Dalam
bilik kamar 26 Rumah Retret Puri Samadhi, diakon Yudas duduk resah dan gelisah
(kayak lagu Obie Mesakh, aja!). Bukan
lantaran cuaca siang itu yang membuatnya demikian, melainkan keputusan yang mau
diambilnya. Yah, hari ini merupakan
hari terakhir retretnya bersama empat rekannya: diakon Alex, diakon Beni,
diakon Budi dan diakon Heru. Retret menjelang tahbisan. Mereka dihadapkan pada
pilihan: maju atau mundur.
Kertas
di depannya masih terlihat bersih. Satu kertas untuk membuat surat lamaran,
jika ingin lanjut menjadi imam atau surat pernyataan mundur, jika tak siap
menerima tahbisan imamat. Kertas yang lain untuk menulis refleksi panggilan
sebagai lampirannya. Belum ada satu rangkaian kata atau kalimat yang mengotori
kertas-kertas itu.
Diakon
Yudas merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Dua kakinya berselonjor ke
depan. Matanya menerawang langit-langit kamar, mencari-cari jawaban di sana.
Hembusan angin yang masuk lewat jendela kamar sedikit mengusir udara panas. Agak
terasa sejuk. Tapi hati dan pikirannya terus berkecamuk dengan pilihan itu.
Diambilnya
buku catatan yang berisi bahan retret yang diberikan romo vikjen. Bahan itu
sebagian besar diambil dari dekrit Presbyterorum
Ordinis, salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang memang berbicara soal
imam. Dia membaca mulai dari pertemuan pertama hingga pertemuan enam di hari
ketiga kemarin. Hasil refleksi atas tiap pertemuan tak luput dari perhatiannya.
Namun
semua itu tak mampu mengusir kegalauannya yang membuntukan hati dan pikiran
akan jawaban atau keputusan. Akar kegalauannya ada pada tiga nasehat Injil yang
harus dihidupi setiap imam: miskin, taat dan selibat.
Sebenarnya
yang dibingungkan diakon Yudas bukan soal bagaimana cara menghayati tiga
nasehat Injil itu, melainkan nasehat mana yang bisa dikompromi.
Lho, koq bisa begitu?
Entah
kebetulan atau tidak, hal ini berkaitan dengan nama yang diberikan kepadanya.
Yudas Elang Putra Bungsu adalah nama lengkapnya. Dia tidak tahu Yudas dalam
namanya itu mengacu pada Yudas Tadeus atau Yudas Iskariot. Dia pun baru sadar
ketika tahun pertama di seminari menengah, seorang guru menanyakan hal itu. Dia
tidak bisa memberikan kepastian karena bapak dan ibunya sudah tiada.
“Paman
pun tidak tahu,” jelas pamannya, yang merangkap sebagai orang tuanya sejak ia
dan kakaknya berstatus yatim piatu, di suatu sore. “Yang baptis kamu
itu.., diakoonn..., waduh, sudah lupa
namanya. Dengar-dengar sudah keluar dia. Entahlah di mana dia sekarang.”
“Aku
tak peduli siapa yang baptis, tapi Yudas itu si Tadeuskah atau Iskariot? Kalau
Tadeus, kenapa dari dulu tidak langsung dipasang saja.”
“Manalah
paman tahu. Paman cuma bisa jelaskan soal Elang. Itupun karena paman yang
usulkan. Paman dan juga keluarga yang lain berharap kamu kelak seperti burung
Elang, yang cepat melihat dan menangkap mangsa. Ada peluang sikat. Ada
kesempatan sergap. Dalam dunia bisnis orang seperti ini akan cepat kaya. Itulah
yang kami harapkan darimu. Eh, malah
kamu masuk seminari ingin jadi imam.”