Minggu, 17 Agustus 2014

Perayaan Ekaristi Peringati HUT Proklamasi

MERAYAKAN HUT PROKLAMASI RI DALAM TRADISI KATOLIK
Tanggal 17 Agustus merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal itu, di tahun 1945, pemimpin bangsa kita, Soekarno dan Moh. Hatta, memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan itu diperuntukkan bagi rakyat Indonesia, tanpa membedakan ras, suku, golongan, agama atau partai. Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menyatakan bahwa rakyat Indonesia sudah terbebas dari belenggu penjajahan bangsa asing. Dengan kemerdekaan itu, setiap rakyat Indonesia memiliki hak yang sama di tanah air yang tercinta ini.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan momen yang menggembirakan bagi rakyat Indonesia. Jika kita menelusuri sejarah di saat itu, kita dapat merasakan suasana gembira di hati sanubari warga. Mereka bersukacita menyambut proklamasi. Mereka bergembira menyongsong kemerdekaan.
Kegembiraan atas proklamasi ternyata bukan hanya menjadi milik rakyat Indonesia zaman ’45 saja. Kegembiraan itu menjadi kegembiraan rakyat Indonesia kini dan di masa datang. Saat ini pun rakyat Indonesia diajak untuk bergembira dan bersukacita merayakan peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Atas kegembiraan itu, rakyat Indonesia diajak untuk menghaturkan syukur. Semua rakyat Indonesia bergembira merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Merayakan kegembiraan atas HUT kemerdekaan dapat dilakukan dengan berbagai macam kegiatan. Sebagai warga Negara, orang merayakannya dengan upacara bendera dan acara-acara lomba yang banyak digelar. Sebagai warga Gereja, orang katolik di seluruh Indonesia merayakannya dengan perayaan ekaristi. Dalam tradisi liturgi Gereja Katolik, ulang tahun proklamasi Indonesia masuk dalam kategori Hari Raya. Sebagai hari raya, perayaan ekaristinya meriah. Salah satu ciri kemeriahan itu adalah adanya tiga bacaan liturgi.
Ada empat hal yang hendak dibangun dalam diri umat katolik dengan perayaan ekaristi itu. Pertama, umat Katolik diajak untuk menghaturkan syukur kepada Tuhan karena anugerah kemerdekaan yang diberikan-Nya. Bagi umat Katolik, kemerdekaan yang didapat bangsa Indonesia bukan semata-mata perjuangan anak bangsa, melainkan juga anugerah, rahmat dan berkat Tuhan. Hal ini senada dengan bunyi alinea ketiga mukadimah UUD’45, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kedua, umat Katolik diajak untuk mengenangkan jasa para pahlawan serta mendoakan mereka. Ini merupakan bentuk ungkapan terima kasih kepada para pejuang kemerdekaan. Dengan mengenang dan mendoakan mereka, umat katolik menaruh rasa hormat pada mereka. Tentu kita ingat akan kata-kata Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa pahlawannya.”
Ketiga, selain mendoakan para pahlawan, umat katolik berdoa juga untuk bangsa Indonesia, seluruh rakyat Indonesia, agar terhindar dari malapetaka dan dapat mencapai kesejahteraan serta hidup damai. Umat berdoa bukan hanya untuk umat Katolik atau Kristen saja, melainkan untuk semua rakyat Indonesia, tanpa melihat suku, ras, agama, golongan dan aliran ideologinya. Hal ini terlihat dalam upacara Doa Umat.
Keempat, selain bersyukur dan berdoa, umat Katolik diajak juga untuk merenung Sabda Tuhan. Di atas telah dikatakan bahwa ulang tahun kemerdekaan ini dalam liturgi Katolik termasuk Hari Raya, dimana ada 3 bacaan Sabda Tuhan untuk direnungkan. Umat diajak untuk merenungkan sabda Tuhan ini agar dapat menemukan kehendak Tuhan di sana. Hasil renungan itu melahirkan pertanyaan: apa yang bisa aku lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini? Dengan kata lain, renungan mengajak umat katolik, sebagai warga Negara, untuk berperan aktif membangun bangsa ini.
Bacaan pertama diambil dari Kitab Putra Sirakh 10: 1 – 8. Di sini sabda Tuhan lebih ditujukan kepada para pemimpin bangsa ini, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif; baik tingkat pusat maupun daerah, agar mereka menggunakan kekuasaan yang diberikan atau dipercayakan kepada mereka dengan bijaksana. Sikap bijaksana pemimpin dalam menjalankan kuasanya dapat berdampak positif bagi rakyat, seperti mendatangkan ketertiban, keteraturan serta kesejahteraan. Jadi, terlihat jelas bahwa kekuasaan yang ada pada para pemimpin bangsa ini diarahkan untuk kebaikan bersama, bukan demi kepentingan pribadi, keluarga atau golongannya sendiri. Lewat bacaan pertama ini Tuhan menghendaki agar para pemimpin memperhatikan kepentingan rakyatnya.
Bacaan kedua diambil dari 1Petrus 2: 13 – 17. Berbeda dengan bacaan pertama, di sini Tuhan meminta rakyat untuk berlaku bijaksana. Surat Petrus ini menyadarkan umat bahwa saat ini mereka adalah orang-orang merdeka dan meminta umat untuk tidak menyalahgunakan kemerdekaan itu. Nasehat ini dapat diterapkan juga untuk konteks kemerdekaan bangsa Indonesia. Melalui surat Rasul Petrus ini, kita dapat mengetahui kehendak Tuhan bagi kita, yaitu supaya kita memanfaatkan kemerdekaan kita dengan bijaksana. Rasul Petrus merinci bentuk bijaksana dalam kemerdekaan seperti takut akan Allah, mengasihi sesama dan menghormati pemerintahan.
Bacaan Injil dalam perayaan ekaristi HUT Kemerdekaan RI tahun ini diambil dari Matius 22: 15 – 21. Dalam Injil diperlihatkan jawaban bijaksana Tuhan Yesus dalam menghadapi pertanyaan menjebak kaum Farisi dan orang-orang Herodian. “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar; dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.” Pernyataan Yesus ini dapat diterapkan untuk kehidupan kita saat ini. Setiap warga Negara Indonesia adalah juga warga Gereja. Di sini Tuhan Yesus mengajak umat-Nya untuk mengadakan pembedaan antara Negara dan Gereja; antara pemerintahan dan agama. Jangan sampai urusan keagamaan ditimpakan kepada pemerintahan Negara; atau agama dipaksakan ke pemerintahan Negara. Dengan kata lain, Yesus mau mengajari kita untuk tidak mengagamakan Negara atau menegarakan agama.

