Beberapa minggu
terakhir ini masalah ijasah palsu Perguruan Tinggi sangat intens diberitakan,
baik di media cetak maupun media elektronik. Memang masalah ini amat sangat
memprihatinkan. Lembaga, yang seharusnya memperjuangkan nilai-nilai kejujuran
dan kebenaran, justru malah menciptakan kebohongan. Karena itu, tuntutan
penanganan yang segera menjadi suatu keharusan.
Yang patut disayangkan
adalah kenapa baru sekarang kita merasa heboh dengan masalah ini. Padahal fenomena
ijasah palsu sudah ada sekitar tiga – empat tahun lalu. Apakah karena menteri pendidikan
yang sekarang tidak mau kongkalikong atau karena adanya persaingan, entah itu
di internal atau juga di eksternal kementerian. Tapi, kita patut apresiasi atas
keputusan beberapa menteri (menteri pendidikan tinggi dan menteri PAN) menyikapi
kasus ijasah palsu ini.
Sebenarnya masalah
pendidikan, terkait dengan soal kejujuran dan kebenaran, tidak hanya mengenai
ijasah palsu. Masih ada masalah lain yang terkait, yang juga menuntut peran
aktif dari kementerian, khususnya menteri pendidikan. Setidaknya ada dua kasus.
Pertama,
jual beli skripsi. Dewasa ini banyak mahasiswa mendapatkan skripsinya dengan
cara membeli atau meminta orang lain yang membuatnya. Sama seperti ijasah
palsu, masalah ini pun sebenarnya bukanlah masalah baru. Praktek jual beli
skripsi ini disinyalir sudah ada sejak 5 – 10 tahun lalu. Hal ini dapat dilihat
dari layanan iklan jasa pembuatan atau pengetikan skripsi.
Lebih parah lagi,
skripsi yang dijual merupakan skripsi dari mahasiswa lama. Misalnya skripsi
mahasiswa tahun 1999. Karena kebetulan mahasiswa tahun 2015 membuat skripsi
dengan tema yang sama, maka terjadilah transaksi jual beli skripsi. Penjual
tinggal ganti nama dan nomor mahasiswanya, ubah sedikit judul dan ganti tahun
pada cover skripsi.