Ustadz
Abdul Somad (UAS) termasuk salah satu dari sekian banyak ustadz atau penceramah
agama islam yang paling popular. Wawasan pengetahuannya akan islam dan
aqidahnya sangat mumpuni. Aqidah islam inilah yang selalu disampaikan dalam
setiap ceramah keagamaannya. Jam terbang yang dimilikinya sangat tinggi. Hampir
setiap bulan UAS tampil di beberapa tempat di Indonesia, bahkan biasa tampil di
salah satu stasiun televisi. Semua hal itu membuktikan kalau memang UAS sangat
popular.
Dalam
salah satu ceramah keagamaannya di Masjid Annur di Pekanbaru 3 tahun lalu, UAS
membahas soal patung salib orang katolik. Dengan mengatakan, “di salib itu ada
jin kafir” dan “di dalam patung itu ada jin kafir” UAS telah dinilai menghina
agama Kristen, entah itu katolik maupun protestan. Ada segelintir elemen Gereja
Kristen menuntut UAS ke polisi, sekalipun pimpinan kedua Gereja sudah
menghimbau agar masalah UAS tidak dibawa ke ranah hukum. Terlihat kalau
himbauan pimpinan Gereja, baik Konferensi Waligereja Indinesia (KWI) maupun Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI) lebih mengedepankan ajaran kristiani, yaitu
mengampuni, mendoakan dan mengasihi. Namun apa yang dilakukan segelintir elemen
Gereja Kristen dengan menuntut UAS ke polisi hendak membuktikan hukum.
Akan
tetapi, sepertinya kasus UAS ini tidak akan seperti kasus yang menimpa Basuki
Tjahaya Purnama (BTP). Sudah pasti tidak akan ada “fatwa” penistaan agama dari
KWI dan PGI. Juga tidak akan ada demo besar-besaran. Selain itu, Mejelis Ulama
Indonesia (MUI) ada di belakang UAS. Bukan tidak mustahil bahwa popularitas UAS
menyelamatkannya dari jerat hukum. Dapat dipastikan UAS akan tetap melenggang,
dan popularitasnya semakin melejit.
Kasus
UAS, meski kajian islamnya tentang patung salib disampaikan secara tertutup,
sudah bersifat publik. Pusat perhatian publik tidak hanya berhenti pada dua
pernyataan UAS tentang salib dan patung, melainkan berlanjut pada sikap MUI dan
umat islam umumnya yang membela UAS serta pernyataan bahwa kajian UAS 3 tahun
lalu itu sudah sesuai dengan aqidah islam. Karena itu, apa dan bagaimana
pandangan umat lain yang bukan beragama islam?
Berikut
ini beberapa pandangan umat non muslim setelah melihat perjalanan kasus UAS.
1. Ketika
muncul aksi terorisme, yang mengatas-namakan islam, banyak tokoh islam
mengklaim bahwa aksi itu bukan cermin agama islam. Semua tokoh islam lantas
mengatakan bahwa islam itu agama rahmatan
lil alamin, agama kasih dan damai. Sungguh terkesan indah. Namun ketika
berhadapan dengan UAS yang menghina agama lain, umat islam justru membela. Hal
ini tentulah akan membingungkan umat non islam. Bukan tidak mustahil mereka
akan mengatakan bahwa slogan rahmatan lil
alamin hanyalah retorika kosong saja. Ini mirip kutipan puisi MALAM LEBARAN
karya Sitor Situmorang, “Bulan di atas kuburan”. Bulan memang terlihat indah
(apalagi purnama), namun keindahan itu kontras dengan kuburan, yang diidentikan
dengan bangkai dan tulang belulang.
2. Pada
umumnya semua orang, bahkan termasuk orang islam sendiri, sudah tahu dan setuju
bahwa agama itu mengajarkan kebaikan. Namun melihat kasus UAS, pernyataan itu sepertinya
tidak berlaku untuk agama islam, karena terbukti aqidah islam membolehkan untuk
menghina agama lain. Belum lagi bila melihat aqidah-aqidah islam lainnya yang
senada, dimana ternyata ada hasutan kepada kebencian dan permusuhan. Hal ini
membuat orang non muslim menilai bahwa keindahan islam hanyalah tampilan luar
saja, sementara di dalamnya penuh dengan kebusukan. Ini mirip seperti kecaman
Yesus kepada para ahli Taurat dan kaum farisi, yang “seperti kuburan, yang
sebelah luar tampak bersih, tapi sebelah dalam penuh dengan kekotoran.” (bdk.