Dari ketiga bacaan liturgi ini, kita dapat menarik satu kesimpulan berkaitan dengan apa yang hendak direnungkan oleh umat katolik dalam merayakan ulang tahun proklamasi ini. Umat diajak untuk merenung agar dapat mengetahui kehendak Tuhan baginya. Dan itu ada dalam bacaan liturgi tadi. Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik adalah Tuhan menghendaki supaya umat menggunakan kemerdekaan dengan bijaksana. Menggunakan kemerdekaan dengan bijaksana merupakan bentuk lain dari tidak menyalahgunakan kemerdekaan itu.
Sebenarnya nasehat Tuhan, yang terdapat dalam bacaan-bacaan liturgi ini, sudah pernah disuarakan oleh para pemimpin bangsa ini sejak berdirinya Negara ini. Salah satunya adalah Presiden Indonesia yang pertama. Bung Karno pernah menasehati rakyat Indonesia bahwa proklamasi hanyalah menghantar rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tugas rakyat ke depannya adalah mengisi kemerdekaan itu dengan penuh bertanggung jawab.
Bung Karno telah mewanti-wanti bahwa suatu saat akan ada penjajahan baru, yang ironisnya, dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Ini merupakan wujud penyalahgunaan kemerdekaan, karena bukannya mensejahterakan semua orang, melainkan diri sendiri. Akan ada orang Indonesia yang bergembira di atas penderitaan sesama warga Indonesia. Jadi, setelah lepas dari penjajahan bangsa asing, akan ada penjajah baru yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri.
Apa yang dikatakan Bung Karno ini sudah nyata di depan mata kita saat ini. Ahmad Safii Maarif menyebut para penjajah itu dengan diistilahkan londo ireng. Ada banyak wujudnya. Koruptor yang merajalela di negeri ini merupakan salah satu bentuknya. Koruptor adalah orang yang bersukacita di atas penderitaan orang lain. Selain itu, ada juga penindasan yang dilakukan oleh kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, meski sama-sama warga Negara yang mempunyai hak yang sama. Eksploitasi kekayaan alam yang dilakukan oleh sekelompok orang demi kepentingan pribadi atau keluarganya.
Oleh karena itulah, dalam perayaan ekaristi ini, Gereja Katolik mengajak umatnya untuk tidak menyalahgunakan kemerdekaannya. Umat katolik diminta untuk menggunakan kemerdekaannya demi pemerdekaan sesamanya. Dengan kata lain, kemerdekaan yang didapat bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan dibagikan kepada sesama. Dengan demikian dapatlah terwujud cita-cita bangsa kita, yaitu kesejahteraan hidup bagi rakyat Indonesia.
Pangkalpinang, 9 Agustus 2014
by: adrian
Baca juga:
1.    Uang
3.    Bila Punya Hati

