Seorang teman menulis di status facebook-nya: “Prasangka
negatif adalah tetangga yang paling dekat dengan kebodohan.” Istilah
tetangga yang paling dekat merupakan istilah lain dari sama dengan. Jadi,
sebenarnya teman itu mau menulis bahwa prasangka negatif itu merupakan suatu
kebodohan.
Benarkah demikian?
Yesus mengajarkan kita untuk mengeluarkan balok di mata kita lebih dahulu
baru kita dapat mengeluarkan selumbar di mata teman kita (Mat. 7: 3 – 5).
Selumbar itu lebih kecil dari balok, namun kita melihatnya menjadi besar karena
ia ada di luar diri kita. Sementara balok yang lebih besar menjadi kecil karena
ia ada di diri kita. Di sini Yesus mau mengatakan bahwa setiap kita punya balok
di mata kita. Hendaklah kita semua menanggalkan atau mengeluarkan balok itu
sehingga kita dapat melihat sesama kita apa adanya.
Karena itu, pertama-tama harus disadari adalah bahwa setiap prasangka itu
selalu negatif. Kenegatifan ini sepertinya manusiawi. Semua manusia memiliki
kecenderungan melihat yang negatif.
Akan tetapi tidak selamanya prasangka negatif itu buruk atau jahat. Tidak
selamanya juga prasangka negatif itu bodoh. Sebuah prasangka itu negatif
karena ia bertolak dari yang positif. Ketika orang tidak menemukan yang
positif, dari situlah akhirnya muncul prasangka negatif.
Contohnya, prasangka negatif seorang isteri terhadap suaminya. Ia mengira
sang suami selingkuh. Kenapa muncul prasangka ini? Bisa jadi ada perubahan sang
suami. Biasanya suami pulang jam 18.300, mesrah dengan isteri, bercanda sama
anak-anak, nonton bareng di ruang tamu, ada gairah di ranjang, dll. Gambaran
ini merupakan gambaran positif. Namun yang terjadi akhir-akhir ini, ia pulang
jam 22.00, dengan muka masam, tak ada canda dengan anak-anak, tak ada acara
nonton bareng, di ranjang langsung pulas, dll. Ini adalah gambaran negatif.
Nah, karena hilangnya gambaran positif inilah, sang istri akhirnya berprasangka
negatif: suami ada selingkuhan. Apakah ini bodoh?
Contoh lain. Kita tentu kenal dengan Gayus HP Tambunan. Kenapa ia akhirnya dipenjara karena kasus korupsi? Semuanya berawal dari prasangka negatif. Orang tahu bahwa Gayus itu pegawai pajak golongan III-A. Gaji PNS Golongan III-A sekitar 2 – 2,5 juta per bulan. Dengan gaji segitu siapapun dapat memberikan gambaran positifnya. Namun yang terjadi adalah Gayus memiliki uang 25 millyar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 millyar dan perhiasan senilai 14 millyar di bank atas nama isterinya. Belum lagi rumahnya yang nilainya millyaran rupiah. Ini merupakan gambaran negatif. Nah, ketika orang tidak menemukan yang positif pada diri Gayus sebagai PNS golongan III-A, orang akhirnya berprasangka negatif. Apakah ini bodoh?
Coba bayangkan jika seandainya semua orang berpikiran positip? Maka akan
ada asas manfaat. Suami akan memanfaatkan kepositipan prasangka istri dengan
tetap menjalankan praktek selingkuhnya. Atau Gayus akan terus meraup kekayaan
yang sebenarnya untuk rakyat demi pundi-pundi dirinya dan keluarganya.
Oleh karena itu, jangan terlalu mudah dan cepat mengadili prasangka negatif
sebagai suatu tindakan yang buruk atau jahat. Kecenderungan manusia adalah
memvonis buruk orang yang berprasangka negatif dengan pernyataan-pernyataan
seperti: cemburu, iri hati, dengki, tidak senang melihat orang bahagia, gosip,
fitnah, dll. Harus disadari bahwa prasangka negatif orang itu lahir dari
ketiadaan hal positip dalam diri kita.
Maka, solusi yang harus dilakukan ketika orang berprasangka negatif
terhadap kita adalah membuktikan bahwa yang negatif itu salah dengan
mengembalikan yang positif dalam diri kita. Dari pada energi kita habis hanya
untuk mengecam orang yang berprasangka negatif, alangkah positipnya jika kita
menunjukkan sisi positif kita yang telah hilang.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar