KONSILI VATIKAN II : 1962 –
1965
Konsili Vatikan
II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara 11 Oktober
1962 hingga 8 Desember 1965 diadakan empat periode sidang. Jumlah Uskup yang
hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada yang
menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya[1].
Jumlah dokumen yang dihasilkannya pun lebih banyak, dan dampak-pengaruhnya atas
kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah jaman
reformasi pada abad XVI.
PERSIAPAN
Baik Paus Pius
XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berfikir tentang membuka
kembali Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang antara
Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa dihentikan secara mendadak.[2]
Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan
maklumat beliau yang penuh optimisme pada 25 Januari 1959, bahwa beliau
bermaksud mengundang suatu Konsili.[3]
Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I, melainkan
menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali.[4]
Beliau mengharapkan Konsili akan mengajak Gereja semesta mengevaluasi kehidupan
serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni:
pembaharuan rohani dalam terang injil, penyesuaian dengan masa sekarang (“aggiornamento”)
untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern,[5]
dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat kristen.[6]
Persiapan
Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup di seluruh
dunia, para pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas
serta fakultas-fakultas katolik, dan para anggota Kuria Romawi, untuk
mengemukakan saran-saran mereka bagi permusyawarahan dan penyusuanan acar
Konsili. Disepanjang sejarah Gereja belum pernah diadakan konsultasi seluas itu.[7] Hasilnya
ialah lebih dari 9300 saran. Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan
dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi persiapan, yang oleh Paus Yohanes diangkat
pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan konsep-konsep naskah (“schemata”)
untuk dibahas dalam Konsili.
Komisi-komisi
mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962,
dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar
20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki
dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan
persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan diantara
para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada musim
gugur.
SIDANG
PERTAMA
Konsili Vatikan
II menyelenggarakan empat periode sidang, yakni: 11 Oktober – 8 Desember 1962,
29 September – 4 Desember 1963, 14 September – 21 November 1964, dan 14
September – 8 Desember 1965. Dalam uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan
ikhtisar sejarah Konsili.[8]
Tetapi baiklah disajikan catatan tentang periode Sidang Pertama, yang paling
dramatis dan paling penting. Suasana dan keputusan-keputusan yang diambil ketika
itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat moment yang mempunyai
relevansi khas.
Momen relevan
yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII
pada tgl.11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah pastoral.[9]
Menghadapi dunia yang memerlukan uluran belas kasihan.[10]
Bukan maksud utamanya untuk mengulang-ulangi saja apa yang jelas sudah
merupakan ajaran katolik, atau melontarkan kecaman-kecaman (“anathema”)
terhadap kesesatan-kesesatan. Kendati mendesaknya tantangan-tantangan zaman,
para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap murung terhadap dunia modern, dan
untuk merenungkan: mungkinkah Allah justru hendak memulai suatu era baru dalam
sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan antara pokok-pokok iman disatu
pihak, dan dipihak lain cara-cara mengungkapkannya yang tergantung juga dari
situasi dan kondisi yang silih berganti, serta bagaimanapun juga harus
menanggapinya. Jadi soal utama ialah : bagaimana pusaka iman diungkapkan dalam
konteks situasi masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang dan
memecahkan masalah-masalahnya yang aktual.
Momen kedua yang
relevan ialah: ketika pada sidang kerja pertama para Uskup menyatakan tidak
bersedia untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi Konsili, yang
disodorkan dalam daftar yang sudah siap, melainkan memutuskan untuk memilih
sendiri para anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap mengungkapkan,
bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah
yang telah disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk saling
mengenal, dan memilih para anggota komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja diulangi
tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan.
Momen ketiga
yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai Liturgi.
Diskusi itu mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus untuk
membaharui kehidupan Gereja. Maksud mereka makin jelas, ketika dimulai perdebatan
tentang Skema “Tentang Sumber-Sumber Pewahyuan”. Teks itu oleh banyak Uskup
dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi
lebih dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan.
Meskipun jumlah
suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus Yohanes memerintahkan
perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu menampilkan maksud
mayoritas para Uskup untuk menempuh haluan, yang dalam berbagai aspek
menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang menandai Katolisisme
Romawi selama 150 tahun sebelumnya.
Paus Yohanes
XXIII meninggal pada bulan Juli 1963, dan digantikan oleh Paus Paulus VI. Salah
satu tindakan Paus baru yakni: mengumumkan bahwa Konsili akan dilanjutkan, dan
harus tetap mengikuti haluan yang telah digariskan oleh Paus Yohanes dan
dikukuhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang diketuai
oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili.
DOKUMEN-DOKUMEN
KONSILI
Konsili Vatikan
II menghasilkan enam belas dokumen, yakni empat
Konstitusi (tentang Liturgi, tentang Gereja, tentang Wahyu Ilahi, dan
tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan
Dekrit (tentang Upaya-Upaya komunikasi sosial, tentang Gereja-Gereja Timur
Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, tentang
Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang Kerasulan
Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para
Imam), dan tiga Pernyataan (tentang
Pendidikan Kristen, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen,
dan tentang Kebebasan Beragama). Judul-judul itu sudah menampakkan, betapa
luaslah jangkauan Konsili.
Dokumen utama
Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“Lumen Gentium”).[11]
Titik tolaknya ialah Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan
ditandai dengan tekanan pada dimensi-dimensi kelembagaan Gereja.[12]
Konstitusi mulai dengan pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai
persekutuan beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati hidup Tritunggal maha
kudus. Persekutuan dalam Allah itu memperbuahkan persekutuan antara para
anggota Gereja, yang menjadikan mereka umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah
Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi Ilahi dan manusiawi menciptakan suatu
gejala sosial tersendiri, Gereja Kristus yang “berada dalam” Gereja Katolik
Romawi, kendati banyak unsur-unsurnya yang baku terdapat juga diluar
batas-batasnya yang kelihatan.[13]
Selanjutnya “Lumen
Gentium” menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai umat Allah terwujudlah
Misteri dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan Kedatangan-Nya
pada akhir zaman.[14]
Ditekankan kesejahteraan fundamental martabat para anggota, yang mendasari
pembedaan-pembedaan antara hirarki, kaum awam dan para religius. Orang menjadi
warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam
persekutuan iman, Sakramen-Sakramen, dan tata-laksana serta struktur Gerejawi.
Gereja itu bersifat “katolik”, artinya: menjangkau semua bangsa dan kebudayaan,
dipanggil untuk menghimpunnya di bawah Kristus Tuhan, dan untuk memperkaya
Gereja semesta melalui pertukaran timbal balik sumber-sumber budaya pelbagai
bangsa. Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen Konsili kuat-kuat menekankan
teologi Gereja setempat; dengan kata lain: prinsip, bahwa misteri Gereja selalu
diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki, keuskupan-keuskupan, wilayah-wilayah
geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak dengan
jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (“Ad Gentes”).
Perspektif
teologis dan rohani dua bab pertama “Lumen Gentium” dijabarkan dalam Konstitusi
dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum”) dan Konstitusi tentang
Liturgi (“Sacrosanctum Consilium”).[15] “Dei
Verbum” memandang perwahyuan sebagai komunikasi diri Allah melalui sabda
dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus. Perwahyuan
pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab Suci dan Tradisi. Dalam
uraiannya tentang kedua pengantara perwahyuan itu Konsili menekankan peranan sentral
Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara kritis ilmiah. Digarisbawahi
pula peranan Tradisi, yang dimengerti sebagai proses hidup menerima serta menafsirkan
Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.
Sesudah
pengantar teologis tentang peranan Liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang
bagi Gereja penting sekali, Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” menggariskan
prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam.
Upacara-upacara perlu diperbaharui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas
melambangkan misteri penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih
penuh oleh semua warga Gereja.
