Jumat, 28 September 2018

MEMAHAMI KENAPA PARA MUALAF BERBOHONG


Masalah pindah keyakinan atau agama itu adalah hal yang biasa. Hal itu merupakan hak azasi setiap manusia. Tidak ada yang melarang. Akan tetapi, ada hukuman bagi orang yang murtad. Bagaimana jika orang islam yang murtad. Selain hukuman di masa depan, hukuman langsung pun dapat dikenakan. Yang terkenal adalah dibunuh. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad, “Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia.” (HR al-Bukhari). Jadi, umat islam lainnya diperbolehkan membunuh umat islam yang telah murtad. Selain itu, tempat bagi orang murtad adalah neraka (QS Al-Baqarah: 217).
Akan tetapi, kita tidak akan mengusik persoalan itu. Masalah membunuh orang murtad adalah keyakinan orang, yang tidak akan dicampuri. Kita hanya melihat fenomena mualaf, orang kafir yang menjadi islam.
Jika kita perhatikan di media sosial, baik media cetak maupun media elektronik, adalah suatu kebiasaan menjelang Hari Raya Idul Fitri beberapa media menampilkan sharing beberapa tokoh mualaf. Ada tokoh mualaf yang bersharing dari hati, namun tak sedikit juga yang menyampaikan kebohongan. Sekedar menyebut nama:
(a) Ustadz Bangun Samudra, yang konon mengaku sebagai lulusan terbaik Vatikan.
(b) Steven Indra Wibowo, yang mengaku mantan frater anak petinggi PGI, yang berhasil mengislamkan 126 orang
(c) Hj Irene, yang mengaku mantan biarawati
(d) Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter), yang mengaku kepala suku Asmat

CARA BIJAK MENYIKAPI PENISTAAN AGAMA

Semua umat beragama sepakat bahwa agama itu mengajarkan kebaikan. Menjadi persoalan, jika memang mengajarkan kebaikan kenapa ada begitu banyak kekacauan yang disebabkan karena agama? Ada perang yang mengatas-namakan agama. Ada aksi bom bunuh diri menewaskan orang yang tak bersalah. Ada penghinaan demi penghinaan, juga dilakukan atas nama agama.
Uniknya, ketika agama itu dihina atau dilecehkan, umatnya menjadi murka. Aksi unjuk rasa yang dapat juga berakhir pada tindakan anarki (kerusuhan) merupakan tampilan yang umum. Hal ini dimaklumi karena ternyata agama juga mengajarkan umatnya untuk membela dirinya. Sudah terkenal pernyataan salah satu tokoh agama di Indonesia, “Ganti bajumu dengan kain kafan, jika kamu diam saja ketika agamamu dihina.”
Tulisan “Mari Lihat Masalah Penistaan Agama secara Total” mengajak pembaca untuk lebih bersikap bijak menghadapi masalah penghinaan agama. Diulas dengan bagus, dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga pembaca dari kalangan manapun dapat memahaminya. Untuk dapat membacanya, silahkan klik di sini. Jangan lupa untuk memberi komen.

