Sebelum mengkritisi
pemikiran-pemikiran Fatoohi, terlebih dahulu kita lihat kesalahan cara berpikir
Fatoohi. Seperti yang telah dikatakan di atas, Fatoohi menggunakan Al-Quran
sebagai batu ujinya, sementara Fatoohi sendiri tak pernah mengkritisi Al-Quran.
Ini memang tidak bisa dilakukan, karena berbahaya. Al-Quran diterima tanpa
sikap kritis sebagai kitab sempurna. Karena sempurnanya itulah maka tak perlu
lagi dikritisi. Karena itu, wajar bila sesuatu yang tidak sesuai dengan
Al-Quran dikatakan salah atau tidak asli.
Hal ini dapat kita lihat dalam hlm 70
– 71 soal manusia sebagai citra Allah. Fatoohi mengkritisi ini dengan memakai
Al-Quran, tanpa terlebih dahulu memahami makna citra Allah dalam Kitab
Kejadian. Atau soal pembantaian kanak-kanak di Betlehem (hlm 317 – 318). Atau
soal trinitas (hlm 422 – 426, 476 – 479), dimana Fatoohi menyamakan konsep
trinitas dan triteisme.
Karena Al-Quran sebagai kitab yang
benar dan sempurna, maka yang tidak sesuai dengan Al-Quran adalah salah. Dan
kebetulan semua Injil, yang diakui Gereja, tidak sama atau mirip sehingga bisa
disimpulkan Injil itu salah. Sementara injil-injil apokrif, yang tidak diakui Gereja,
namun karena ada kemiripan dengan Al-Quran, maka dinyatakan benar; dan kitab
itu juga yang dipakai Fatoohi.
1.
Soal Anunsiasi Maria (hlm 146 – 156)
Dalam QS Al-Maryam dikatakan bahwa Malaikat Jibril itu
adalah Roh yang menyebabkan Maria hamil. Akan tetapi, dalam QS Al-Anbiya dan
juga Al-Tahrim dikatakan bahwa Allah meniupkan Roh-Nya ke dalam Maria sehingga
ia hamil. Di sini mau dikatakan bahwa Roh itu adalah Allah. Oleh karena itu,
apakah bisa dikatakan bahwa Malaikat Jibril itu adalah Allah?
Kekacauan ini dipertegas lagi dalam QS Ali Imran.
Dalam ayat 40 dikatakan bahwa Maria berbicara kepada Malaikat Jibril, bukan
kepada Allah. Namun dalam ayat 47 (selisih 7 ayat saja) terlihat bahwa Maria
berbicara kepada Allah.
2.
Kehamilan Perawan Maria (hlm 157 – 161)
Fatoohi mengatakan bahwa kisah kehamilan Maria tidak
historis hanya karena kisah itu berbeda dari satu Injil ke Injil yang lain. Di
sini terlihat jelas bahwa Fatoohi tidak memahami ajaran Katolik tentang Injil.
Kita bisa ambil contoh pembanding: perang Vietnam kisahnya bisa berbeda antara
versi Amerika dan Vietnam. Apakah kisah perang itu tak historis?
Karena itu, akan terasa lucu dengan tiga kesimpulan
Fatoohi (hlm 161). Terlihat jelas Fatoohi tidak mengerti soal Kitab Suci orang
kristen dan memaksakan cara pandang Quraninya. Kesimpulan pertama seakan
menyangkal sendiri pernyataan Fatoohi, “Ketiadaan bukti bukanlah bukti
ketiadaan.” (hlm 32).