Seusai
pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, “Lumen Gentium” mengarahkan
perhatian kepada penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan peranan
hirarki,[16]
khususnya episkopat, dengan maksud mengimbangi tekanan Konsili Vatikan I pada
wewenang dan “tidak dapat sesatnya” (“infallibilitas”) Paus, dengan menempatkan
pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan sifat
sakramental episkopat, begitu pula tanggung jawab Uskup atas Gereja setempat
dan atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran Konsili Vatikan I tentang
Wewenang Mengajar (“Magisterium”) diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara
lebih penuh dari yang mungkin tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir
menguraikan imamat, dan mencantumkan keputusan untuk memulihkan diakonat
sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu dilengkapi dengan Dekrit-Dekrit
tentang Tugas Pastoral para Uskup (“Christus Dominus”), tentang
Pelayanan dan Kehidupan para Imam (“Presbyterorum Ordinis”), dan tentang
Pembinaan Imam (“Optatam Totius”).
Bab IV “Lumen
Gentium” menguraikan peranan kaum awam.[17]
Disajikan “gambaran tipologis” awam sebagai orang kristen, yang berhak penuh
untuk ikut menghayati hidup dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara
kristen dalam dunia sekular. Awam menghadirkan Gereja di dunia, dan dipanggil
untuk menghadapi masalah persoalan sehari-hari dengan sabda serta rahmat
Kristus. Sekaligus ia menyumbangkan pandangan maupun pengalamannya tentang
hidup sekular demi pembangunan Gereja. Prinsip-prinsip yang digariskan dalam
Bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam (“Apostolicam
Actuositatem”).
Bab VI tentang
para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrarkan oleh
para religius untuk menerima tangtangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini mendorong
mereka untuk menunaikan tanggung jawab mereka sendiri demi kehidupan dan misi
Gereja. Dekrit “Perfectae Caritatis” menyajikan prinsip-prinsip tentang Pembaharuan
dan Penyesuaian Hidup Religius,[18]
yang sekaligus mencerminkan cita-cita “aggiornamento” untuk seluruh
Gereja. 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup yang utama; 2) kembali
kepada sumber-sumber karisma dan spiritualitas masing-masing tarekat; 3)
integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan jaman dalam perihidup
maupun kerasulan; 5) penghapusan deskriminasi antara para anggota.[19]
Dalam Bab V dan
VII “Lumen Gentium” kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan
panggilan semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan
Gereja yang jaya dalam Kerajaan Allah. Bab terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada
Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota maupun lambang
Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria.
Eklesiologi “Lumen
Gentium” yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali dampaknya atas
hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dengan Gereja-Gereja serta
jemaat-jemaat kristen lainnya. Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajaki baik
dalam “Lumen Gentium” maupun dalam Dekrit tentang Ekumenisme (“Unitaris
redintegratio”), Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik (“Orientalium
Redintegratio”), dan Dekrit tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama
bukan kristen (“Nostra Aetate”). Dokumen-dokumen itu mencetuskan
kesanggupan Gereja yang antusias untuk menggantikan sikap curiga dan bermusuhan
antar Gereja dan antar Agama dengan sikap dialog dan kerjasama.[20]
Konsili juga
menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam dunia modern. “Gaudim
Et Spes”, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, menyajikan
citra Gereja yang berbagi kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kegelisahan
dengan sesama sezaman.[21] Konstitusi
GS mengandaikan semua yang telah ditetapkan oleh Konsili tentang Gereja, tetapi
juga melengkapinya, sejauh menekankan bahwa anggota Gereja ialah anggota
masyarakat (bdk. GS 1). Dan bahwa Gereja wajib bekerja sama dengan masyarakat
(bdk. GS 40).[22]
Bersama mereka semua Gereja ikut merasa bertanggung jawab untuk mengisi sejarah
dunia. Bagian I dokumen menyajikan refleksi teologis tentang hubungan Gereja
dan Dunia, serta secara istimewa menekankan, bahwa pihak yang satu mempunyai
sumbangannya kepada pihak lain. Asas-asas itu diterapkan dalam bagian II pada
masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan keluarga, kebudayaan, kehidupan
ekonomi, sosial dan politik, serta tentang damai dan perang.[23]
Deklarasi
tentang Kebebasan Beragama (“Dignitatis Humanae”) mencantumkan pandangan
Konsili tentang soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi manusia atas
kebebasan beragama, dan menentang camput tangan pemerintah dalam pelaksanaan
hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi “Gaudium et Spes” Konsili
menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern daripada yang terdapat
dalam gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya. Konsili ditutup pada 8
Desember 1965 dengan amanat Paus Paulus VI,[24]
dan pembacaan “Pesan-Pesan Konsili”, yang atas nama para Bapa Konsili dibawakan
oleh beberapa Kardinal, dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin
negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, kaum miskin, mereka yang
sakit dan menderita, kaum buruh dan generasi muda.