Ini Alasan Kenapa Paroki Wajib Transparan dalam Keuangan


Gereja adalah bagian dari dunia. Karena itu prinsip-prinsip keduniaan, meski tidak semuanya, dapat diadopsi oleh Gereja. Salah satunya adalah soal transparansi laporan keuangan. Paus Fransiskus, sejak terpilihnya, mencanangkan transparansi keuangan di pusat Gereja Katolik, yaitu Vatikan. Karena itu, sudah saatnya pengelolaan harta benda Gereja, termasuk keuangan, dilakukan secara transparan agar umat mengetahuinya.

Apakah ajakan Paus Fransiskus untuk terbuka dalam keuangan Gereja sudah diikuti semua Gereja di belahan dunia? Harus diakui bahwa masih ada paroki yang menolak membuka laporan keuangannya kepada umat. Laporan keuangan hanya khusus untuk Pastor Kepala Paroki dan bendahara paroki saja. Umat, bahkan pastor pembantu pun tak diperkenankan untuk mengetahuinya.

Alasan Kuno Menolak Transparansi
Ada saja orang, bahkan dari hirarki, yang tidak setuju dengan transparansi keuangan. Mereka menilai bahwa di balik transparansi ada prinsip do ut des: saya memberi, maka saya menerima. Artinya, pemberian itu ada pamrih. Jadi, umat yang memberi kolekte, intensi, stipendium, dll, disinyalir memiliki pamrih pribadi, bukan murni persembahan kepada Tuhan, Gereja dan karya pastoral. Pemberian tersebut tidak seperti persembahan janda miskin (bdk. Lukas 21: 1 – 4).

Malahan orang menentang transparansi keuangan dengan menggunakan dasar biblis untuk menguatkan argumennya. Teks Kitab Suci yang biasa dipakai adalah Matius 6: 3: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” Teks ini biasanya dipakai sebagai prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan (kolekte, intensi, stipendium, dll).

Benarkah transparansi keuangan bertentangan dengan prinsip kristiani dalam hal memberi? Pertama-tama perlu dilihat konteks Injil Matius berkaitan dengan persembahan secara keseluruhan. Matius 6: 3 itu berkaitan dengan tradisi memberi sedekah yang merupakan kewajiban bagi orang Yahudi. Keluarnya pernyataan Yesus ini harus dikaitkan dengan kebiasaan orang yang suka pamer dalam memberi sedekah. Sikap pamer membuat orang jatuh ke dalam keangkuhan dan kesombongan. Sikap pamer, yang berdampak pada kesombongan diri, inilah yang dikritik oleh Yesus. Untuk menghindari hal ini, Yesus mengajarkan agar persembahan atau sedekah itu diberikan dengan sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Artinya, sedekah atau pemberian itu bukan untuk pamer.

