Pada
11 Oktober 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait
dengan pernyataan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok terhadap surah Al Maidah
ayat 51. Pernyataan Ahok itu dilontarkannya saat kunjungan dinas ke Kepulauan
Seribu. Oleh MUI Ahok difatwa telah melakukan penistaan terhadap Al Quran dan
ulama.
Memang
satu minggu kemudian (18/10), sejumlah elemen masyarakat terdiri dari ulama,
budayawan, akademisi, advokat dan organisasi kepemudaan, yang tergabung dalam
Aliansi Masyarakat Cinta Damai, menggelar aksi damai di kantor MUI. Mereka
meminta MUI untuk mencabut fatwa tersebut. Salah satu alasa mereka adalah fatwa
MUI tersebut dapat meningkatkan ketegangan politik dan konflik horisontal di
dalam masyarakat. Fatwa tersebut akan dimanfaatkan sekelompok golongan untuk
kepentingan di kancah pilkada.
Apa
yang dikhawatirkan oleh aliansi masyarakat tersebut terbukti. Setelah
dikeluarkannya fatwa MUI, aksi bela islam mulai digelar. Beberapa ormas islam,
yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal fatwa MUI, mulai menggalang
kekuatan. Pada 4 November mereka melakukan aksi unjuk rasa. Ratusan ribu umat
islam tumpah ruah di jalanan ibukota untuk memberi tekanan kepada pihak
pemerintah, khususnya kepolisian, agar menangani kasus Ahok segera (sesuai
selera mereka).
Seakan
takut menghadapi tekanan GNPF MUI, atau konsekuensi terjadinya konflik
horizontal, pada 16 November pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai
tersangka. Banyak pihak menilai penetapan status tersangka Ahok ini untuk
meredam niat umat islam yang akan melakukan aksi bela islam pada 24 November.
Namun, karena keinginannya belum terpenuhi (melihat Ahok dipenjara), GNPF MUI
menggelar aksi bela islam pada 2 Desember.
Banyak
orang melihat bahwa kasus penistaan agama ini merupakan pertarungan Ahok. Dalam
kasus ini Ahok akan berjuang melawan sekelompok umat, yang mengatas-namakan
agama. Di saat sedang berjuang dalam pertarungan Pilkada DKI, Ahok juga
bertarung melawan umat islam, yang merasa agamanya dihina. Tentulah Ahok
disibukkan dengan pembelaan-pembelaan bahwa dirinya tidak melakukan penistaan
terhadap islam. Jangankan menistakan agama islam, niat untuk menistakan saja
tak ada.
Hal
ini sudah pernah diungkapkan Ahok. Ketika menyampaikan permintaan maafnya
secara terbuka, Ahok menegaskan bahwa tidak ada niat dirinya menistakan agama
islam. Bagaimana mungkin Ahok berniat menistakan agama islam, sementara calon
wakilnya orang islam, banyak pendukungnya beragama islam, dan tim suksesnya,
baik dalam tim kampanye maupun tim Teman Ahok, banyak yang beragama islam. Di
samping itu, selama menjadi gubernur, Ahok banyak melakukan kebijakan yang pro
umat islam.
Akan
tetapi, mata sebagian umat islam sudah ditutupi oleh kebencian dan kemunafikan.
Ditunjang dengan perintah Allah untuk membela islam, maka turunlah mereka ke
jalanan menyuarakan tuntutan agar Ahok dipenjarakan, dan bila perlu
“dibinasakan”. Dan inilah pertarungan Ahok.
Benarkan
kasus penistaan agama ini murni hanya pertarungan Ahok? Jika dicermati secara
kritis, setelah penetapan fatwa penistaan agama, sebenarnya kasus penistaan agama ini merupakan juga pertarungan MUI. Kenapa?
Tak
sedikit juga umat islam yang menolak fatwa MUI tentang penistaan agama yang
dilakukan Ahok. Seperti yang diungkapkan di atas, Aliansi Masyarakat Cinta
Damai meminta MUI mencabut fatwa tersebut. Beberapa tokoh islam juga dengan
tegas mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan terhadap Al Quran. Bahkan
ada umat islam yang mencoba membandingkan pernyataan Ahok dengan pernyataan
Habib Rizieq. Pada suatu kesempatan, Habib Rizieq berkata, “Dia (ulama bejat)
nipu umat pakai ayat Quran. Dia nipu umat pakai Hadis Nabi.”
Hal
ini, tentulah menuntut MUI untuk melihat kembali dirinya. Ini memungkinkan jika
para ulama yang tergabung dalam MUI itu memiliki hati untuk menelaah kasus ini dengan
jernih. Apalagi bila para ulama ini merunut pada kasus-kasus penistaan agama islam
lainnya, yang penanganannya tidak seheboh Ahok. MUI harus bertanya apakah fatwa
yang dikeluarkannya sudah benar, murni lahir dari telaah agama, atau ada
titipan kepentingan. Sungguh dibutuhkan kejujuran diri para ulama. Di sini
tentulah MUI akan bertarung antara kejujuran dan kebohongan. Jujur itu tentu
sangat menyakitkan, baik bagi para ulama maupun bagi MUI sebagai lembaga.
Pertarungan
MUI lainnya adalah bila MUI mau melihat permasalahan penistaan agama ini secara
total, bukan cuma melihat dari kepentingan islam saja. Para ulama harus
menyadari bahwa ternyata, jika memakai cara pandang mereka terhadap pernyataan
Ahok, Al Quran sudah menistakan agama kristen. MUI harusnya berpikir, jika umat
islam bisa mempidanakan Ahok, sudah sepantasnya umat Kristen bisa
mempidanakan Al Quran. Misalkan, suatu hari ada sekelompok umat kristen datang
ke polisi dengan membawa Al Quran, lalu mengatakan bahwa Al Quran telah
melakukan penistaan agama. Coba MUI bayangkan, apa yang bakal terjadi.
Memang,
umat Kristen tidak akan melakukan hal itu karena pertimbangkan kepentingan yang
lebih luas, yaitu bangsa. Jadi, MUI harus memikirkan hal ini, bukan hanya untuk
kepentingan islam, melainkan untuk kepentingan bangsa. Percuma saja beberapa
ulama menyatakan dukungan terhadap NKRI dan kebhinnekaan Indonesia, jika hal
ini tidak bisa ditangani dengan arif dan bijaksana.
Selain
pertarungan-pertarungan di atas, MUI bakal menghadapi pertarungan terkait dengan
proses hukum. Sebagaimana sudah diketahui, MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa
Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama. Dan sekarang Ahok akan
menghadapi proses hukum. Bagaimana jika seandainya dalam sidang pengadilan,
baik di tingkat banding bahkan di MA, hakim memutuskan bahwa Ahok tidak
bersalah. Tentulah salah satu tuntutannya adalah pemulihan nama baik. Selain
harus memulihkan nama baik Ahok, MUI seakan harus menelan ludahnya sendiri
dengan menarik fatwanya. Menarik fatwa tersebut seakan mengakui salah. Akankah
MUI berani melakukannya?
Koba,
2 Desember 2016
by:
adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar