Jumat, 20 Juli 2018

MELIHAT MUHAMMAD DARI SISI PSIKOLOGI

Semenjak kecil Muhammad menunjukkan gejala “gangguan perilaku ketergantungan” setelah dibuang oleh ibunya. Ia kemudian mulai menunjukkan gejala “kompleksitas Oedipus” karena hubungannya dengan sang bibi, Fatimah, yang menjadi akar dari kecanduan seksnya dan kejahatan seksual selama hidupnya.
Muhammad mulai menderita skizofrenia, kemungkinan sebagai salah bentuk perlawanan atas ketidak-seimbangan yang terjadi pada jiwanya, suatu kondisi yang dimanfaatkan Khadijah untuk kepentingannya. Kisah gangguannya merupakan hasil pemahaman akan Yudaisme dan kekristenan yang diputar-putar dan samar-samar. Dididik oleh istri dan keponakan istrinya yang pemuja okultisme, Waraqah, sakit jiwa yang dialami Muhammad yang sering menyebabkan ia mengalami halusinasi yang tidak logis menyebabkan Muhammad mewahyukan perintah-perintah yang tidak berhubungan dengan hukum dan nubuatan Musa seperti yang ada dalam Alkitab.
Sebagai seorang opurtunis, Khadijah meyakinkan Muhammad kalau ia adalah seorang nabi, dan tidak sedang menderita penyakit jiwa. Muhammad kemudian dididik secara gigih oleh istrinya dan mulai mempercayai mitos yang dibuatnya. Muhammad akhirnya mulai menderita “kompleksitas juruselamat” dan mulai meyakini dalam pikirannya akan sebuah rencana khusus untuk mentransformasi Arabia seturut dengan kehendak Allah, tetapi sebenarnya rencana itu adalah visi dan agenda politik (bisnis) Khadijah.
Muhammad kemudian menjadi terpedaya dengan ego baru ciptaannya sendiri dan sanjungan yang ia terima. Dengan memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya dan mitos yang diciptakannya makin bertambah, ia mulai terjangkiti “gangguan kepribadian narsistik”. Ia menikmati otoritas yang diperolehnya dan dianggap sebagai pahlawan anti kemapanan.
Muhammad menghadapi penganiayaan hebat dari orang-orang Mekkah dan akhirnya dibuang oleh kaumnya, tampak dari psikisnya akan kegagalannya untuk mengubah mayoritas kaumnya sendiri; sehingga membuka luka lama akan ketertolakkannya. Diam-diam memendam amarah karena menyimpan ketidak-sukaan, sikap narsisnya yang berlebihan membuatnya mulai mengidap sakit kejiwaan yang sangat berbahaya, yang disebut “komplesitas Napoleon”.