Transparansi bukanlah bertujuan untuk pamer, apalagi menyombongkan diri. Tanpa transparansi pun orang bisa jatuh ke dalam kesombongan pribadi berkaitan dengan persembahan. Kecenderungan pamer dan menyombongkan diri itu tergantung pada hati dan motivasi. Karena itu, tidak beralasan tudingan bahwa transparansi keuangan melanggar prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan. Dan janganlah kecenderungan itu menjadi alasan untuk meniadakan transparansi.

Alasan Paroki Wajib Transparan
Terlihat bahwa alasan penolakan atas transparansi keuangan terkesan mengada-ada atau dicari-cari. Lebih aneh lagi alasan pencegahan tindak kriminal pencurian, perampokan atau pemerasan. Justru kita dapat menilai ada sesuatu mencurigakan di balik ketertutupan itu. Sungguh ironis, orang menggunakan dasar biblis untuk menyembunyikan tindakan korupsinya.

Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak transparansi keuangan. Ada beberapa alasan kenapa Gereja, dalam hal ini paroki, harus transparan. Pertama, uang paroki adalah uang umat yang didapat dari umat melalui kolekte, intensi, stipendium, donasi, dll. Uang itu akan digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi pastor apalagi keluarganya. Oleh karena itu, umat berhak untuk mengetahui pengelolaan keuangan paroki: berapa yang masuk, bagaimana dikelola, bagaimana pemakaiannya, berapa keluar, berapa hasil akhirnya, dll. Dapatlah dikatakan bahwa transparansi merupakan bentuk akuntabilitas.

Kedua, paroki itu bukan milik pastor paroki atau segelintir umat, melainkan milik semua umat. Maka, dengan adanya transparansi keuangan berarti umat dilibatkan; umat menjadi berpartisipasi aktif. Umat bukan penonton atau ATM bagi pastor. Di sini umat akan merasa memiliki Gereja (cinta akan parokinya), melalui kontrolnya atas laporan keuangan yang dibuat secara transparan. Jika tidak semua umat mengetahui, minimal ada perwakilan umat yang melakukan kontrol tersebut.

Ketiga, tak ada manusia yang sempurna. Semua manusia memiliki kelemahan, terlebih dalam hal uang. Manusia, bahkan imam sekalipun, sangat rentan terhadap penyalahgunaan uang. Karena itu benar kata orang bahwa korupsi tidak pandang bulu. Korupsi bukan hanya milik para pejabat negara, tetapi juga bisa melanda pejabat Gereja (baca: hirarki): uskup, imam dan suster. Gebrakan Paus Fransiskus dalam menegakkan transparansi keuangan mengindikasikan adanya korupsi di tubuh Gereja. Transparansi dapat meminimalisir bahaya penyelewengan keuangan. Penyalahgunaan uang akan dengan mudah diketahui. Tentulah hal ini membuat orang segera mengerem niat korupsinya.

Keempat, transparansi membuat pengelolaan uang paroki bisa tepat sasaran. Seperti yang sudah dikatakan, ketertutupan laporan keuangan sangat rentan bagi penyalahgunaan uang paroki. Pastor Kepala Paroki dan bendaharanya bisa saja menggunakan uang itu untuk keperluan yang sama sekali tidak sesuai dengan tujuannya. Memang di pembukuan bisa saja mereka membuat laporan yang sesuai. Pihak keuskupan tidak akan mengetahui dengan pasti penggunaan persisnya; mereka hanya melihat laporan bulanan saja. Umat-lah yang lebih mengetahui situasi parokinya.

