Minggu,
28 Maret 2021, sekitar jam 10.30 WITA, sebuah bom meledak tepat di depan pintu
gerbang Gereja Katedral Makasar. Umat katolik baru saja selesai mengikuti
perayaan misa Minggu Palma. Sontak ledakan itu menghebohkan, bukan saja umat
katolik di gereja itu atau pun masyarakat Makasar, tetapi juga publik
Indonesia. Konon kemudian diketahui bom itu adalah bom bunuh diri, dan itu
terkait dengan aksi terorisme. Dan belum seminggu, persisnya di penghujung bulan, aksi terorisme terjadi lagi. Kali ini langsung menyentuh jantung Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).
Dan seperti
biasa, ketika muncul peristiwa-peristiwa teror, tokoh-tokoh agama islam langsung
memberi tanggapan, yang umumnya bersifat rasionalisasi. Ada yang berkata, “Tindakan
itu tidak mewakili agama manapun.” Ada juga yang bilang, “Terorisme
bertentangan dengan ajaran agama.” Yang lain berkata, “Tidak ada satu agama pun
yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai membunuh.” Yang lain, dengan tegas
bilang, “Islam tidak mengajarkan kekerasan; islam itu agama kasih.” Yang lain
lagi meminta masyarakat untuk tidak mengaitkan aksi teror dengan agama
tertentu.
Masih
banyak lagi argumentasi yang dibangun para tokoh islam untuk menanggapi setiap
kali muncul kejadian terorisme. Semua argumentasi itu hanyalah retorika yang
bersifat rasionalisasi. Di balik argumentasi itu, mereka hendak mengatakan 2
hal ini, yaitu [1] bahwa terorisme itu bukan islam; dan [2] bahwa para pelaku
teror itu bukan islam.
Apa dampak dari semua ini bagi umat non muslim? Perlu disadari dan diketahui, khususnya oleh umat islam, bahwa umat non muslim, yang selalu dilabeli sebagai “kafir” oleh umat islam, menghadapi 3 perasaan berhadapan dengan setiap terorisme. Tiga perasaan itu adalah takut, muak dan bingung.