Kamis, 01 Desember 2016

AWAM DAN IMAM DALAM KERANGKA KAUL KEMISKINAN

Liburan November 2016 lalu, saya berkesempatan mengunjungi sahabat lama saya. Dulu kami pernah satu seminari menengah dan kembali bertemu di seminari tinggi yang sama. Akan tetapi, jalan panggilan hidup kami berbeda. Ia memilih menjadi awam, sedangkan saya lanjut menjadi imam.
Saat ini dia bekerja di pemerintahan daerah, di salah satu daerah di Flores sebagai PNS. Posisi jabatannya di pemda terbilang lumayan penting, karena dia tidak hanya bermodalkan ijasah S-1 filsafat, melainkan S-2 manajemen aset, yang diperolehnya di UGM Yogyakarta.
Tiga hari saya tinggal bersama dengannya, ngobrol dan jalan-jalan di daerahnya. Selama itu saya sungguh kagum dengan penampilan sahabat saya ini. Sekalipun tidak mengucapkan kaul/janji kemiskinan seperti para imam, biarawan/biarawati, gaya hidupnya sangat sederhana. Kontras dengan segelintir imam, yang juga pernah hidup bersamanya di seminari tinggi.
Padahal dia tidak terikat dengan kaul dan janji kemiskinan. Gajinya sekitar tiga kali (bahkan empat) uang saku saya. Itu belum termasuk tunjangan dan lainnya. Tapi motor tunggangannya hanyalah Yamaha Jupiter MX King 150 cc, sebuah motor bebek. Harganya berada dalam kisaran 18 – 20 juta. Kontras dengan beberapa imam yang mempunyai motor pribadi dengan harga di atas 50 juta.
Belum lagi soal HP-nya. Selama tinggal bersamanya, tidak pernah saya melihatnya memegang HP lain selain Nokia N70, jenis nokia yang diproduksi tahun 2005. Ini berarti teman saya ini hanya mempunyai 1 HP. Dengan gajinya sebulan, ditambah belum punya beban tanggungan, sebenarnya dia pantas dan layak memiliki HP sekelas Samsung Galaxy dengan harga kisaran 2 – 4 juta. Kepada saya dia hanya mengatakan bahwa dia merasa belum merasa butuh memiliki barang-barang itu, di samping dia belum bisa melepas Nokia N70-nya.
Sikapnya ini sungguh sangat berbeda dengan beberapa rekan imam, yang juga pernah hidup bersamanya di seminari tinggi. Sangat sulit menemukan imam yang hanya memiliki satu HP. Minimal seorang imam mempunyai dua HP. Itu pun harganya jauh di atas uang sakunya.
Di kehidupan awam, khususnya pemerintahan, pegawai yang hidupnya tidak sesuai dengan pendapatannya, patut dicurigai. Contoh konkret adalah Gayus HP Tambunan. Kekayaan yang dimilikinya tidak sebanding dengan gaji yang diterimanya. Karenanya, pantas jika dia terjerat dengan kasus korupsi.
Penampilan sahabat saya ini sungguh-sungguh tamparan bagi saya, dan juga para imam. Dia tidak mengucapkan kaul/janji kemiskinan, tapi menghayati hidup sederhana. Sementara para imam, sekalipun mengucapkan kaul/janji kemiskinan (bahkan setiap tahun selalu diperbaharui), justru bergelimang harta kekayaan.
Semoga sosok sahabat saya ini dapat menjadi inspirasi bagi saya, dan juga para imam, dalam menghayati kaul/janji kemiskinan.
Koba, 26 November 2016
by: adrian
Baca juga tulisan terkait: