Tak
sedikit orang berpikir bahwa pernikahan itu adalah urusan suka dan tidak suka.
Ketika seorang pria dan wanita sudah saling suka, maka dengan mudah mereka
mengikat kesukaan itu dengan ikatan pernikahan. Perasaan senang selama masa
pacaran juga sering menjadi landasan untuk mengikat relasi dalam membangun
mahligai rumah tangga. Mereka berpikir bahwa situasi bahagia dan senang saat
pacaran menjadi cerminan kebahagiaan saat berumah tangga. Begitu mudahnya orang
membangun bahtera rumah tangga, tanpa menyadari konsekuensi yang menyertainya.
Gereja
Katolik melihat pernikahan bukanlah sekedar urusan suka dan tidak suka. Pada
prinsipnya, pernikahan dalam Gereja Katolik adalah serius, bukan main-main.
Karena itu, umat katolik diajak untuk menyiapkan diri dalam membangun rumah
tangga. Hal ini menjadi tugas tanggung jawab gembala Gereja. Setidaknya ada 3
tahapan persiapan, yaitu persiapan jauh, menengah dan dekat. Kursus persiapan
pernikahan merupakan salah satu bentuk persiapan dekat.
Salah
satu bentuk persiapan adalah mencoba mengenal tentang pernikahan katolik. Harus
disadari bahwa tiap agama mempunyai ciri tersendiri soal pernikahan. Umat
katolik wajib mengenal tentang pernikahan katolik, karena dia terpanggil untuk
menghayatinya.
Pernikahan Katolik: Antara Hak dan
Kewajiban
Gereja
Katolik melihat pernikahan sebagai HAK yang melekat pada setiap orang. Sebagai
HAK, pernikahan itu merupakan pilihan hidup, karena ada orang yang memilih menggunakan
haknya untuk menikah, namun ada juga orang yang memilih tidak memakai haknya
untuk menikah. Para imam, suster dan bruder adalah contoh orang yang memilih
tidak memakai haknya. Ada juga awam biasa mengambil kebijakan seperti itu.
Jadi, pernikahan dalam Gereja Katolik adalah HAK setiap orang, bukan sebagai
KEWAJIBAN.
Namun,
masih ada kelompok masyarakat yang melihat pernikahan sebagai kewajiban. Mereka
melihat bahwa orang yang sudah mencapai umur tertentu atau secara ekonomi sudah
mapan HARUS menikah. Mereka akan merasa heran bila ada orang yang sudah berusia
matang dan mapan secara ekonomi tapi belum menikah. Mereka akan menggelari
orang-orang ini dengan istilah perawan
tua atau pria tak laku. Tak
jarang juga orang-orang seperti ini dicurigai sebagai orang yang punya kelainan
seksual (gay atau lesbi).
Terkait
dengan contoh ini, dapat disebut soal keheranan orang-orang yang melihat para
imam, suster dan bruder yang tidak menikah. Di balik keheranan itu terlihat
jelas bahwa bagi mereka menikah adalah suatu KEWAJIBAN. Seorang pria harus
menikah dengan seorang wanita. Oleh karena itu, mereka selalu mempertanyakan
kenapa imam, suster dan bruder tidak menikah.