BAIKLAH, BAIKLAH
Seorang gadis
di kampung nelayan hamil di luar nikah. Setelah berkali-kali dipukuli, akhirnya
ia mengaku bahwa bapak dari anak yang dikandungnya adalah Guru Zen yang
merenung sepanjang hari di dalam kuil di luar desa.
Orang tua
gadis bersama banyak penduduk desa beramai-ramai menuju kuil. Dengan kasar
mereka menyerbu Guru yang sedang berdoa. Mereka menghajar karena kemunafikannya
dan menuntut bahwa ia sebagai bapak anak itu wajib menanggung biaya untuk
membesarkannya.
Jawaban Guru
itu hanyalah, “Baiklah, baiklah.”
Setelah orang
banyak pergi meninggalkannya, ia memungut bayi itu dari lantai. Ia minta supaya
seorang ibu dari desa memberi anak itu makan dan pakaian serta merawatnya atas
tanggungannya
Guru itu
jatuh namanya. Tidak ada lagi orang yang datang untuk meminta wejangannya.
Ketika peristiwa
itu sudah berlalu satu tahun lamanya, gadis yang melahirkan anak itu tidak kuat
menyimpan rahasianya lebih lama lagi. Akhirnya ia mengaku bahwa ia telah
berdusta. Ayah anak itu sebetulnya adalah pemuda di sebelah rumahnya. Orang tua
si gadis dan para penduduk kampung amat menyesal. Mereka bersembah sujud di
kaki Guru untuk mohon maaf dan meminta kembali anak tadi. Guru mengembalikannya
dan yang dikatakannya hanyalah, “Baiklah,
baiklah!”
Orang yang sungguh-sungguh sadar!
Kehilangan nama? Tidak banyak berbeda dengan
kehilangan kontrak yang mau ditanda-tangani dalam mimpi