Senin, 24 September 2018

MEMAHAMI SELIBAT ROHANIWAN KATOLIK


Saudara-saudara protestan sering mempertanyakan para imam yang tidak menikah. Tak sedikit dari mereka, sama seperti orang lain, merasa aneh dengan perilaku tidak menikah para imam ini. Memang hal ini dapat dimaklumi karena umumnya mereka melihat perkawinan itu sebagai tujuan dan kewajiban. Orang yang sudah mencapai usia matang berkewajiban untuk menikah. Tidak menikah tentulah akan menimbulkan skandal: tidak laku atau punya kelaian seksual.
Namun kebanyakan orang protestan menilai bahwa hidup selibat (atau tidak menikah) yang dijalani para iman merupakan bentuk pelanggaran atas perintah Allah. Dasarnya adalah kitab Kejadian 1: 28. Di sana Allah, setelah memberkati Adam dan Hawa, bersabda, “Beranakcuculah dan bertambah banyak…”. Ini dimengerti sebagai perintah untuk menikah dan melahirkan anak.
Tulisan “Ini Alasan Kenapa Pastor Tak Menikah” menjawab tanda tanya orang-orang selama ini. Memang patut diakui ketentuan selibat baru muncul pada awal abad IV, persisnya pada Konsili Elvira (sekitar tahun 304). Selain itu juga, hidup selibat bukanlah sebuah doktrin. Dengan kata lain, aturan hidup selibat ini baru ditetapkan Gereja kemudian, bukan perintah langsung dari Yesus Kristus atau para jemaat perdana.
Semua proplematik hidup selibat para imam diulas dengan sangat menarik dalam tulisan ini. Untuk mengetahui lebih lanjut ulasan tulisan tersebut, silahkan klik di sini untuk membaca.

MENIKAH ITU BUKAN TUJUAN, TAPI .....


Tak sedikit orang melihat perkawinan itu sebagai tujuan hidupnya. Ini bisa terjadi karena perkawinan dilihat sebagai kewajiban atau keharusan. Orang dengan konsep perkawinan ini tidak termotivasi untuk menjaga, merawat dan membangun hidup perkawinan. Setelah menikah, ya selesai sudah, tinggal menuntut haknya.
Bagi calon pasutri katolik, perkawinan harus dilihat sebagai awal atau permulaan. Setidaknya ada 3 permulaan dalam perkawinan. Pertama, perkawinan sebagai awal hidup baru sebagai suami istri. Dengan menikah seorang pria (wanita) disadarkan bahwa dirinya adalah seorang suami (isteri). Mereka tidak sebebas ketika masih lajang. Seorang pria akan menjaga jarak dengan wanita lain, karena dia punya isteri; demikian pula dengan isteri.
Kedua, perkawinan sebagai awal pengenalan jati diri asli. Patut diakui bahwa sewaktu pacaran masing-masing pihak menampilkan diri yang terbaik supaya pasangannya tertarik. Jati diri yang buruk semaksimal mungkin disembunyikan. Setelah menikah masing-masing pihak baru mengenal karakter asli pasangannya. Karena sudah menikah, mau tak mau berusaha untuk menerima dan menyesuaikan. Tak jarang hal ini menjadi kerikil dalam hidup rumah tangga.
Ketiga, perkawinan sebagai awal perjuangan. Apa yang harus diperjuangkan? Setelah menikah pasutri berjuang untuk menyatukan perbedaan di antara mereka, seperti hobi, kebiasaan, selera masakan, sifat dan karakter, dll. Mereka juga harus berjuang membangun keluarga kristiani.
by: adrian

Jumat, 21 September 2018

ISIS ITU ISLAM


Memasuki tahun 2000 dunia dihebohkan dengan kehadiran ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan NIIS (Negara Islam Iraq-Suriah). Belum selesai dengan urusan terorisme Al Qaidah, dunia dihadapkan dengan terorisme ISIS, yang konon jauh lebih biadab dari Al Qaidah. Salah satu misi perjuangan ISIS ternyata bukan hanya mendirikan Negara islam Iraq – Suriah, melainkan juga mengislamkan dunia. Karena itu, ISIS dilihat sebagai ancaman bagi dunia.
Menyaksikan kebiadaban anggota ISIS dalam membantai manusia yang tidak sepaham dengannya, menimbulkan reaksi tidak hanya dari kalangan non muslim tetapi juga dari kalangan islam. Reaksi dari kalangan islam tentulah sudah bisa ditebak. Umumnya mereka menyatakan bahwa tindakan ISIS itu bukanlah cerminan islam. Salah satu contohnya adalah tulisan (alm) Ali Mustafa Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal, yang pernah dimuat di Harian KOMPAS. Judul tulisannya adalah “NIIS, Khawarij, dan Terorisme”. Tulisan menarik ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembelaan terhadap agama islam. Sebenarnya pembelaan ini sudah banyak kali muncul, semenjak kehadiran kelompok teroris Al Qaeda. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa tidak ada yang baru dalam tulisan tersebut.
Akan tetapi, tulisan tersebut, sebagaimana tulisan-tulisan lain yang sejenis, masih menyisahkan kebingungan. Satu hal yang membuat bingung akhirnya melahirkan pertanyaan apakah benar ISIS itu bukan islam. Selain kebingungan, dalam tulisan Mustafa terdapat satu hal, yang bagi saya, terkesan lucu.
Dikatakan lucu karena, untuk membela agama islam, Mustafa malah semacam melemparkan persoalan radikalisme ini kepada penganut agama lain. Ali Mustafa menulis, “Sebab, terorisme dapat datang dari pemeluk agama mana saja…” Argumentasi ini mirip seperti argumen seorang anak yang kedapatan menyontek saat ujian. Ketika ditanya gurunya kenapa menyontek, ia berkata, “Orang lain juga nyontek, koq!”