DAMPAK
– PENGARUH KONSILI
Sebagai
peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan Gereja Konsili
merupakan pengalaman pertama pelaksanaan kolegial Kewibawaan tertinggi gerejawi.[25]
Gereja, yang samapai saat itu sering membanggakan sifatnya tetap tak berubah,
menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Banyak
sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam
terang Injil dan dalam Konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.
Gejala itu
berkelanjutan di masa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling menonjol
terjadi dalam Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya seruan
Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan
itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili. Dipelbagai bidang kehidupan
Gereja disetujuai usaha-usaha pembaharuan: hubungan-hubungan antara klerus dan
awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat, antara
umat katolik dan umat beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembaharuan
yang secara resmi direstui dan didukung sering pula diiringi dengan
gerakan-gerakan di kalangan umat yang penuh semangat. Di antara gerakan-gerakan
itu ada yang menanggapi seruan Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaruan
yang resmi. Ada pula yang bersifat lebih radikal dari apa yang digambarkan atau
diperintahkan oleh Konsili.
Konsili disambut
secara berlain-lainan dipelbagai kawasan dunia dan oleh bermacam-macam
lingkungan budaya. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan bahwa tiada
Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena dampak dari pembaharuan yang diamanatkan
oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili dalam Gereja setempat
dan pada peran serta dan tanggung jawab semua orang kristen dalam kehidupan Gereja.
Di beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam, sehingga
boleh dipandang sebagai suatu “krisis” dalam Gereja.
Dua puluh tahun
sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat baik tentang
makna Konsili maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak saat itu. Pada garis
besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang progresif menganggap Konsili moment
yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan
lagi, yang akhirnya mau menatap tantangan-tantangan zaman modern. Pandangan
yang tradisional menyepakati, bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan
yang cukup besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif tadi disambut
baik, oleh kelompok tradisional dianggap sebagai suatu “kapitulasi” Gereja yang
patut disayangkan terhadap prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu
dengan tepat ditentangnya sejak Revolusi Perancis. Kedua pandangan itu sepakat
melihat makna Konsili yang cukup berbobot, sungguhpun keduanya sama sekali
tidak setuju dalam cara mereka menilai perkembangan itu.
Di antara kedua
posisi yang sama-sama ekstrim itu terdapat pandangan “jalan tengah” yang masih
penuh ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili “melulu” sebagai usaha
pembahruan, sebenarnya tanpa memaksudkan banyak perkembangan yang de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan
itu yang mereka anggap bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan
cara Konsili merumuskan amanatnya (“huruf” Konsili) untuk membela apa yang
mereka anggap “semangat Konsili”. Menurut kelompok “jalan tengah” yang pertama
itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II hanya dapat dijernihkan dengan
kembali baik kepada “huruf” maupun kepada semangat Konsili yang sejati.
Kelompok “jalan
tengah” lainnya mempertahankan, bahwa -- entah apa yang dimaksudkan oleh para
Bapa Konsili sendiri-- banyak usaha “pembaharuan” yang dulu mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup
“revolusioner” bagi sikap-sikap, strategi-strategi dan adat kebiasaan umat
katolik sehari-hari. Secara khas mereka menunjuk kepada sikap Konsili yang
lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada seruannya untuk “mawas diri”, dan
kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja secara konkrit ditingkat lokal.
