Sabtu, 12 Januari 2013

Kaum Muda Katolik dlm Sejarah

TONGGAK-TONGGAK PERJUANGAN DAN PERAN ORANG MUDA KATOLIK DALAM BERBANGSA
Pengantar
Para Uskup Indonesia yang bersatu dalam KWI setuju diadakan “Indonesian Youth Day”, suatu pekan perjumpaan Orang Muda Katolik (OMK) pada tanggal 20-26 Oktober 2012 di Sanggau, Kalimantan Barat. Tema pokoknya ialah ”Berakar dan Dibangun, dalam Yesus Kristus, Berteguh dalam Iman” dengan sub tema ”Makin Beriman, Makin Mengindonesia”. Momentum ini diharapkan akan menjadi dorongan bagi pembinaan orang muda Katolik zaman ini. IYD menjadi semacam ”membangunkan” kesadaran di antara OMK dan para pembina OMK serta Gereja Katolik Indonesia akan perannya dalam sejarah keselamatan Allah di Indonesia. Paparan ini akan menampilkan tonggak-tonggak perjuangan tersebut, dan semoga memberi inspirasi.

Tonggak-Tonggak Sejarah
Awal 1900-an
Para Misionaris Katolik dari berbagai ordo dan kongregasi makin mantap berkarya mewartakan Injil di nusantara (Hindia Belanda) dengan membuka karya pendidikan dan pelayanan kesehatan serta pengajaran iman Katolik.

Rm Van Lith mendirikan HIK (Sekolah Guru Katolik) di Muntilan untuk mendidik orang-orang muda sebagai guru bagi bangsanya. Lahirlah generasi pertama intelektual Katolik Indonesia. Frans Seda (1926-2009) adalah generasi terakhir yang langsung dididik Rm. Van Lith.

Tahun 1923
Agustus, 30 orang guru muda berusia 22-23 tahun alumni sekolah guru mendirikan Perkumpulan Katolik untuk aksi politik bagi orang-org Jawa. Jumlah orang di Jawa saat itu sekitar 10.000 orang.

Tahun 1925
Februari, berdiri Perkumpulan Politik Katolik Jawa.

Tahun 1930
Organisasi politik umat Katolik yang dimotori orang-orang muda bersatu dalam Persatuan Politik Katolik Indonesia. Ada 41 cabang di seluruh Indonesia.

Tahun 1930 – 1949
Ada banyak sekali komunitas kaum muda Katolik, mulai dari Muda Katolik, Muda Wanita Katolik, Pandu Katolik, misdinar, hingga kelompok-kelompok olahraga gereja.

15 November 1945
Lahir AMKRI, Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia

Tahun 1948 – 1950
Kasimo Plan, IJ Kasimo, Menteri Muda Kemakmuran, Ketua Partai Katolik, meluncurkan program tiga tahun untuk peningkatan produksi pertanian

Tahun 1949
7 – 12 Desember, dilaksanakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia. Terjadi penyatuan semua ormas Katolik ke dalam satu organisasi tunggal untuk tiap satu kelompok umat. Partai Katolik menjadi partai satu-satunya bagi umat katolik Indonesia. Muda Katolik Indonesia muncul menggantikan AMKRI sebagai satu-satunya organisasi untuk kaum muda, tetapi Pandu Katolik masih dipertahankan.

Kelompok Muda Katolik Indonesia semula berorientasi ke dalam paroki, seperti Mudika saat ini, tetapi juga terlibat dalam forum pemuda nasional dan regional.

Desember 1949
Pemuda Munajat, pemuda Katolik, menjadi satu-satunya utusan organisasi pemuda yang ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, ia mewakili Mgr Sugiyopranata, SJ, yang memegang peran kunci dalam lobby politik di negeri Belanda melalui partai Katolik Belanda di parlemen.