Kelima, memang transparansi bukan merupakan ajaran iman. Akan tetapi, dengan menerapkan transparansi keuangan, Gereja Paroki menunjukkan kebersatuannya dengan Gereja Induk, yaitu Vatikan. Gebrakan Paus Fransiskus di Vatikan hendaknya dibaca bukan hanya untuk internal Vatikan saja, melainkan juga untuk Gereja universal. Paroki merupakan bagian dari Gereja universal itu, sehingga sudah semestinya menerapkan juga transparansi keuangan itu. Sangat ironis jika pimpinan tertingginya menyerukan transparansi, namun yang di bawah tak bereaksi. Bukankah ini seperti sikap kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap seruan-seruan Yesus di jaman Perjanjian Baru? Karena itu, sebagai bagian dari Gereja universal, paroki wajib melakukan transparansi keuangan.
Jakarta, 10 Mei 2014
by:adrian
Baca juga:
4.      TransparansiKeuangan

Renungan HUT Proklamasi RI - Thn A

Renungan HUT Kemerdekaan RI ke-69, Thn A/II
Bac I   : Sir 10: 1 – 8; Bac II          : 1Ptr 2: 13 – 17;
Injil     : Mat 22: 15 – 21

Hari ini, sebagai warga negara, kita merayakan hari kemerdekaan bangsa kita dari penjajahan bangsa asing. Tepat tanggal 17 Agustus enampuluh sembilan tahun lalu, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tema sabda Tuhan dalam bacaan liturgi kemerdekaan ini adalah bijaksana. Dikaitkan dengan hari raya kita, maka secara tidak langsung Tuhan menghendaki agar kita menggunakan kemerdekaan kita dengan bijaksana.

Dalam bacaan pertama, sikap bijaksana itu ditujukan kepada para pemimpin terhadap bawahannya. Sikap bijaksana pemimpin dapat membawa efek positif bagi bawahannya. Penulis Putera Sirakh mengatakan bahwa pemimpin yang bijaksana akan mendatangkan ketertiban dan keteraturan (ay.1) dan kesejahteraan (ay. 3). Sedangkan dalam bacaan kedua, yang diambil dari surat Rasul Petrus yang pertama, sikap bijaksana ditujukan kepada semua orang, secara khusus orang bawahan. Petrus dalam suratnya, menegaskan agar kita tidak menyalahgunakan kemerdekaan demi kepentingan diri sendiri. Petrus menghendaki agar kita hidup “sebagai orang merdeka” (ay. 16), yang berarti menggunakan kemerdekaan dengan bijaksana. Hidup merdeka dengan bijaksana dapat terlihat dalam sikap menghormati dan mengasihi sesama, takut akan Allah dan menghormati pemimpin pemerintahan (ay. 17).

Sikap bijaksana, dalam Injil hari ini, diperlihatkan oleh Tuhan Yesus. Menghadapi pertanyaan menjebak dari murid-murid kaum Farisi dan orang Herodian, Yesus memberikan jawaban yang bijaksana. “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (ay. 21). Di sini Yesus mau menanamkan sikap bijaksana berhadapan dengan dua institusi: agama dan sipil. Melalui jawabannya itu, Tuhan Yesus mengajak orang untuk tidak mencampuradukkan kedua urusan ini. Sikap bijaksana terlihat dari kemampuan orang membedakan dan memisahkan kedua urusan tersebut.

Sebagai orang merdeka tentulah kita merasa bangga hidup di alam kemerdekaan. Agak susah jika membayangkan kita masih hidup dalam keterjajahan, meski dalam artian tertentu masih banyak sesama kita yang terjajah. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita menghayati kemerdekaan negara kita dengan bijaksana. Menghayati kemerdekaan dengan bijaksana bukan berarti menikmati kemerdekaan itu untuk diri sendiri atau kelompok kita sendiri saja, melainkan membaginya kepada sesama kita. Tak bisa dipungkiri bahwa ada banyak warga negara yang hidupnya masih dijajah, dan yang ironisnya dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Sabda Tuhan memanggil kita untuk menggunakan kemerdekaan kita demi pemerdekaan saudara-saudari kita yang masih dijajah. Di sinilah letak kebijaksanaan kemerdekaan kita.. Dengan kebijaksanaan itulah maka akan tercipta cita-cita bangsa ini, yaitu kesejahteraan hidup, yang dalam bahasa imannya adalah Kerajaan Allah.

by: adrian