Menurut tafsiran mereka, Konsili sendirilah yang bertanggungjawab atas
banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja sejak Konsili.
Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya dalam
konteks dunia katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang bersidang
untuk merayakan ulang tahun ke-20 penutupan Vatikan II, membuka forum diskusi
tentang makna Konsili.
Perdebatan tidak
menampakkan tanda-tanda mereda, Apakah sebenarnya Konsili itu, betapa relevan
dan berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam rangka
penerimaannya oleh Gereja semesta. Agaknya dua dasawarsa masih terlampau singkat
untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II. Banyak unsur ajaran
Konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur di kalangan luas Gereja.
Unsur-unsur lain sekarangpun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah,
bahwa Konsili Vatikan II merupakan titik balik dalam sejarah dunia modern
Gereja katolik, suatu momen dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata,
proses yang baru mulai menampilkan kesungguhan dan kekuatannya.
by: Robert Hardawiryana SJ.
Sumber:
1.
Uraian pengantar tentang konsili
Vatikan II ini sebagian merupakan saduran karangan Joseph A. Komonchak,
“Vatikan Council II” dalam The New Dictionary of Theology, diterbitkan
oleh Joseph A. Komonchak, Mary Collins, Dermot A. Lane, Dublin: Gill and
Mac-milland Ltd, edisi 1, 1987, hlm.1072-1077. Kecuali itu digunakan sebagai
nara sumber antara lain:
2.
Konstitusi Paus Yohanes XXIII, Humanae
Salutis, tgal.25 Desember 1961 untuk mengundang Konsili Vatikan II.
3.
Amanat Paus Yohanes XXIII pada
pembukaan Konsili, 1 Oktober 1962.
4.
Amanat para Bapa Konsili kepada umat
manusia pada awal periode Sidang I Konsili, 20 Oktober 1962
5.
Dr. B. S. Mardiatmaja SJ, “Gagasan –
Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua”, Spektrum XIV:1-2 (1986)
hlm.1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan).
6.
Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok
Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 23-53 (termasuk Daftar
Kepustakaan)
7.
Tom Jacobs, “Latar Belakang Dekat
Konsili Vatikan II, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 54-71 (termasuk Daftar
Kepustakaan)
8.
Dr. C.Groenen OFM, “Gereja Yesus Kristus
dari awal (th. ±30) sampai Konsili Vatikan I (1870)”, Spektrum XIV:1-2
(1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar Kepustakaan)
9.
Dr. P.Go O.Carm, “Beberapa Aspek
Moral Hasil Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 105-150
10. Dr. P. Go O.Carm, “Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil
Konsili Vatikan II”, Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 151-165
11. Adolf heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II,
Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987
[1]
Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540
Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar 29 pengamat
dari 17 Gereja lain dan undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun
wanita, perhatian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi
tentang Konsili.
[2]
Tentang Konsili Vatikan I, lihat : H.
Jedin, “Sejarah Konsili”, Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm.111-138; T. Jacobs,
“Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II”, khususnya hlm.60-63
[3]
Paus Yohanes XXIII, Konstitusi
apostolik “Humanae Salutis”, 25 Desember 1961, memandang sebagai suatu motivasi
untuk mengundang Konsili; membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi
sumbangan efektif demi pemecahan soal-soal zaman modern.
[4]
Dalam konstitusi apostolik “Humanae
Salutis”, 25 Desember 1961 Paus Yohanes XXIII mencetuskan harapan beliau:
semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentekosta bagi umat kristen. Juga
dogma-dogma Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan
secara baru.
[5]
Paus
Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan “aggiornamento” sebagai
usaha untuk makin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma
yang digariskan.