BULAN MADU

Angin tepi laut bertiup manja, sepanjang sungai, masuk ke dalam pedalaman, menyalami pohon nyiur, menyalami pohon-pohon di pedalaman, serta meliuk dengan usapan tanpa ragu, mengiringi gerak perahu. Dan ketika perahu berhenti di suatu tambatan, angin senja meneruskan langkahnya. Seorang lelaki berwajah kurus, dengan alis mata tebal, berjalan bersama perempuan, yang mengikuti tangannya.
Lelaki kurus itu beberapa hari yang lalu telah membuat seluruh pandangan kampung menatap ke arahnya. Suatu hari yang panas, lelaki itu ditemui, di tepi pantai. Memeluk Mursiti – perempuan yang bergantung di genggamannya. Sebenarnya, penduduk setempat sudah lama mengincar lelaki itu, sejak ayah Mursiti, kepala warga di pedalaman, secara berbisik-bisik mengancam akan membunuh Mursiti, bila mana sampai dengan munculnya bulan baru, tidak ada lelaki yang mengawininya.
Mursiti ketahuan bunting, ketika berkata kepada ibunya. Dan ibunya pingsan ketika harus mengatakan ini kepada suaminya. Kepala kampung mendengar sambil mengelus tombaknya, yang menemani dirinya setiap hari ketika pergi berlayar.
“Aku pasti membunuhmu, esok atau nanti atau lusa.”
“Bunuhlah aku sekarang, Ayah.”
“Katakan siapa lelaki yang membuntingimu, dan aku ingin membunuh kalian berdua.”
“Ayah tak akan menemukan dia. Dia sudah lenyap, telah pergi.”

Jumat, 14 September 2018

MENGENAL KARAKTER ORANG ISLAM DALAM ALKITAB


Islam, Yahudi dan Kristen dikenal sebagai agama Samawi. Dari etimologinya, kata samawi (kata adjektif) memiliki arti “berhubungan dengan langit”. Jika ditambahkan dengan kata agama, menjadi agama samawi, maka dapat dimengerti sebagai agama dari langit. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa ketiga agama itu dibangun berdasarkan wahyu Allah melalui para malaikat (dari langit) dan diteruskan oleh para nabi.
Agama samawi dikenal juga dengan sebutan agama Abrahamik. Hal ini didasarkan pada peran Abraham (Islam: Ibrahim), sebagai bapak kaum beriman. Sebagaimana diketahui, Abraham dikenal sebagai orang yang memulai kepercayaan monoteistik. Dari dialah lahir keturunan anak-anak bangsa, yang kemudian dikenal sebagai penganut agama Islam, Yahudi dan Kristen.
Dari Kitab Kejadian, kita dapat mengetahui bahwa Abraham mempunyai dua orang putera dari dua wanita yang ada padanya. Dari Sarah, isterinya yang sah, Abraham mendapat Ishak, dan dari Hagar, budaknya, ia mendapat Ismail. Diketahui, Hagar berasal dari Mesir (Kej 16: 3).
Salah satu perdebatan yang tak pernah selesai antara orang Kristen dan Islam adalah siapa yang dipersembahkan Abraham di Bukit Moria. Dan ini menjadi sebuah lelucon anak cucu Abraham. Orang Islam mengatakan bahwa Ismail yang dipersembahkan, meski dasarnya sangat lemah. Sementara orang Kristen mengatakan Ishak-lah yang dipersembahkan, karena dia merupakan anak sah. Hanya orang Yahudi tidak mau masuk ke dalam perdebatan ini, karena mereka tahu bahwa yang dipersembahkan Abraham adalah seekor kambing.

