Minggu, 15 Februari 2015

(CERPEN) Harimau Peliharaan

HARIMAU PELIHARAAN
Aku kaget sekaligus heran dengan kebiasaan baru temanku. Agus namanya. Sejak masih kuliah dia memang punya hobi yang aneh-aneh. Dan ternyata hobi anehnya itu berlanjut hingga kini. Sampai ia sudah berkeluarga.

Yah, kemarin ketika aku berkunjung ke rumahnya, aku dibuat kaget dengan hewan peliharaannya yang menyambut aku. Seekor anak harimau remaja.

“Apa kau nggak takut?” Tanyaku setelah merasa aman di dalam rumah. Aku melirik ke isterinya, yang juga memiliki perasaan sama sepertiku. Namun, sebagai isteri, dia hanya bisa diam mengikuti kemauan suami.

“Takut?! Bro, dia itu hewan peliharaan. Tak beda dengan peliharaan lainnya.” Ujar Agus sambil sedikit tersenyum. “Anggap saja dia itu kucing yang besar. Lihat saja tongkah polanya. Lucu dan menggemaskan.”

“Sejinak-jinaknya harimau, dia tetap binatang buas. Dan sejahat-jahatnya kucing, dia tetaplah binatang peliharaan.”

Tapi Agus, bukanlah Agus kalau memang tidak memiliki keanehan. Ia tetap tak terpengaruh dengan omonganku. Dan ternyata hobi anehnya ini sempat mendapat protes dari sang isteri. Tapi ia mampu meyakinkan isterinya. Entahlah, apakah karena keyakinan atau karena takut.

Agus mau memelihara harimau dalam rumahnya karena dia punya keyakinan bahwa setiap hewan punya perasaan. Jika hewan itu dibaiki, ia juga akan baik kepada kita. Naluri jahat binatang muncul sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri. Hewan menjadi buas kalau ia lapar atau disakiti. Jadi, selama kita berbuat baik kepadanya, merawat, memberi makan dan bermain bersama, kebuasan itu akan hilang. Ia akan bersikap jinak kepada kita.

“Tahu film Hachiko, kan? Karena tuannya senantiasa berbuat baik, anjing itu benar-benar menunjukkan kesetiaannya kepada sang tuan. Kesetiaan yang tidak mudah didapat pada manusia,” jelasnya dengan semangat. “Karena itu, sebuas apapun binatang, dia masih punya balas budi. Dia punya rasa hormat dengan tuannya.”

Aku tak bisa membantahnya. Sekalipun aku takut dengan hewan peliharaannya, namun otakku masih menerima penjelasannya. Hewan bisa membalas budi kepada siapa yang telah berbuat baik kepadanya. Dalam satu sisi, sikap ini diturunkan kepada manusia. Bukankah manusia itu hewan yang berakal budi. Animal rationale. Manusia adalah animal, tapi mempunya ratio. Mungkin karena ratio itulah maka kesetiaan manusia tidak buta seperti hewan. Meski ada juga manusia yang buta dalam kesetiaan membalas budi.

Ada manusia yang tak jauh beda dengan binatang dalam kesetiaan membalas budi. Ia buta akan kebenaran dan kebaikan. Yang ada dalam benaknya adalah membalas budi. Apakah balas budi itu baik dan benar, tidak jadi pertimbangannya.

Apakah Agus sudah mempertimbangkan sisi buta ini?
***
Dua tahun setelah kunjunganku ke rumah Agus, aku mendapat email dari isterinya. Ia bercerita tentang harimau peliharaan suaminya.

“Mas ingatkan anak anjing yang di rumah itu hari. Sekarang udah mati. Dibantai harimau itu. Selama ini anjing itu hanya bermain di dalam. Tak pernah keluar, apalagi bermain bersama harimau itu.

Kemarin, waktu Doni pulang dari sekolah, ia lupa menutup pintu. Anjing itu keluar. Karena bawaannya suka bermain, maka ketika ketemu harimau dia juga bermain-main. Tapi apa yang terjadi. Harimau itu langsung menyergapnya. Sekali sergapan saja. harimau itu memakan anjing itu di depan mata saya.

Tapi anehnya, Mas Agus malah membelanya. Dia bilang bahwa tak ubahnya seperti manusia. ada juga perasaan kesal dan jengkel. Harimau itu tidak mau bermain, diajak bermain. Ya kesal lah.

Yah, mungkin juga salah saya yang tak mau dari awal mengajak anjing itu bermain dengan harimau itu. Memang Mas Agus sudah meminta saya untuk diberi kesempatan keduanya bermain bersama. Tapi saya kan takut.

Wah, saya jadi banyak cerita ya. Kapan mas main ke sini lagi?

Salam,
Molly”

Renungan Hari Minggu Biasa VI - B

Renungan Hari Minggu Biasa VI, Thn B/I
Bac I    Im 13: 1 – 2, 44 – 46; Bac II           1Kor 10: 31 – 11: 1;
Injil      Mrk 1: 40 – 45;

Bacaan pertama hari ini diambil dari Kitab Imamat. Di sini dijelaskan sedikit mengenai ketentuan yang berlaku bagi orang Yahudi terkait dengan orang yang menderita sakit kusta. Orang yang sakit kusta adalah orang najis. Sepanjang hidupnya mereka diharuskan memakai pakaian compang camping dan rambut dibiarkan terurai. Sepanjang jalan mereka harus berteriak: najis! najis! supaya warga lain menyingkir. Mereka tinggal di tempat yang terasing. Singkat kata, mereka adalah orang yang disingkirkan dari pergaulan sosial. Sekedar diketahui, waktu itu belum ada pengobatan untuk sakit kusta, sehingga orang yang mengalami benar-benar merasa pengasingan seumur hidup.

Dengan memahami gambaran orang kusta dalam bacaan pertama di atas, kita dapat memahami cerita penyembuhan orang kusta dalam Injil hari ini. Kita dapat memahami bukan saja tindakan Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang kusta itu, tetapi tindakan orang kusta yang sembuh itu. Dikatakan bahwa setelah mendengar permohonan orang kusta itu tergeraklah hati Tuhan Yesus oleh belas kasih. Hati Yesus tergerak oleh dua hal, pertama, iman yang lahir dari sikap rendah hati si penderita kusta. Ini terlihat dari ungkapan si kusta, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” (ay. 40). Kedua, gambaran orang kusta itu sendiri, sebagaimana yang terlihat dalam bacaan pertama.

Setelah menyembuhkan orang kusta itu, Tuhan Yesus memang berpesan supaya ia tidak memberitahukan kepada siapa pun, kecuali kepada imam. Ini sesuai dengan Kitab Imamat. Akan tetapi, orang itu tidak mengindahkan pesan Yesus. Hal ini dapat dimaklumi karena kegembiraan yang amat sangat dirasakan oleh orang itu. Yang semula tidak punya harapan, kini memilikinya; yang awalnya berpikir akan menghabiskan hidupnya dalam keterasingan, kini ia dapat bergaul lagi sebagaimana mestinya. Kegembiraan yang luar biasa inilah membuat ia lupa akan pesan Yesus tadi.

Apa yang dilakukan orang kusta itu bukan semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia mewartakan penyembuhannya, pembebasan dari keterasingan. Dia hendak menyampaikan bahwa pada Yesus ada harapan. Hal inilah yang hendak ditekankan oleh Paulus dalam bacaan kedua. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Paulus mengajak jemaat supaya segala aktivitas hidup tidak dilakukan demi kepentingan pribadi, melainkan demi kemuliaan Allah dan kepentingan orang banyak. Paulus mencontohkan dirinya yang melayani umat bukan untuk kesenangan dirinya, melainkan untuk menyenangkan hati mereka.

Dalam kehidupan kita masih ada sesama yang tersingkir dan menderita. Kebanyakan mereka sudah kehilangan harapan. Tuhan meminta kita untuk tidak ikut menyingkirkan mereka. Kita hendaknya justru merangkul mereka, memberi bantuan, peneguhan dan harapan. Pemberian kita bukan saja dapat menyenangkan, tetapi juga “menyelamatkan” mereka. Inilah yang dikehendaki Tuhan melalui sabda-Nya hari ini. Tuhan tidak mau kita hanya mementingkan kepentingan diri sendiri tanpa peduli pada Tuhan dan sesama.

by: adrian