Kamis, 27 Maret 2014

Membuat Hidup Menjadi Berarti

Pada budak-bangka.blogspot.com tanggal 8 Maret lalu, ada sebuah sharing pengalaman menjawab panggilan Tuhan. Untuk memudahkannya, kami akan mengutip ulang sharing tersebut. Inilah kisahnya:

“Waktu kecil, Maria Margaretha Tjin Mei Fung, mantan Kepala Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah, bercita-cita menjadi biarawati. Menginjak remaja, mencontoh sang ibu, idolanya, ia jadi ingin berkeluarga. Ia pacaran dengan teman misdinarnya. Orang tua merestui hubungan mereka. Namun terbersit perasaan tak enak di hatinya. Makin lama, perasaan itu makin kuat. Ia gelisah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Apakah aku dipanggil untuk berkeluarga?

Akhirnya, di tahun ke-3 berpacaran, Mei Fung memutuskan hubungannya. Ia lega, terasa terlepas dari himpitan batu besar. Setelah 8 tahun menelusuri, apakah sebenarnya panggilan hidupnya, ia menjawab: “Ya!” Tahun 1990, di usia 25 tahun, Mei Fung menjadi selibater awam, dan mendirikan Komunitas Putri Sion, komunitas khusus bagi perempuan lajang. Aktif di berbagai organisasi, pewarta, pengajar dan editor, ia masih mempunyai energi untuk mendirikaan sekolah TK bagi mereka yang tak mampu. Saat ini ia prihatin, melihat banyak orang katolik, yang meninggalkan Gereja. “Gereja harus lebih aktif menyapa umatnya, lebih merangkul,” demikian harapannya.”

Syeringnya memang singkat, namun sangat menarik. Ada dua hal yang menarik dari sharing itu. Pertama, bagaimana sdri Mei Fung mau mendengarkan kata hatinya. Di sini kami mengartikan bahwa sdri Mei Fung menjawab panggilan Tuhan. Hal ini sungguh menarik, karena di tengah hingar bingar dan kesibukan kota metropolitan, masih ada seorang gadis yang memberi waktu luang pada keheningan. Dalam keheningan itulah ia mendengarkan suara Tuhan dan menjawabnya.

Kita lihat atau baca dalam kisahnya bahwa sdri Mei Fung sebenarnya sudah punya pacar. Sudah tiga tahun menjalani pacaran. Tidak ada masalah berarti. Keluarga sudah merestui. Dalam kacamata normal, tidak ada yang kurang. Tinggal naik level ke jenjang pernikahan, selesai sudah. Namun, sdri Mei Fung masih merasakan ada yang kurang dalam hidupnya. Kekurangan ini membuatnya gelisah. Dari sinilah dia akhirnya masuk ke dalam keheningan untuk mendengarkan kata hatinya.

Ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia modern saat ini. Kebanyakan manusia sibuk, sibuk dan sibuk sampai lupa pada dirinya sendiri dan Tuhan. Pusat kesibukan itu ada di luar yang memaksa hidup manusia larut di dalamnya. Hal ini membuat manusia tidak punya waktu untuk kesendirian bersama Tuhan. Padahal, mungkin saja di tengah kesibukan itu Tuhan memanggil kita karena Dia membutuhkan kita.

Kedua, cara hidup baru. Dalam syeringnya, sdri Mei Fung menampilkan cara hidup baru. Sebenarnya cara hidup ini sudah lama dipraktekkan orang, namun di tengah kesibukan dan modernitas kini, caranya masih terbilang baru. Cara baru itu adalah selibater awam. Mengapa ini dikatakan baru, sekalipun sudah lama dipraktekkan orang? Umumnya orang mengetahui bahwa ada dua cara hidup, yaitu menikah dan tidak menikah, yang dikenal dengan istilah selibat. Umumnya orang tahu bahwa selibat itu hanya dijalani oleh para imam, biarawan (bruder dan frater) dan biarawati (suster). Sdri Mei Fung bukanlah seorang suster. Dia adalah wanita biasa, yang mengambil keputusan hidup selibat demi pelayanan Kerajaan Allah.

Di sini sdri Mei Fung kembali menegaskan apa yang pernah dikatakan Yesus bahwa menikah itu bukanlah sebuah kewajiban, melainkan hak atau pilihan hidup. Ada orang yang memilih hidup dengan menikah ada pula yang memilih hidup untuk tidak menikah. Sdri Mei Fung menegaskan bahwa keputusannya untuk tidak menikah bukan karena takut menikah atau “tidak laku” atau tidak siap, melainkan murni untuk menjawab panggilan Tuhan. Tuhan Yesus pernah berkata, “Ada orang tidak menikah demi Kerajaan Allah.” (bdk. Mat 19: 12). Sekalipun tidak berstatus sebagai suster, sdri Mei Fung, dengan keselibatannya, dapat mengabdi kepada Tuhan.

Ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia modern saat ini, khususnya kaum perempuan. Kebanyakan manusia berpikir bahwa dirinya harus menikah. Pada umur sekian harus menikah. Kalau tidak maka akan menjadi aib atau digelari “perawan tak laku” atau “ABG tua”. Karena itu, banyak orang mulai menyibukkan diri untuk mencari pasangan hidup. Berbagai cara, pantas atau tidak pantas, dilakukan. Karena kesibukan itulah, akhirnya orang lupa akan dirinya dan panggilan Tuhan. Di sini sdri Mei Fung mau membuka mata kita, bahwa menikah itu adalah pilihan hidup. Ia mau mengatakan bahwa menikah adalah hak setiap orang. Hak itu bisa digunakan, bisa juga tidak.

Dengan ini, setiap kita diajak untuk mulai memikirkan hidup kita. Sharing dari sdri Mei Fung ini mengajak kita untuk bertanya pada diri kita, apakah saya akan menggunakan hak saya untuk menikah atau tidak. Akan tetapi, yang terpenting itu bukanlah pada pengunaan hak itu atau tidak, melainkan bagaimana mengisi hidup ini. Sdri Mei Fung sudah mencontohkannya. Dia tidak berhenti pada keputusan tidak menggunakan haknya, melainkan berlanjut pada pengabdian pada Kerajaan Allah. Ini sesuai dengan amanat Yesus. Karena hidup ini berarti bukan karena menikah atau tidak menikah, melainkan karena hidup itu berarti bagi sesama.
Jakarta, 12 Maret 2014
by: adrian

Orang Kudus 27 Maret: St. Rupertus

SANTO RUPERTUS, USKUP & PENGAKU IMAN
Rupertus dikenal sebagai orang Kudus keturunan suku bangsa berbahasa Jerman. Sebelum menjadi misionaris di Bavaria sehingga dijuluki Rasul Bavaria, dia telah menjadi Uskup Worms, Jerman. Perjalanan misionernya ke Regensburg, Bavaria, dilakukan pada tahun 697. Di Regensburg, Rupertus bersama beberapa orang rekannya diterima dengan baik oleh adipati Theodo. Adipati ini masih kafir namun ia sangat baik hati dan mendukung para misionaris itu dalam melaksanakan tugasnya sebagai pewarta Injil Kristus.

Agama Kristen memang sudah masuk di wilayah kekuasaan Theodo sebelum kedatangan Rupertus bersama kawan-kawannya. Ini terbukti dari data yang ada bahwa beberapa orang di wilayah ini sudah menganut agama kristen, termasuk saudari kandung Theodo sendiri. Setelah menyaksikan keberhasilan karya para misionaris itu dan merasakan sendiri kebenaran agama kristen, Theodo memutuskan untuk menerima pelajaran agama kristen dari para misionaris itu. Rupertus lah yang mengajari dia agama kristen bersama beberapa orang lainnya. Di Bavaria Rupertus dengan kawan-kawannya mendapat sukses besar dalam karyanya. Untuk memperkokoh karya mereka, Rupertus mendirikan sebuah pusat pendidikan agama di Juvavum, Austria. Di sini ia melayani umatnya sebagai uskup hingga hari kematiannya pada tahun 710.

Renungan Hari Kamis Prapaskah III - A

Renungan Hari Kamis Prapaskah III, Thn A/II
Bac I   : Yer 7: 23 – 28; Injil         : Luk 11: 14 – 23

Dalam bacaan pertama, Yeremia mengungkapkan kekecewaan Allah kepada umat-Nya. Awalnya dikatakan bahwa sebenarnya Allah menghendaki umat pilihan-Nya itu mendengarkan suara Allah dan mengikuti semua jalan yang diperintahkan-Nya supaya umat hidup bahagia (ay. 23). Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Dalam kitabnya Yeremia menggambarkan, “Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka.” (ay. 28).

Gambaran kekecewaan Allah dalam bacaan pertama, merupakan juga gambaran kekecewaan Yesus dalam Injil. Bahkan bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan umat Israel dalam bacaan pertama sama seperti yang dilakukan beberapa orang Israel terhadap Yesus. Ketulusan mereka sudah lenyap, sehingga mereka tidak bisa melihat karya Allah dalam peristiwa penyembuhan orang bisu.

Sabda Tuhan hari ini kembali mau mengingatkan kita bahwa Tuhan menghendaki kita hidup bahagia. Namun kita harus mendengarkan suara-Nya dan mengikuti jalan yang ditunjukkan-Nya. Pada kita diminta kesetiaan dan ketulusan. Kesetiaan dan ketulusan ini membuat kita mampu melihat atau berjumpa dengan Tuhan dalam kehidupan. Di masa prapaskah, kita diajak untuk bertobat. Tuhan menghendaki kita untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan umat Israel di masa lalu.

by: adrian