Rabu, 12 September 2018

SIKAP TERHADAP TUBUH DAN DARAH KRISTUS

Sering umat mengeluh terkait “aturan” liturgi yang berbeda-beda antar imam yang satu dengan yang lainnya. “Romo ini bilang begini, Romo lain bilang begitu,” demikian keluh umat. Menghadapi hal ini, tak jarang umat bingung: mana yang harus diikuti. Umat jadi serba salah, ibarat dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Kebingungan ini disebabkan karena umat menerima saja apa yang disampaikan oleh imam sebagai suatu kebenaran. Maka, ketika mendengar pernyataan imam lain, yang berbeda dari sebelumnya, umat seakan berada pada dua kebenaran.
Kebingungan ini sebenarnya bisa dihindari jikalau umat mau berpegang pada kebenaran umum, bukan kebenaran imamnya (meski sering terjadi, ketika menyampaikan itu, imamnya selalu mengatas-namakan kebenaran umum). Kebenaran umum itu ada pada pedoman yang dikeluarkan oleh otoritas Gerejawi. Terkait dengan liturgi, khususnya soal Ekaristi, ada Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Semua orang, imam atau awam, tunduk pada pedoman ini. Semua imam, pastor paroki atau pembantu, harus taat pada pedoman ini. Sangat menarik bahwa dalam pedoman ini ada himbauan agar “imam hendaknya mengutamakan kepentingan rohani umat. Janganlah memaksakan kesukaannya sendiri.” (no. 355).
Salah satu kebingungan yang dihadapi umat adalah soal sikap tubuh ketika, setelah kata-kata konsekrasi atas hosti, imam mengangkat hosti (Tubuh Kristus); demikian pula terhadap piala (Darah Kristus). Ada umat menundukkan kepala sambil kedua tangan terkatup diangkat ke atas lebih tinggi dari kepala. Ini merupakan sikap menyembah. Akan tetapi, ada imam menyalahkan sikap tersebut. Imam ini mengatakan bahwa ketika Tubuh Kristus dalam hosti diangkat, demikian juga piala (Darah Kristus), umat harus melihat atau memandang-Nya. Nah, atas dua sikap ini, mana yang benar?

Senin, 10 September 2018

MEMUPUK KASIH SAYANG DALAM KELUARGA

Ungkapan kasih sayang orangtua amat penting bagi perkembangan psikologis anak. Ini bisa menjadi bekal saat anak beranjak dewasa; dia akan memiliki kekuatan, harga diri dan kebahagiaan. Ada lima acuan dasar dalam mengungkapkan dan memahami kasih sayang antara anak dengan orangtua, yaitu sentuhan fisik, kata-kata menenangkan, waktu berkualitas, hadiah dan tindakan melayani.
Sentuhan fisik dapat diwujudkan dengan memeluk atau merangkul, membelai anak penuh kasih sayang atau menepuk pundaknya untuk memberi dukungan. Sentuhan fisik membuat relasi anak dan orangtua seakan dekat. Sementara kata-kata menenangkan terwujud dalam pujian atau permintaan maaf bila salah. Hendaknya orangtua tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan keras kepada anak.
Waktu berkualitas berarti meluang waktu bersama keluarga dalam kebersamaan. Hal ini membuat anak merasa diperhatikan. Saat ini dapat dipakai untuk lebih saling mengenal, mendengarkan dan berbagi cerita. Orangtua jadi lebih memahami kondisi yang sedang dialami anaknya. Hadiah diberikan kepada anak atas prestasinya. Prestasi tidak sebatas prestasi bangku sekolah, tetapi perilaku, sikap dan kehidupan positif yang diperlihatkan anak. Hadiah tidak harus berwujud barang. Ucapan terima kasih, pujian dan memenuhi keinginan anak, sejauh masih dalam batas wajar, dapat menjadi bentuk hadiah.
Penanaman nilai kasih sayang dan perhatian satu sama lain merupakan wujud dari tindakan melayani. Penting juga bila tindakan melayani ini diwujudkan dengan semangat saling mendoakan. Ketika si kakak menganggu adik sehingga adik merasa kesal, tak salah jika orangtua mengajak adik untuk mendoakan si kakak. Demikian pula sebaliknya. Tindakan ini bertujuan menanamkan benih kasih, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Hal ini sejalan dengan nasehat Yesus agar orang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (Mat 5: 39, bdk 1Ptr 3: 9).
by: adrian

Jumat, 07 September 2018

INI ALASAN MERAGUKAN AL QUR’AN SEBAGAI WAHYU ALLAH


Semua pemeluk agama tentulah memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup bagi para pemeluknya. Sumber untuk kitab suci itu berbeda tiap agama. Untuk agama Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam), sumber utama kitab suci adalah Allah sendiri. Dengan kata lain, kitab suci merupakan wahyu Allah. Hanya ada perbedaan konsep pemahaman tentang wahyu Allah ini.
Orang kristen yakin bahwa kitab sucinya merupakan inspirasi Roh Kudus; dan Roh Kudus itu adalah manifestasi dari Allah. Jadi, memang kitab suci itu ditulis oleh manusia, akan tetapi Roh Kudus-lah yang menuntun mereka untuk menulis. Pastor C. Groenen, OFM mengistilahkan Alkitab itu sebagai wahyu Allah dalam bahasa manusia. Karena itulah hasil tulisan yang ada dalam Alkitab itu masih sebagai wahyu Allah.
Berbeda dengan kitab suci umat islam. Al Qur’an diyakini merupakan wahyu Allah langsung kepada nabi Muhammad. Prosesnya sebagai berikut: Allah bersabda kepada Muhammad, lalu Muhammad meminta orang untuk menulisnya. Setiap wahyu Allah kepada Muhammad, langsung ditulis. Dan setelah dikumpulkan, jadilah Al Qur’an. Malah ada yang meyakini bahwa AL Qur'an itu langsung turun dalam bentuk buku utuh kepada Muhammad.
Dasar keyakinan umat islam bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah adalah sabda Allah sendiri, yang terdapat dalam surah As-Sajdah ayat 2 dan Az-Zumar ayat 1 – 2, 41. Salah satu ciri umat islam adalah percaya pada apa yang sudah dikatakan (baca: Ini Alasan Kenapa Umat Islam & Kristen Tak Bisa Saling Memahami; baca juga: Cara Pandang Positip ke Dalam, Negatif ke Luar). Umat islam percaya Hj Irene sebagai pakar kristologi karena Irene sendiri mengatakan demikian; umat islam tidak percaya Yesus itu Allah karena Yesus sendiri tidak mengatakan demikian. Umat islam percaya Muhammad sebagai nabi karena dikatakan demikian, baik oleh Allah maupun Muhammad sendiri.

