Pada
musim gugur 1925, Carl Gustav Jung mengadakan perjalanan ke Afrika Tropis,
tepatnya Uganda. Dalam perjalanan di Afrika dengan kereta api, Jung singgah
sebentar di terminal sementara, stasiun Sigistifour. Jung duduk merenung sambil
mengisap pipa. Tak lama kemudian seorang Ingris tua menghampirinya dan duduk
sambil mengisap pipa.
“Apakah
ini pertama kali Anda ke Afrika?” tanya orangtua itu. “Saya sudah 40 tahun di
sini.”
Carl
Gustav Jung mengiyakan, namun ia juga menegaskan bahwa yang dimaksudnya adalah
Afrika bagian ini. Sebelumnya ia pernah ke Afrika Utara.
“Kalau
begitu, bolehkah saya sedikit memberi saran?” orangtua itu melanjutkan. “Begini
Tuan, kota ini bukanlah kota manusia. Ini kota Tuhan. Jadi, jika ada sesuatu
hal yang terjadi, Anda cukup duduk tenang dan tak usah khawatir.”
Setelah
mengatakan hal itu, orangtua itu pergi tanpa bila apa-apa lagi. Ia menghilang
di tengah kerumunan orang banyak.
DEMIKIANLAH
sepenggal catatan pengalaman Carl Gustav Jung. Satu hal yang menarik dari kisah tersebut adalah “pertentangan” antara kota manusia dan kota Tuhan. Dikatakan
bahwa kota, dimana Jung tiba saat itu, atau juga kota lainnya yang ada di
Afrika, adalah kota Tuhan.
Dari
pernyataan orangtua Inggris itu, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan
“kota Tuhan” adalah kota dimana Tuhan yang memegang kendali. Tuhan-lah yang
mengatur segala-galanya. Manusia tinggal menjalani hidupnya, yang memang sudah
diatur. Jika ada masalah, manusia tak perlu khawatir. Ada Tuhan yang selalu
siap membantu. Di sini mau dikatakan, dibutuhkan sikap berserah diri kepada
kehendak Tuhan.
Dapat
dibayangkan kehidupan manusia di kota Tuhan pastilah tenang; tidak ada sikap
ketergesa-gesaan. Itulah gambaran “kota manusia”. Berbeda dengan kota lainnya,
“kota manusia” dapat dipahami sebagai kota yang dikendalikan oleh manusia.
Sebanyak manusianya, sebanyak itu juga pengendalinya. Dan setiap manusia juga
mempunyai pengendalinya sendiri.
Secara
sederhana kita bisa memahami “kota manusia” dengan kota yang dipenuhi kesibukan.
Tiap-tiap orang memiliki kesibukannya sendiri sehingga tidak peduli dengan
urusan sesamanya. Dalam “kota manusia” setiap orang seakan mengejar dan dikejar
waktu. Bukan tidak mungkin, dalam “kota manusia” ini berlaku juga semangat homo homini lupus.
Sepertinya
perkataan orangtua Inggris itu bukanlah isapan jempol belaka. Dia sudah 40 tahun
hidup di sana, meninggalkan kota kelahirannya yang jauh lebih modern ketimbang
Afrika. Namun dia merasakan kedamaian di Afrika, karena di sana benar-benar
“kota Tuhan”. Dapat dipastikan bahwa kota tempat asalnya adalah “kota manusia”.
Ujung
Beting, 26 Juni 2020
by: adrian