregorius
tak tergoncangkan pendiriannya. Sebaliknya ia mengutus pembantu-pembantunya ke
seluruh Eropa dengan kuasa penuh untuk memecat semua imam yang hidup tidak
sesuai dengan imamatnya. Demikian juga semua orang yang menjadi imam dengan
cara ‘simonia’.
Ia menerbitkan sebuah dekrit yang dengan keras melarang kaum awam, termasuk
raja-raja dan kaisar untuk terlibat dalam hal pengangkatan pejabat-pejabatan
Gereja. Ia mengekskomunikasikan semua imam yang menduduki jabatan suci dengan
cara yang tidak benar dan sah menurut aturan Gereja. Bahkan ia memecat beberapa
Uskup Saxon dan menggantinya dengan orang-orang pilihannya sendiri. Sebagai
reaksi, kaisar Hendrik IV menabhiskan diakon Teolbaldo sebagai Uskup Agung
Milan, Italia Utara. Gregorius menentangnya dengan tindakan ekskomunikasi.
Pada misa Natal 1075, Gregorius ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi ia segera
dibebaskan oleh umat Roma yang mencintainya. Hendrik segera mengadakan
pertemuan dengan uskup-uskup Jerman di Worms pada tahun 1076. Mereka menuduh
Gregorius melakukan berbagai tindakan kriminal dan dengan tegas menyatakan
bahwa pengangkatannya sebagai Paus adalah tidak sah. Lebih lanjut mereka
mendesak agar Gregorius segera turun Tahkta Santo Petrus.
Melihat bahwa Hendrik IV telah diekskomunikasikan oleh Gregorius, sejumlah
besar Pangeran Jerman membelot dan bangkit melawan Hendrik. Mereka berkumpul di
Tribur dan memberhentikan Hendrik sebagai kaisar Jerman. Menyaksikan peristiwa
kacau ini, Hendrik segera mengambil tindakan berani yakni meminta pengampunan
Paus. Dengan sejumlah kecil pengikutnya, ia berangkat menuju istana Kanossa,
tampat peristirahatan Gregorius. Selama tiga hari, Hendrik berdiri di halaman
istana Kanossa, sebagai seorang peniten yang mau bertobat. Mengingat
kedudukannya sebagai seorang gembala umat yang berkewajiban mengampuni setiap
umatnya yang bertobat, Gregorius akhirnya rela mengampuni Hendrik dan menarik
kembali keputusan ekskomunikasinya setelah Hendrik berjanji untuk menaati
aturan-aturan yang ditetapkan Paus dan Hukum Gereja.
Pengampunan ini membebaskan dia dari dosanya sekaligus ancaman para pangeran.
Ia kembali ke Jerman untuk memulihkan kembali kedudukannya sebagai kaisar.
Meski demikian, para pangeran tidak mengakuinya lagi. Mereka mengangkat Rudolf,
seorang pangeran dari Swadia untuk menduduki tahkta kekaisaran. Perang segera
berkobar. Rudolf terbunuh dalam perang itu. Dengan demikian Hendrik kembali
berkuasa.
Ia lalu kembali kepada perbuatannya, yakni mengangkat kaum awam untuk menduduki
jabatan-jabatan Gereja. Ia mengancam Gregorius dengan mengangkat Guibertus,
Uskup Agung Ravenna yang telah diekskomunikasikan Gregorius sebagai Paus
tandingan, dengan nama Klemens III (1080-1100). Dan oleh Klemens III, Hendrik
dinobatkan sebagai kaisar di Basilik Santo Petrus pada tanggal 31 Maret 1084.
Situasi ini tidak berakhir. Pangeran Robertus Guiscard, seorang sahabat
Gregorius dari suku Normandia di Italia Selatan, berangkat ke Roma dengan
kekuatan besar untuk memaksa Hendrik turun dari tahktanya. Dia berhasil
mengalahkan Hendrik. Takhta Kepausan kembali dipulihkan. Tetapi karena
orang-orang Roma tidak suka kepada orang-orang Normandia, maka berkobarlah
pertempuran hebat. Menghadapi kekacauan ini, Gregorius mengasingkan diri ke
Salerno, Italia Selatan. Di sana ia mengampuni kembali orang-orang yang telah
diekskomunikasikannya, kecuali Hendirk IV dan Guibertus. Disana pula ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 25 Mei 1085.
Gregorius VII, seorang Paus yang besar dan terkenal. Perjuangannya untuk
menegakkan martabat Gereja dilanjutkan oleh Paus-Paus yang menggantikannya.
sumber: http://www.imankatolik.or.id/kalender/25Mei.html