Rabu, 05 September 2018

MENGHORMATI IMAM DALAM MISA

Seorang imam membagikan pengalaman sekaligus pemikirannya. Ini berangkat dari peristiwa persiapan menyambut perayaan Malam Paskah.
Di suatu sore, tak lama setelah Ibadat Jumat Agung, ketua panitia meminta kesediaan imam itu untuk mendampingi para petugas liturgi, yakni lektor dan pemazmur. Sebelumnya dia sudah mendampingi para misdinar (putra putri altar). Para petugas liturgi ini ingin mengetahui soal dimana posisi berdiri mereka nanti, bagaimana dan kapan harus naik turun dari panti imam, bagaimana sikap mereka, dan hal-hal kecil lainnya.
Karena sudah mengenal karakter dan selera imamnya, ketua panitia, yang ikut mendampingi para petugas tersebut, turut andil dalam proses pendampingan itu. Salah satunya, soal sikap menghormati imam. Kepada para petugas liturgi dia menyatakan bahwa mereka tak perlu lagi menunduk hormat ke imam setibanya di panti imam. Cukup sekali hormat ketika masih di bawah, di depan altar. Imam itu pun mengiyakan.
Karena dirasa cukup, imam itu keluar dari gedung gereja, sementara para petugas liturgi itu tetap terus mematangkan latihannya. Tak lama kemudian seorang suster datang untuk latihan koor. Melihat latihan para petugas liturgi tidak sesuai dengan keinginannya, langsung saja suster ini turun tangan. Dengan nada agak emosional, dia mengomentari para petugas liturgi tersebut. Tak urung, imam yang sudah melatih tadi pun tak luput dari komentarnya. Intinya, sang imam tidak tahu apa-apa soal liturgi.

Senin, 03 September 2018

TANAM NILAI-NILAI KRISTIANI SEJAK DINI


Dua dokumen Konsili Vatikan II menegaskan bahwa orangtua adalah pewarta iman dan pendidik yang pertama dan utama (AA no. 11 dan GE no. 3). Karena itu, sudah menjadi kewajiban orangtua untuk menanamkan nilai-nilai kristiani pada anaknya sejak dini. Banyak orangtua keliru bahwa tugas ini baru dapat dilakukan ketika anak sudah punya pemahaman. Tugas kewajiban ini harus dilakukan ketika anak masih usia 0 tahun.
Apa yang bisa dilakukan ketika usia anak 0 – 5 tahun? Jauhi anak dari pengaruh negatif, seperti pertengkaran. Ayah dan ibu harus membiasakan diri bersentuhan dengan anak, entah lewat dekapan atau juga elusan. Tumbuhkan dalam rumah tangga suasana kasih. Bisikan di telinga anak doa, baik itu doa spontan maupun doa-doa kristiani, ketika anak mau tidur. Bawalah anak ke gereja; jangan cemas soal rewelnya.  
Ketika anak usia 5 – 7 tahun, orangtua dapat mulai mengajarnya doa-doa kristiani. Bacakan kisah-kisah menarik dari Kitab Suci, sambil disampaikan pesan-pesan moralnya. Misalnya, ketika menceritakan kisah Kain dan Habel, dapat disampaikan agar saling menjaga dengan saudara sendiri, taat kepada Tuhan, tidak iri hati, dll. Bacakan juga riwayat orang kudus. Mulailah menanamkan nilai-nilai kristiani, misalnya sikap berbagi, empati, mengampuni, hormat kepada orang tua, sederhana dan syukur. Jangan lupa untuk selalu membawa anak ke gereja (juga ke komunitas) dan menjelaskan bagian-bagian dari upacara misa.
Pada usia 7 tahun ke atas anak diajarkan beberapa ajaran iman. Jangan biarkan anak berjalan sendirian dalam usahanya untuk mengetahui ajaran iman tersebut. Orangtua harus ada bersama dengannya. Teruslah menjaga komunikasi yang baik dengan anak, mengetahui perkembangan anak, baik di sekolah maupun di masyarakat. Orangtua harus mempersiapkan anak untuk penerimaan komuni dan juga krisma. Sangat baik sebelum mereka menerima pembinaan di gereja, orangtua terlebih dahulu membina anaknya.
by: adrian