Tahun 1950-an
Gerakan Pancasila dirintis. Gerakan ini inisiatif dari Mgr. Soegijapranata sebagai counter dominasi ideologi pada kehidupan masyarakat (dikemudian hari pola ini dipakai untuk membuat sekber Golkar). Gerakan Pancasila terdiri dari berbagai organisasi (nelayan, petani, paramedik, usahawan) yang masing-masing otonom dan diikat oleh adanya penasihat susila. Penasihat susila ini adalah ‘pasukan khusus’ Soegijapranata dan terdiri dari pastor-pastor muda: Kadarman, Dikjstra, Daniels, Beek, belakangan Melchers dan Albrecht juga.

Gerakan Pancasila dalam perkembangannya bertransformasi menjadi beragam organisasi termasuk Bina Swadaya dan CU. Para penasihat susila mengembangkan lembaga sesuai minatnya. Kadarman mendirikan PPM dan mendorong Atma Jaya dan Bhumiksara, Daniels membangun Sanggar Pratiwi dan Kompas, Dikjstra bergerak di pedesaan dengan membangun Bina Swadaya dan Bina Desa, Beek dengan CSIS, Melchers meneruskan Purba Danarta yang ditinggal Dikjstra, Albrecht mengembangkan CU dan terakhir berkarya di Timtim.

Tahun 1955
Karena situasi politik MKI merubah orientasi dari dalam ke luar, ke bentuk-bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Tahun 1960
Pada bulan Juli, kelompok Muda Katolik Indonesia dalam kongres di Solo berubah menjadi Pemuda Katolik atas usul Munajat.

Tahun 1960-an
Pater Beek merintis kaderisasi politik KASBUL untuk mahasiswa/intelektual muda Katolik untuk menghasilkan kader-kader yang militan. Generasi ini memunculkan tokoh-tokoh politik Katolik seperti JB. Sumarlin, Cosmas Batubara, Harry Tjan Silalahi, Wanandi bersaudara, dan lain-lain.

Tahun 1965
Melawan komunisme, Pemuda Katolik dan PMKRI memegang peran kunci dalam pergerakan pemuda. PMKRI di kota besar dan di lingkaran kekuasaan, PK di desa-desa dan kota kecil, di lingkaran massa. PMKRI bersama HMI menjadi leader dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Pemuda Katolik dan ISKI (Ikatan Siswa Katolik Indonesia) kader dalam KASI (Kesatuan Aksi Siswa Indonesia), sementara Partai Katolik menggalang Front Pancasila, dan WKRI memimpin Kesatuan Aksi Wanita Indonesia. Untuk membendung komunisme dengan dukungan hirarkhi para tokoh katolik membentuk Front Katolik Tanpa Lubang.

Tahun 1973
Muncul UU Kepartaian. Partai Katolik sebagai payung bersama peran sosial politik kemasyarakatan umat Katolik pun hilang melebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Akibatnya kerangka sistem peran sosial politik Katolik Indonesia yang dibangun dalam KUKSI 1949 pun runtuh.

Tahun 1974
Peran sosial politik kaum muda Katolik masih sangat terasa di tanah air, ini nampak dalam Kongres KNPI pertama 27 Okt 1974, PMKRI dan Pemuda Katolik menjadi delegasi yang mewakili hampir 50 % delegasi KNPI propinsi/kabupaten dari seluruh Indonesia. Setelah itu mulai terjadi penurunan dinamika dengan cepat.

1970 – 1980-an : SPIRITUALITAS
Bentuk-bentuk pendampingan seperti Choice, Karismatik, Anthiokhia mulai bermunculan. Di Bandung Gereja Mahasiswa mulai dirintis. Berlangsung Retret Nasional sebanyak 5 angkatan ( ’75, ’76, ’77, ’78, 80) dipsonsori oleh Romo Dahler. Gladi Rohani lahir dari gerakan para alumni Retnas. Pendekatan CIVITA KAJ mulai muncul dan membentuk trend baru pendampingan yang berorientasi spiritualitas dan pengembangan karakter, dengan satu pertanyaan kunci WHO AM I. Muncul pula KASIS (Kaderisasi Basis). Di UGM muncul Misa Kampus dengan motor-motor seperti Hani Handoko dkk.

Tahun 1985
Karena situasi internal pendampingan kaum muda yang makin lemah serta munculnya UU Keormasan (dalam kerangka depolitisasi Orde Baru) yang melarang ormas ada dalam lingkungan tempat ibadat, diputuskan PMKRI dan PEMUDA KATOLIK terlepas dari struktur teritorial gereja (paroki) dan mengikuti struktur adminstratif negara (desa, kecamatan, kota, kabupaten, dst), serta keduanya berfungsi mengisi peran eksternal gereja (sosial politik), sementara itu sebagai gantinya dibentuklah Mudika untuk kaum muda teritorial, dan KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) untuk mahasiswa/kategorial. Akibatnya PEMUDA KATOLIK dan PKMRI kehilangan basis massa kader, sementara KMK dan Mudika kehilangan kesadaran kritis dan tanggung jawab sosialnya, terbenam ke dalam dirinya sendiri.

1980 – 1990-an : KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL
Era pola kaderisasi lama berlalu, dari orientasi politik kekuasaan (power) menjadi politik kemanusiaan (pro KLMT). Muncul kelompok-kelompok Katolik muda yang sangat beragam sifatnya, non-hirarkhis, serta berorientasi sosial politik kemasyarakatan. Di Yogya muncul VDC (Volunteer Development Corps), VSSC (Virtus Sociale Study Club), dan SOLID. Model-model live-in, teater rakyat, kelompok diskusi, bahkan pandampingan desa bermunculan. Gemakarya juga muncul (di akhir ’90-an berubah menjadi LSM Cakra Indonesia. Berkembang ITRY (Institut Teater Rakyat Yogyakarta). Peran para frater Jesuit dengan proyek sosial mereka sangat berpengaruh. Gerakan sosial kaum muda Katolik masa ini sangat terinspirasi Teologi Pembebasan. Gerakan Romo Mangun dan karya-karyanya menyemangati banyak orang. Di solo Komunitas seperti Keping (Kelompok Pinggiran) juga tumbuh. Selain itu komunitas yang lebih rohani seperti bengkel Rohani, Bahtera Rohani, Jarkom Pelajar Katolik untuk pertama kali muncul. Dua simpul seni yang dimotori orang muda Katolik muncul di Yogyakarta: teater Introspeksi di Kotabaru oleh Landung Simatupang, Lono Simatupang, Nasarius Sudaryono di Utara, dan teater Gandrik di Yogya Selatan.

Komisi Kepemudaan KWI menekankan pola pembinaan yang mencakup Spiritualitas, Kepribadian, Kepemimpinan, Organisasi, Kemasyarakatan, dan Profesionalitas (”Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda, 1995”) dengan membuat ”Training for Trainers”, pemberdayaan pemuda desa, dan program penguatan jaringan OMK Teritorial Keuskupan.

Tahun 1998
Peristiwa Reformasi, peran kaum muda Katolik ada tetapi bersifat personal, bukan hasil pendekatan pendampingan yang tertata, tetapi hasil pencarian individual. Tetapi dua gerakan yang dimotori mahasiswa di dua kampus Katolik di Yogyakarta muncul memegang peran penting dalam gerakan Mei 1998 di Yogyakarta : FAMPERA di Atmajaya dan SOMASI dari USD.

Generasi 2000
Komersialisasi dan pencabutan subsidi pendidikan oleh negara dan tekanan ekonomi menjadikan tekanan studi serta orientasi kerja sangat menonjol, kesadaran dan kerinduan organisasi melemah luar biasa. Di sisi lain, sejak remaja kebudayaan populer yang serba gemerlap, penuh mimpi terus-menerus dijejalkan melalui media massa dan teknologi, ini melahirkan generasi yang cenderung hedonis dan individualis.

Model pelatihan KASBUL berganti menjadi Madha. Model-model komunitas pemerhati kaderisasi bermunculan dan berlangsung di banyak tempat, ada yang lokal ada yang jaringan. ANV dan Justice and Peace merambah kaum muda. Model-model pendampingan kaum muda terkait spiritualitas juga menguat (Karismatik, KTM/Komunitas Tritunggal Mahakudus). Komunitas Sant Egidio menggabungkan gerakan doa dengan karya langsung di tengah masyarakat. Gladhi mahasiswa kembali bergerak melalui pelatihan CBT (Character Building Training).

Dalam ranah spiritualitas dan pengetahuan iman, beberapa OMK aktif merefleksikan ”teologi tubuh”, serta kelompok peminat misa tradisional berbahasa Latin yang berkembang di antara para penggerak koor.

Apa yang kita pelajari ?
Dari sejarah tersebut, tekanan peran OMK dan metode pembinaan tampak mengalir mengikuti keadaan bangsa dan negara.

Sejarah menunjukkan hal-hal berikut :
Awam yang kuat :
Dinamika Gereja Katolik yang sangat hidup di tahun 1950 – 1970-an ditandai oleh kuatnya peran awam dalam gereja. Sesuatu yang sejak jaman Van Lith melalui sosok Barnabas Sarikrama telah menunjukkan peran sangat signifikan. Maka ini pula yang mendorong Van Lith untuk membangun lapis demi lapis generasi awam Katolik yang cerdas, mendalam dalam spiritualitas, serta kuat dalam karakter. Elemen militansi dan kuat dalam berorganisasi kemudian ditambahkan oleh Pater Beek di tahun 1960-an, sementara aspek keterlibatan akar rumput telah lebih dulu dibangun Pater Djikstra di tahun 1950-an.

Dukungan hirarkhi yang kuat
Adanya dukungan sinergis dari hirarkhi mulai dari paroki hingga tingkat nasional. Ini karena ada saling kebutuhan yang sangat kuat merajut keduanya, peran awam menjadi sangat penting saat hirarkhi gereja masih dalam tahap-tahap pembentukan dan pematangannya, sementara awam merasakan peran hirarkhi menjadi kunci untuk mengembangkan dirinya, karena notabene hirarkhi memiliki jaringan kelembagaan yang luas di tingkat internasional.

Visi bersama yang menggerakkan segala sesuatu
Visi yang kuat mampu menyatukan seluruh energi awam dan hirarkhi ke dalam satu barisan pendampingan dan kaderisasi kaum muda yang sangat tertata. Yang pertama semangat anti komunisme, yang kedua mempengaruhi kekuasaan. Walaupun visi tersebut terasa kurang tepat di saat ini, dan melahirkan banyak luka sejarah (pembantaian terhadap PKI di tahun 1965 dan represi terhadap saudara kita beragama Muslim di tahun 1970 – 1980-an), tetapi adanya kepentingan tunggal yang mengkonsolidasikan seluruh gereja sangat penting dalam membangun kaum muda Katolik yang praktis, kritis dan, transformatif.

Spiritualitas yang utuh dan mendalam
Kalau gereja sekarang seakan-akan berorientasi pada aspek liturgis semata, Gereja Katolik Indonesia pada periode-periode perintisannya hingga tahun 1970-an sangat berorientasi pada formatio umatnya. Ini terasa mulai dari pendekatan pendidikan Van Lith hingga pola-pola kaderisasi berjenjang yang sangat rapi dalam gereja. Dari sinilah muncul spiritualitas yang utuh dan mendalam yang mewarnai generasi-generasi awal umat Katolik Indonesia, dengan wataknya yang khas: religius, sederhana, sabar, telaten, daya tahan, cerdas, bisa dipercaya, serta organisator ulung.

Dari politik kekuasaan menjadi politik kemanusiaan :
Gerakan politik Katolik lama adalah politik kekuasaan. Akibatnya umat yang beragama lain merasa tersisihkan, tidak mendapat ruang dalam politik nasional. Ini melahirkan kebencian yang masih sangat membekas sampai sekarang. Sejak periode 1980 – 1990-an gerakan kembali pada orientasi panggilan kemanusiaan kembali muncul dalam Gereja Katolik Indonesia. Dari politik mendekati dan menguasai kekuasaan menjadi politik kemanusiaan sebagaimana diteladankan oleh beberapa tokoh seperti mendiang Romo Mangunwijaya (1929 - 1999).

Indonesian Youth Day: Membuka Kesadaran
Pasca Reformasi, Indonesia menghadapi proses demokratisasi dan usaha ”pemakmuran bersama” dengan berbagai jalan di ranah hukum, politik, budaya, ekonomi dan penegakan martabat manusia. Namun kita tahu, bahwa kondisi yang memprihatinkan tetap berkecamuk. Gereja dan orang muda Katolik berada di tengah realitas kemiskinan, pluralitas agama dan budaya, situasi perusakan lingkungan hidup, korupsi, kekerasan. Di tengah kondisi ini, Umat Katolik yang berjumlah 3 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 7 setengah juta jiwa dengan jumlah OMK mencapai 60 persennya atau sekitar 4 juta jiwa merupakan kekuatan yang tidak bisa diabaikan untuk menyumbangkan kesaksian hidup akan karya keselamatan di bumi nusantara. Momentum Indonesian Youth Day 2012 semoga menjadi pemicu bagi kita untuk berpikir dan bertindak. Apa yang bisa dibuat oleh OMK dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote demi Gereja yang makin bermakna dan Indonesia yang makin bermartabat?

Semoga Seminar ini menghasilkan ilham yang mendorong kita semua untuk makin mengasihi Allah dalam Gereja dan mewujudkan kasih itu di antara sesama di sekitar kita.

Orang Kudus 12 Januari: St. Hilda

Santa hilda, abas
Hilda lahir pada tahun 617 dari sebuah keluarga Anglo-Saxon yang terhormat. Ia bertobat menjadi kristen ketika ia berumur kira-kira 13 tahun. Tak lama kemudian ia menjadi seorang biarawati di biara di Northumbria, di lembah sungai Wear.

Pada tahun 657 ia mendirikan sebuah biara yang dikenal dengan nama biara Whitby. Perkumpulan ini segera terkenal dan banyak orang datang kepadanya untuk meminta nasehat. Orang-orang itu berasal dari berbagai kalangan: dari kalangan pemerintah, rakyat jelata dan ada pula dari kalangan rohaniwan.

Pada tahun 664 diadakan sebuah sinode di Whitby untuk membicarakan berbagai masalah iman, antara lain menentukan tanggal Hari Raya Paskah dengan tata cara Romawi. Hilda memainkan peranan yang  sangat besar dalam sinode itu. Ia meninggal dunia sebagai seorang abbas di biara Whitby, Inggris Utara.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Sabtu Biasa Sesudah Epifani

Renungan Hari Sabtu Biasa sesudah Epifani, Thn C/I
Bac I : 1 Yoh 5: 14 – 21; Injil       : Yoh 3: 22 – 30

Injil hari ini mau berbicara soal wewenang dan harga diri. Ketika diketahui bahwa Yesus juga membaptis, padahal orang tahu bahwa tugas membaptis itu adalan kewenangan Yohanes, murid-muridnya marah. Mereka melihat bahwa tindakan Yesus itu melecehkan harga diri gurunya. Kemarahan mereka bertambah lagi karena banyak orang akhirnya pergi kepada Yesus (ay. 26).

Yohanes Pembaptis akhirnya membuka mata hati para muridnya. Soal membaptis memang ia dan Yesus memiliki wewenang, tapi wewenang Yesus itu jauh lebih tinggi, karena berasal dari surga (ay. 27). Lebih dari pada itu, Yohanes melihat bahwa demi kebaikan, sekat wewenang itu disingkirkan. Ia tidak merasa harga dirinya jatuh, karena semuanya demi kemuliaan Allah.

Sabda Tuhan ini mau membuka mata kita soal peran dan jabatan. Peran dan jabatan ini melahirkan wewenang. Tak jarang wewenang ini kita pertahankan demi harga diri. Dan untuk mempertahankan harga diri ini kita sampai pada konflik. Akhirnya kebaikan yang menjadi tujuannya hilang.

Melalui Injil ini kita diajak untuk membangun sikap rendah hati sebagaimana Yohanes Pembaptis. Peran, jabatan, wewenang dan harga diri itu memang baik dan perlu. Akan tetapi janganlah karena hal-hal itu tujuan utama, kebaikan dan kebenaran, dikorbankan. Kita dipanggil bukan untuk mempertahankan harga diri dan memperjuangkan kewenangan, melainkan untuk kebenaran dan kebaikan.

by: adrian