Matius 23: 27 – 28)
3. Dengan
melihat pembelaan MUI dan umat islam lainnya terhadap UAS, umat non islam
melihat bahwa ternyata agama islam membolehkan menghina agama lain, asalkan
dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi. Karena itu, tidak mustahil
kasus UAS ini hanyalah kasus kecil yang muncul di publik. Ada banyak kasus
serupa yang tak kelihatan karena memang tidak dimunculkan atau dilakukan secara
tersembunyi. Orang non muslim melihat sepertinya ada kesan pada orang islam
berlaku asas ini: “Untukmu agamamu,
untukku agamaku. Tapi aku boleh menghina agamamu.”
4. Kasus
UAS dengan pembelaan-pembelaan yang dilakukan MUI dan umat islam lainnya
membuktikan kepada umat non muslim bahwa islam bukanlah agama toleran.
Toleransi yang selalu didengung-dengungkan orang islam adalah apabila umat
agama lain menghormati islam, sementara islam tak wajib menghormati agama lain.
Dengan kata lain, islam boleh tak menghormati. Hal ini mirip dengan asas di
atas: “Untukmu agamamu, untukku agamaku.
Tapi aku boleh menghina agamamu.”
5. Terkait
poin no. 4 di atas, umat non islam akhirnya sadar bahwa tidak mungkin membangun
dialog dengan umat islam. Pada umumnya orang tahu kalau dialog itu terjadi pada
dua pihak yang mempunyai kedudukan yang setara. Kasus UAS, yang dibela oleh MUI
dan umat islam lainnya, menunjukkan adanya ketidak-setaraan antara islam dan
agama lain. Agama lain tidak boleh menghina islam (dan memang tidak ada ajaran dalam
agamanya untuk melakukan hal itu), tetapi agama islam boleh menghina agama
lain.
6. Sebagian
orang non muslim, ketika mendengar berita kasus UAS, langsung teringat akan Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi
Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, atau biasa dikenal dengan Dokumen Abu
Dhabi. Dokumen itu ditanda-tangani oleh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar,
dan Paus Fransiskus. Berhubung Paus Fransiskus mewakili umat katolik sedunia, orang
lantas berpikir bahwa Ahmed el-Tayeb mewakili umat islam. Ada 2 pernyataan
menarik dari dokumen itu, yaitu agama
tidak boleh menghasut orang kepada sikap kebencian, dan menyebarkan budaya toleransi dan hidup
bersama dalam damai. Mencermati Dokumen Abu Dhabi tersebut, umat non muslim
akan kebingungan bila mengaitkan dengan kasus UAS yang dibela oleh MUI. Kasus
UAS jelas bertentangan dengan sikap yang disuarakan oleh Imam Besar Al-Azhar,
yang telah menanda-tangani Dokumen Abu Dhabi.
7. Orang
yang bukan islam melihat adanya ketidak-konsistenan para tokoh agama islam
dalam menerapkan aqidah islam. Jika patung salib dipersoalkan, kenapa patung
lainnya tidak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kantor MUI ada patung burung
Garuda Pancasila. Hampir di setiap kota-kota besar, bahkan yang jumlah penduduk
islamnya terbesar, bertebaran patung-patung yang menghiasi wajah kota. Apakah
hanya pada patung salib saja ada jin kafir, sedangkan patung lain tidak ada?
Padahal yang dilarang dalam hadis adalah patung.
8. Selain
ketidak-konsistenan para tokoh agama islam, kasus UAS ini juga memperlihatkan
bahwa ada begitu banyak umat islam tidak menjalankan aqidah islamnya. Dapat
dibuktikan ada banyak umat islam mempunyai patung dan menyimpannya di dalam
rumah sebagai hiasan. Padahal keberadaan patung itu dilarang dalam ajaran
islam, berdasarkan HS Muslim 24: 5250. Hadis sama sekali tidak menyebut soal
model, jenis atau pun bentuk patung yang menyebabkan malaikat tidak dapat masuk
ke dalam rumah. Yang dikatakan hadis hanyalah patung.
9.
Orang sudah tahu bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Salah satu aspek dari hukum adalah keadilan, dan salah satu asas hukum adalah semua orang sama di muka hukum. Jika kasus UAS ini tidak sampai ke
meja pengadilan, tentulah umat non muslim akan menilai bahwa hukum tidak adil
di negara hukum. Dapatlah dikatakan bahwa hukum Indonesia lemah atau tunduk
terhadap tekanan mayoritas.
DEMIKIANLAH
kiranya beberapa pandangan umat non muslim dalam melihat kasus UAS. Mungkin
masih ada pandangan lain lagi, yang tak sempat kami ungkapkan di sini. Apakah
dari pandangan ini orang lantas menilai agama islam itu buruk? Kami sama sekali
tidak mengatakan hal itu. Silahkan saja pembaca menilainya sendiri.
Lingga,
18 September 2019
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar