Jumat, 02 April 2021

TEROR BOM, SAATNYA UMAT ISLAM BERANI JUJUR


 

Minggu, 28 Maret 2021, sekitar jam 10.30 WITA, sebuah bom meledak tepat di depan pintu gerbang Gereja Katedral Makasar. Umat katolik baru saja selesai mengikuti perayaan misa Minggu Palma. Sontak ledakan itu menghebohkan, bukan saja umat katolik di gereja itu atau pun masyarakat Makasar, tetapi juga publik Indonesia. Konon kemudian diketahui bom itu adalah bom bunuh diri, dan itu terkait dengan aksi terorisme. Dan belum seminggu, persisnya di penghujung bulan, aksi terorisme terjadi lagi. Kali ini langsung menyentuh jantung Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Dan seperti biasa, ketika muncul peristiwa-peristiwa teror, tokoh-tokoh agama islam langsung memberi tanggapan, yang umumnya bersifat rasionalisasi. Ada yang berkata, “Tindakan itu tidak mewakili agama manapun.” Ada juga yang bilang, “Terorisme bertentangan dengan ajaran agama.” Yang lain berkata, “Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai membunuh.” Yang lain, dengan tegas bilang, “Islam tidak mengajarkan kekerasan; islam itu agama kasih.” Yang lain lagi meminta masyarakat untuk tidak mengaitkan aksi teror dengan agama tertentu.

Masih banyak lagi argumentasi yang dibangun para tokoh islam untuk menanggapi setiap kali muncul kejadian terorisme. Semua argumentasi itu hanyalah retorika yang bersifat rasionalisasi. Di balik argumentasi itu, mereka hendak mengatakan 2 hal ini, yaitu [1] bahwa terorisme itu bukan islam; dan [2] bahwa para pelaku teror itu bukan islam. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa para tokoh islam ini hendak mengatakan bahwa teroris itu salah, sedangkan merekalah yang benar. Artinya, kebenaran hanya milik mereka.

Apa dampak dari semua ini bagi umat non muslim? Perlu disadari dan diketahui, khususnya oleh umat islam, bahwa umat non muslim, yang selalu dilabeli sebagai “kafir” oleh umat islam, menghadapi 3 perasaan berhadapan dengan setiap terorisme. Tiga perasaan itu adalah takut, muak dan bingung.