[6]
Amanat Paus Yohanes XXIII pada
pembukaan Konsili, 11 Oktober 1962, antara lain menekankan perlunya
meningkatkan persatuan kristen, bahkan seluruh “keluarga manusia”. Maksud itu
terungkap dengan jelas misalnya ketika pada 5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam
kunjungan beliau ke Tanah Suci merangkul Atenagoras, Patriark Ortodoks utama
dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang diumumkan di
Istanbul dan di Vatikan pada 7 Desember 1965, tentang peristiwa-peristiwa pada
tahun 1054, yang menimbulkan perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja
Ortodoks di Istanbul. “Pernyataan Katolik-Ortodoks” itu mengungkapkan kerinduan
akan persekutuan makin penuh antara Gereja di Istanbul dan Gereja katolik.
[7]
Konstitusi
apostolik Paus Yohanes XXIII “Humanae Salutis”, 25 Desember 1961, menampilkan
pentingnya konsultasi seluas itu dalam proses persiapan Konsili.
[8] Lihat : Daftar “Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili
Vatikan II”.
[9]
Menurut “Presbyterorum Ordinis” 12,
tujuan pastoral Konsili ialah : 1) Pembaharuan Gereja, 2) pewartaan Injil
diseluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.
[10]
Amanat Paus Paulus VI pada hari raya
Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan selama Konsili diilhami oleh
gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum
menemukan domba yang sesat.
[11]
Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan
pokok …”, hlm.25-38. Suatu “Skematisasi” dokumen-dokumen Konsili Vatikan II
dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja
sendiri, dan pendalaman tentang misi Gereja): lih. Martadiatmaja,
“Gagasan-gagasan Dogmatik …”, hlm.10-11.
[12]
“Lumen Gentium”, dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II,
dikembangkan berpangkal pada pandangan “Mystici Corporis”, seperti
dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. “Vatikan II memang membuka pandangan
baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama”, bdk. T. Jacobs,
“Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.44.
[13] Lih. LG.8; bdk. UR.3.
[14]
Seperti terungkap dalam Bab I dan II,
pandangan baru tentang Gereja berarti, Suatu sentralisasi vertikal pada Kristus
dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah”, Y. Congar, “L’Eglise : De
saint Augustin a I’epoque modernr:, Paris : Cerf 1970, hlm.473.
[15]
Tentang bagaimana “Sacrosanctum
Concilium” melengkapi “Lumen Gentium”, lihat T. Jacobs,
“Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm. 28.
[16] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.31-32.
[17] Lih. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.33-35.
[18]
J. A. Komonchak membuat kesalahan
dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk kesempurnaan) dengan bab VI
(para religius), cf. hlm.1075.
[19] Bdk. T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok …”, hlm.37.
[20]
Sebelas hari sesudah Konstitusi
tentang Gereja resmi diumumkan pada 21 November 1964, Paus Paulus VI untuk
pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau
mengunjungi Yordania dan Israel.
[21]
Amanat Para Bapa Konsili pada awal
Periode Sidang I, 20 Oktober 1962, memandang sebagai isyu yang mendesak secara
khas; disamping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik
Paus Yohanes XXIII “Mater et Magistra”. Juga “Pesan-Pesan Akhir
Konsili”, Yang disampaikan oleh Paus Paulus VI dan para Bapa Konsili pada tgl.8
Desmber 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat kristen melibatkan diri dalam
kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, “Gagasan-gagasan Pokok
…”, hlm.39- 42.
[22]
Boleh dikatakan juga, bahwa “Lumen
Gentium” harus dibaca ke arah “Gaudium et Spes”, bdk. T. Jacobs,
“Gagasan-Gagasan Pokok …”, hlm.23.
[23]
Amanat para Bapa Konsili pada awal
Periode Sidang I, 20 Oktober 1962, mengacu kepada amanat radio Paus Yohanes
XXIII , 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan
perdamaian.
[24]
Dibacakan “Breve” (amanat tertulis
singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup secara resmi,
dan bahwa semua Dekrit harus “dilaksanakan dengan seksama oleh segenap umat
beriman”.
[25] Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip
kolegial dan sinodal dalam kepemimpinan Gereja bukan hanya tidak dihapus,
melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui primatnya (Vatikan I dan
II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan
II).