Senin, 05 Agustus 2013

Renungan Hari Senin Biasa XVIII-C

Renungan Hari Senin Biasa XVIII, Thn C/I
Bac I : Bil 11: 4b – 15 ; Injil : Mat 14: 13 – 21

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara soal kepemimpinan. Dalam bacaan pertama, kepemimpinan itu tampak dalam diri Nabi Musa. Ketika orang Israel menghadapi sebuah masalah (soal makanan), Musa tidak mau menyalahkan warganya. Dengan rendah hati Musa menyalahkan dirinya sendiri.  Musa melihat bahwa masalah bangsanya merupakan tanggung jawabnya. Dia tak mau lari dari tanggung jawab itu (ay. 11 – 14).

Hal yang sama juga ditekankan Yesus kepada para rasul-Nya. Yesus mau menanamkan sikap kepemimpinan yang bertanggung jawab kepada para rasul. Dia tak mau para rasul itu cari enak sendiri dengan meminta orang banyak itu menyelesaikan masalahnya sendiri (ay. 15). Yesus mau agar mereka bertanggung jawab. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus member mereka makan.” (ay. 16).

Hari ini Tuhan mengajak kita untuk menanamkan sikap kepemimpinan yang bertanggung jawab. Wujud tanggung jawab itu adalah dengan tanggap atas masalah yang ada. Masalah, sejauh itu masih bagian dari kita, yang ada harus segera ditangani, dan jangan membiarkan orang lain yang mengurusnya.

by: adrian

Orang Kudus 5 Agustus: St. Ia

Santa ia, martir

Ia seringkali didera karena usahanya menobatkan banyak orang kafir ketika meringkuk di dalam penjara. Semua penderitaannya itu tak pernah mampu memadamkan semangatnya untuk mewartakan Kristus. Oleh karena itu, akhirnya ia dihukum mati pada masa pemerintahan Schapur II, Raja Persia.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

(Inspirasi Hidup) Cinta Sejati

LOVE IS BLIND BECAUSE…
Pada jaman dulu, sebelum dunia diciptakan seperti yang kita kenal sekarang, dan manusia belum lagi menginjakkan kakinya di sana, semua sifat kebaikan dan kejahatan berkeliaran tak tentu arah dan merasa bosan, tak tahu apa yang hendak dilakukan.

Suatu hari, mereka berkumpul dan merasa lebih bosan lagi daripada sebelumnya, sampai ketika Kecerdikan mengemukakan usul : “Mari kita bermain petak umpet.” Mereka semua menyukai ide tersebut, dan secara tiba-tiba Madness/Kegilaan berteriak: “Aku ingin menghitung, biar aku saja yang menghitung!”

Dan karena tidak ada yang cukup gila untuk ingin mencari kegilaan, semua yang lain setuju saja. Kegilaan segera bersandar ke pohon dan mulai menghitung, “Satu, dua, tiga…” Sementara Kegilaan menghitung, semua sifat kebaikan dan kejahatan tersebut bersembunyi. Kelembutan menggantung dirinya di ujung bulan, Pengkhianatan bersembunyi di tumpukan sampah. Kasih sayang bergulung di antara awan dan Nafsu Kegairahan pergi ke tengah-tengah bumi. Kebohongan berkata akan bersembunyi di bawah batu, tapi ternyata justru bersembunyi di dasar danau. Sementara itu, Ketamakan masuk ke dalam kantung yang kemudian ternyata dirobeknya karena kantung itu dirasanya tidak nyaman.

Dan Kegilaan masih terus menghitung, “Tujuh puluh sembilan, delapan puluh, delapan puluh satu…” Ketika itu, semua sifat tersebut telah bersembunyi — kecuali Cinta. Seperti Keragu-raguan, demikianlah cinta, dia tak bisa memutuskan ke mana harus bersembunyi. Dan ini tentu tidak mengejutkan karena kita semua tahu betapa sulitnya menyembunyikan cinta. Pada saat Kegilaan sampai pada hitungan ke-99, Cinta segera melompat bersembunyi ke kebun bunga Mawar. Dan dengan bersemangat Kegilaan berbalik dan berteriak, “Bersiaplah, ini aku datang! Akan kutemukan kalian semua”.

Kemalasan adalah yang pertama ditemukan, karena dia bahkan tidak punya energi untuk mencoba bersembunyi, disusul oleh Keragu-raguan, yang masih mondar-mandir karena tak tahu ke mana harus sembunyi. Kemudian, secara hampir beruntun Kegilaan segera menemukan Kelembutan di ujung bulan, Kebohongan di dasar danau dan Gairah di tengah-tengah bumi. Satu persatu Kegilaan menemukan mereka semua, kecuali lagi-lagi Cinta. Kegilaan mulai menjadi semakin gila, karena putus asa untuk menemukan Cinta.

Tapi Kecemburuan yang iri pada Cinta yang belum juga ditemukan, berbisik pada Kegilaan, “Kau hanya perlu mencari Cinta, dan dia bersembunyi di semak bunga Mawar.” Kegilaan mengambil garpu taman dan menusuk-nusukannya serampangan ke arah semak Mawar. Dia terus menusuk-nusuk sampai terdengar suara tangis memilukan yang membuatnya berhenti. Cinta keluar dari persembunyiannya sambil menutup mukanya dengan tangan. Di antara jari-jarinya mengalir darah segar yang ternyata berasal dari kedua belah matanya.

Kegilaan yang terlalu bersemangat untuk menemukan Cinta, tanpa sengaja telah melukai mata dari Cinta. “Apa yang telah kulakukan!” teriaknya menyesal. “Aku telah membuatmu buta! Bagaimana aku harus memperbaikinya?” Cinta menjawab, “Kau tak mungkin memperbaikinya. Tapi kalau kamu bersedia melakukan sesuatu untukku, kamu bisa menjadi penuntunku.”

Dan semenjak itulah, Cinta itu buta namun dia bisa melihat dalam kegelapan, karena dia selalu didampingi oleh Kegilaan.
Baca juga refleksi lainnya: