Minggu, 10 Mei 2015

Kesaksian Mantan Pentolan FPI

MANTAN PENTOLAN FPI BONGKAR FPI
Belum lama ini para peserta ‘Promoting and Protecting Freedom of Religion or Belief and Countering Religious Intolerance’ diajak berkunjung ke Kota Kembang, Bandung. Kali ini, puluhan aktivis lintas iman dipertemukan dengan mantan pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Syaiful.
Di dalam aula masjid Al Mubarak, kepada tamu-tamu dari Myanmar dan Jakarta, Syaiful menceritakan perjalanan hidupnya dalam memaknai islam. “Saya bersyukur kepada Tuhan, pada umur 66 tahun ini saya diberikan pencerahan setelah sempat menjadi anggota FPI selama beberapa tahun dari tahun 2005,” ucap Syaiful mengawali perbincangan.
Syaiful mengakui, selama mengaji di Petamburan, Jakarta, ia diindoktrinasi untuk melihat orang yang berbeda keyakinan sebagai kafir. “Saking ekstremnya, hingga para santri FPI gak mau belajar bahasa Inggris karena dianggap bahasa orang kafir,” kata Syaiful.
Cara pandang yang ditularkan FPI, menurut Syaiful, membuat umat muslim melihat perbedaan dalam memaknai agama dan keberagaman dalam kacamata hitam putih. “Dulu saya melihat hitam putih pada muslim yang berbeda terutama pada kawan-kawan Syiah dan Ahmadiyah,” tuturnya sambil melirik pada salah satu petinggi Ahmadiyah di kota Bandung yang juga turut hadir siang itu.
Namun, meski senantiasa mengucapkan takbir, kala itu Syaiful mengaku merasa ada yang keliru dengan cara pandang demikian. “Sebetulnya saya merasa tidak nyaman saat itu dengan mengkafir-kafirkan orang,” ujarnya. Karena itu, ia mulai mempelajari dan membaca tafsir-tafsir dan buku-buku yang secara serius membahas islam.
“Saya pun merenung dan akhirnya menemukan bahwa setiap manusia berusaha untuk mencapai Tuhan. Karena itu, kenapa kita harus bertengkar karena keyakinan kita,” ucap Syaiful di hadapan peserta.
Sejak saat itulah, Syaiful mulai mengalami pergantian corak pandang keagamaan dari pembenci perbedaan ke pecinta keberagaman. Kini, Syaiful mengaku aktif dalam mempromosikan perdamaian antarumat beragama di Bandung. “Saya merasa gerakan kerukunan umat beragama harus diperbesar,” tegasnya. Tak jarang Syaiful mengajak kawan-kawannya di FPI agar menanggalkan kekerasan.
“Saya bilang pada kawan-kawan saya di FPI agar tak apalah jika orang-orang Syiah dan Ahmadiyah atau Kristen berbeda, tapi jangan ganggu mereka,” tutur Syaiful.
Menurut Syaiful, permasalahan yang di kelompok islam radikal adalah terlalu terfokus pada soal fikih. “Padahal inti ajaran islam dari semua mazhab demikian pula semua agama adalah akhlak, moralitas. Kalau belajar dari akhlak perbedaan tak mungkin jadi masalah. Jadi, kenapa kita tidak beragama memulai dari akhlak terlebih dahulu,” kata Syaiful.
Lebih lanjut Syaiful menilai dalam semangat toleransi antarumat beragama, peran negara amat krusial. “Yang paling penting adalah pemerintah. Kalau pemerintah berkomitmen pada penegakan hokum, saya yakin minoritas tidak akan mengalami persekusi,” ucap Syaiful dengan percaya diri.
Acara dialog diakhiri dengan berfoto bersama di depan mesjid Al Mubarak Ahmadiyah. Seusai dari mesjid Ahmadiyah, para peserta diboyong panitia dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Christian Solidarity Worldwide (CSW) ke Saung Angklung Udjo. Ada yang menarik dari ujaran anak pendiri Saung Angklung Udjo yang kebetulan mengisi salah satu bagian acara. “Tidak peduli warna kulit, agama, etnis, di Saung Udjo kita ingin bernyanyi dan bersenang-senang bersama,” ujarnya.

sumber: Chatolic Life

Orang Kudus 10 Mei: St. Gordianus & Epimakus

SANTO GORDIANUS & EPIMAKUS, MARTIR
Tidak ada data yang didapat mengenai dua orang kudus ini. Yang pasti keduanya hidup di jaman yang berbeda. Gordianus adalah seorang hakim Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yulianus. Awalnya ia adalah seorang kafir. Namun akhirnya ia percaya kepada Kristus. Karena imannya kepada Kristus itulah, ia dibunuh pada tahun 363. Jenasah Gordianus dimakamkan di Via Latina, di kubah Santo Epimakus. 
Sementara Epimakus lebih dahulu meninggal. Ia hidup kira-kira seratus tahun sebelum Gordianus. Sama seperti Gordianus, Epimakus juga dibunuh karena imannya akan Kristus. Dia dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup di Aleksandria, Mesir. Relikuinya dibawa ke Roma. Oleh karena makam kedua martir ini terletak pada tempat yang sama, maka pesta peringatannya pun jatuh pada tanggal yang sama.
sumber: Iman Katolik
Baca juga riwayat orang kudus 10 Mei:

Renungan Hari Minggu Paskah VI - B

Renungan Hari Minggu Paskah VI, Thn B/I
Injil    Yoh 15: 9 – 10;
Bacaan kedua dan Injil hari ini sama-sama memiliki tema yang sama, yaitu kasih. Dalam Injil Tuhan Yesus memberikan perintah-Nya kepada para murid supaya mereka saling mengasihi. Dasar kasih ini adalah karena Tuhan Yesus telah lebih dahulu mengasihi. Sekalipun Tuhan Yesus sudah mengasihi para murid, bukan lantas berarti para murid juga hanya mengasihi-Nya. Kasih itu tidak hanya ditujukan kepada Tuhan Yesus saja, melainkan juga kepada sesama lainnya.
Yohanes dalam suratnya yang pertama kembali mengulangi perintah Tuhan Yesus dengan nada yang berbeda. Dalam bacaan kedua Yohanes menjelaskan juga dasar dari kasih itu, yaitu Allah. Bagi Yohanes, Allah adalah kasih. Dengan hidup dalam kasih, entah itu kepada Allah maupun kepada sesama, kita telah ambil bagian dalam keilahian Allah. Atau dengan perkataan lain, mengutip kata-kata Yohanes sendiri, dengan saling mengasihi, kita “lahir dari Allah dan mengenal Allah.” (ay. 7).
Bacaan pertama, yang diambil dari Kisah Para Rasul, menceritakan bagaimana Petrus memberi pencerahan kepada orang-orang percaya dari golongan bersunat bahwa karunia Roh Kudus dinyatakan kepada bangsa-bangsa lain juga (ay. 45). Ada banyak karunia Roh Kudus. Salah satunya adalah kasih. Karena itu, pesan bacaan pertama ini dapat dilihat bahwa kasih Allah itu bersifat terbuka. Tuhan menghendaki supaya umat-Nya mewujudkan kasih tidak hanya kepada anggota komunitasnya saja, melainkan juga keluar.
Sabda Tuhan hari ini mau menegaskan kepada kita bahwa Allah adalah kasih, dan bahwa Dia telah lebih dahulu mengasihi kita. Tuhan menghendaki supaya kita pun hidup dalam kasih dengan saling mengasihi satu sama lain. Dengan hidup dalam kasih, kita sudah ambil bagian dalam keallahan Allah. Kasih kita hendaknya jangan dibatasi oleh sekat-sekat golongan, melainkan harus bersifat universal. Karena Allah sendiri telah mengasihi kita tanpa melihat status, jabatan, golongan, asal usul kita. Bahkan keberdosaan kita tidak menyurutkan niat Allah untuk mengasihi kita.
by: adrian