Beberapa
kenalan menceritakan cerita sedihnya ketika “tidak menjabat lagi”. Salah seorang
direktur di perusahaan multinasional ternama dihampiri petugas keamanan ketika
memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Petugas menyatakan bahwa tempat parkir tersebut
diperuntukkan direktur yang baru, dan beliau dipersilahkan menggunakan tempat
parkir umum.
Teman
lain, yang merasa sudah menyiapkan suksesor dan rajin mementornya, terkejut
ketika anak didiknya menolak diawasi setelah menduduki jabatannya. Hal-hal ini
tentu menyakitkan hati, apalagi bila kita tidak bersiap mengantisipasinya. Di situasi
lain, ada orang yang sudah diperlakukan baik-baik, dengan program pensiun yang
jelas, tetap uring-uringan dan merasa tidak nyaman secara berkepanjangan. Kita,
yang tidak merasakan situasi ini bisa dengan mudah menertawakan sang individu
dan tidak bisa mengerti mengapa yang bersangkutan seolah-olah tidak rela
melepas jabatannya itu. Jelas ini adalah gejala psikologis karena dalam hal ini
kita tidak mengaitkannya dengan berkurangnya penghasilan.
Beberapa
orang tampak sangat siap untuk menjalani kehidupan barunya selepas menjabat. Seperti
halnya mantan wakil presiden AS, Joe Biden, yang naik kereta umum kembali ke
kotanya, dengan sikap relaks. Orang-orang seperti ini tampak tidak menderita
secara fisik, mental dan sosial. Sementara beberapa lainnya tampak berusaha
menggapai-gapai status sosial yang dulu pernah ditempatinya.
Situasinya
menjadi lebih buruk bila mereka mulai bersikap reaktif terhadap situasi
sekitar. Kita tahu bahwa di Indonesia jabatan atau atau kedudukan berakhir di
kisaran usia 60 tahun. Pada usia yang demikian, fisik manusia pada umumnya
masih sehat. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para senior ini? Apakah betul
rasa tidak nyaman ini lazim dan tidak perlu kita tanggulangi. Bukankah kita
semua akan menghadapi situasi seperti ini? Sudah siapkah kita?
Sudah Selesaikah Anda?