Menikah adalah hak setiap orang. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka
menikah, yang melekat dengan kemanusiaan kita, juga mempunyai dimensi sosial.
Artinya, orang tidak bisa sesuka hatinya saja. Ketemu pasangan langsung
menikah; namun ketika bosan, langsung cerai.
Karena itulah pernikahan diikat dengan seperangkat peraturan. Tujuan
peraturan yang ada bukan untuk mengekang kebebasan individu manusia, melainkan
supaya kebebasan itu dihargai dengan saling menghargai kebebasan tiap individu.
Dari sinilah akan lahir tatanan kehidupan yang teratur.
Di samping itu, aturan dalam pernikahan membuat manusia berbeda dari
binatang. Lihatlah dunia binatang pada umumnya. Karena tidak ada aturan, yang
mengatur tentang pernikahan, hidup mengikuti naluri saja. Ketemu pasangan, ya
kawin. Kehamilan dan beranak adalah urusan betina. Ada pasangan lain, kawin
lagi. Begitu seterusnya.
Manusia tidaklah demikian. Gereja Katolik, dengan aturannya, mengikat
sebuah perkawinan seumur hidup. Gereja juga mengajak umatnya untuk membangun
keluarga yang monogami agar ada kejelasan status orangtua.
Akan tetapi, karena sudah merupakan sifat manusia yang serakah dan tidak
bisa puas dengan apa adanya, manusia mengalami kejatuhan. Termasuk dalam
membangun keluarga. Tak terkecuali mereka yang awalnya menikah di luar Gereja
Katolik.
Ada banyak kasus umat Katolik yang menikah di luar Gereja Katolik, baik
beda Gereja maupun beda agama, menemui masalah hidup dalam keluarga dan
akhirnya bercerai. Dalam perjalanan waktu, mereka menemukan pasangan hidup
lagi, mungkin seiman mungkin juga tidak, lalu ingin menikah secara Katolik.
Dengan kata lain, ada orang yang sudah bercerai dari perkawinan sebelumnya,
yang tidak diresmikan secara Katolik, hendak menikah lagi secara Katolik.
Bagaimana sikap Gereja Katolik? Apakah mereka-mereka ini bisa menikah lagi secara Katolik?