Kamis, 03 November 2022

ANTARA PELAYAAN DAN KEWAJIBAN

 

Saya merasa risih mendengar pernyataan seorang imam bahwa dirinya telah melakukan tugas pelayanan dengan maksimal. “Kami bekerja setiap hari selama seminggu. Kerjanya 24 jam.” Ungkap imam itu dengan bangganya. Tugas yang dimaksud imam tersebut adalah misa setiap hari (misa harian), setiap hari Minggu 2 hingga 3 kali; kadang tengah malam dibangunkan untuk memberi pengurapan orang sakit, dll. Intinya, semua tugas sakramen dan sakramentalia.

Kebanggaan imam itu ditambah lagi dengan uang saku yang diterimanya. Sekalipun bekerja setiap hari dan 24 jam, ia hanya menerima uang saku. Ia tidak menerima gaji. Uang sakunya pun sedikit, meski ia dapat memiliki benda-benda elektronik yang harganya tak terjangkau uang sakunya sebulan.

Pertanyaannya adalah benarkah imam itu sudah melakukan tugas pelayanan? Pelayanan menjadi inti dari imamat. Ketika ditahbiskan menjadi imam, seorang imam dipanggil untuk melayani, bukan dilayani. Ini mengutip pernyataan Tuhan Yesus sendiri, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20 28).

Pernyataan imam bahwa ia telah melakukan pelayanan patut dipertanyakan. Apakah benar ia sudah melakukan tugas pelayanan, atau tugas kewajiban? Sangat tipis perbedaan antara sebuah tugas pelayanan dengan tugas kewajiban.

Bagi saya, jika hanya sebatas merayakan misa sesuai ketentuan, ini merupakan kewajiban. Adalah tugas seorang imam untuk merayakan ekaristi. Dan adalah juga tugas seorang imam untuk memperhatikan kebutuhan rohani umat gembalaannya. Karena itu, seorang imam merayakan misa bersama umat, entah itu di gereja atau di komunitas, itu adalah kewajibannya.

Bahkan ketika tengah malam, tidur seorang imam diganggu oleh panggilan untuk perminyakan orang sakit, itu adalah kewajibannya. Dia ditahbiskan untuk itu.

Lantas, kapan seorang imam dikatakan melakukan tugas pelayanan? Pelayanan lahir dari dalam diri seorang imam. Tugas yang dilakukan bukan karena aturan atau ketentuan, tetapi karena dirinya mau melakukannya. Dalam pelayanan ada pengorbanan; dan pengorbanan terbesar adalah egonya.

Sebagai contoh, suatu hari seorang imam sudah mempunyai jadwal dua misa. Tiba-tiba ada seorang umat minta diadakan misa di tempatnya. Soal waktu dapat diatur, dan kesempatan itu memang ada. Jika menyanggupi permintaan itu, ia telah melakukan pelayanan. Apalagi jika ia tidak memperhatikan status sosial-ekonomi umat yang minta (terkait dengan stipendium yang bakal diterima).

Atau, ketika seorang imam datang mengunjungi umat tanpa memandang status sosial-ekonomi, suku atau golongan; melayat umat yang mendapat musibah, baik di rumah maupun di penjara dan rumah sakit.

Intinya, di saat imam melakukan suatu tugas, yang tidak termasuk ketentuan baku, dia sudah melakukan pelayanan. Tugas yang sudah ditentukan, misalnya seperti misa, berkat Dalam pelayanan itu, ia telah mengorbankan kepentingan dirinya.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu