Selasa, 19 Maret 2019

TOA DAN SURAH TAHA


Semua masjid pasti mempunyai alat pengeras suara yang biasa disebut TOA. Ada kesan bahwa pengeras suara tersebut dilihat sebagai salah satu atribut doa atau setidaknya sebagai alat bantu bagi umat islam dalam berdoa. Akan tetapi, keberadaan TOA ini bukan tanpa masalah, khususnya bagi umat non muslim. Keberadaan suara yang dihasilkan TOA ini, tidak hanya adzan saja, sungguh dirasakan sangat menggangu ketenangan dan kenyamanan. Ada begitu banyak orang merasa terganggu dengan kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid. Hal ini menimbulkan kesan bahwa doa umat islam menggangu ketenangan dan kenyamanan orang lain. Konyolnya, umat islam justru merasakan kebenaran ajaran imannya, bahwa suara adzan membuat setan-setan gelisah ketakutan (implisit mengatakan umat non muslim adalah setan).
Umat islam sendiri merasa bahwa TOA tak bisa dipisahkan dari aktivitas religius mereka. Karena itu, mempersoalkan keberadaan TOA dapat memicu masalah. Di kota Tanjung Balai Asahan pernah terjadi kerusuhan lantaran seorang perempuan Tionghoa meminta agar pengurus masjid mengecilkan volume suara TOA tersebut. Di daerah Sagulung, Batam, nyaris terjadi konflik lantaran seorang bapak tua meminta volume TOA dikecilkan.
Sebenarnya masalah kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid oleh alat pengeras suara ini sudah pernah disinggung oleh pemerintah. Wakil Presiden Yusuf Kalla, pada Juni 2015 lalu melarang masjid memutar kaset pengajian karena menyebabkan “polusi suara”. Dan menteri agama juga, pasca tragedi Tanjung Balai Asahan, terus menerus menghimbau pengurus masjid untuk mengurangi volume TOA.

ISLAM, TOA DAN TERORISME


Agama islam sepertinya sudah diidentikkan dengan keberadaan TOA (pengeras suara) di masjid-masjid. Di setiap masjid pasti selalu mempunyai alat pengeras suara itu; soal jumlah dan ukurannya bervariasi. Ada kesan bahwa pengeras suara tersebut sebagai salah satu atribut doa atau setidaknya sebagai alat bantu bagi umat islam dalam berdoa. Karena itu, tidak heran ketika umat islam berdoa selalu terdengar dimana-mana dari pengeras suara tersebut. Yang paling sering adalah adzan.
Akan tetapi, keberadaan TOA ini bukan tanpa masalah, khususnya bagi umat non muslim. Keberadaan suara yang dihasilkan TOA ini, tidak hanya adzan saja, sungguh dirasakan sangat menggangu ketenangan dan kenyamanan. Ada begitu banyak orang merasa terganggu dengan kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid. Hal ini menimbulkan kesan bahwa doa umat islam menggangu ketenangan dan kenyamanan orang lain. Konyolnya, umat islam justru merasakan kebenaran ajaran imannya, bahwa suara adzan membuat setan-setan gelisah ketakutan (implisit mengatakan umat non muslim adalah setan).
Umat islam sendiri merasa bahwa TOA tak bisa dipisahkan dari aktivitas berdoa mereka. Karena itu, mempersoalkan keberadaan TOA dapat memicu masalah. Di kota Tanjung Balai Asahan pernah terjadi kerusuhan lantaran seorang perempuan Tionghoa meminta agar pengurus masjid Al Maksum yang ada di lingkungannya mengecilkan volume TOA tersebut. Di daerah Sagulung, Batam, nyaris terjadi konflik lantaran seorang bapak tua meminta volume TOA dikecilkan.

MENGIKUTI TELADAN SANTO YOSEP


Hari ini umat katolik sedunia merayakan pesta Santo Yosep, suami dari Bunda Maria. Lima tahun lalu, persisnya 19 Maret 2014, blog budak-bangka menurunkan tulisan dengan judul “Belajar dari Teladan St. Yosep”. Tulisan tersebut masuk ke dalam kategori inspirasi hidup, karena dalam tulisan tersebut terkandung makna dan pesan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Dikemas dalam bahasa Indonesia yang ringan dan sederhana sehingga dapat diniikmati oleh siapa saja. Sebagai inspirasi hidup, tulisan ini tidak hanya ditujukan bagi umat katolik saja, melainkan juga bagi siapa saja yang terbuka akan kebaikan hidup. Dengan menimba teladan hidup St. Yosep, orang dapat mengubah hidupnya sehingga bermakna bagi orang lain.
Siapa itu St. Yosep? Dan apa saja teladan hidupnya? Untuk menemukan jawaban atas dua pertanyaan itu, langsung saja klik dan baca di sini. Selamat membaca!!!