Pada
tanggal 27 September 2016 lalu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama
atau biasa disapa Ahok, mengadakan kunjungan dinas ke Kepulauan Seribu. Dalam kunjungan
kerja itu, Ahok menjalaskan program kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dengan Sekolah Tinggi Perikanan. Dalam pidato penjelasannya itu, keseliplah
pernyataan yang menjadi heboh bagi umat islam Indonesia. Pernyataan yang
bermasalah itu berbunyi: “Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam
hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat al maidah ayat
51, macam-macam itu. Itu hak bapak itu.”
Menyaksikan
tayangan video pidato Ahok itu, setelah menyelesaikan kalimatnya itu, umat
Kepulauan Seribu, yang mayoritasnya beragama muslim tidak menampakkan reaksi
marah atau tersinggung. Malah ada yang tepuk tangan dan tertawa. Reaksi berbeda
ditunjukkan oleh orang-orang di luar Kepulauan Seribu, salah satunya MUI. Pada
11 Oktober 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahok
telah melakukan penistaan agama dan ulama.
Atas
fatwa yang dikeluarkan MUI ini, KH Ma’ruf Amin, selaku Ketua MUI, menjelaskan
bahwa Ahok telah melakukan penistaan karena Ahok menyebut kandungan dari surah
al maidah itu sebuah kebohongan. Pernyataan Ahok ditafsirkan bahwa surah al
maidah dan para ulama telah berbohong.
Tulisan
ini tidak membahas soal penistaan agama, melainkan lebih fokus pada penistaan
ulama. Pertanyaan dasarnya adalah siapa yang sebenarnya melakukan penistaan
ulama, apakah Ahok atau justru MUI sendiri.
Sebuah Analogi