Kurang lebih dua bulan ini Indonesia disibukkan dengan masalah hukuman mati
bagi penjahat narkoba. Ada banyak pro dan kontra di dalam negeri. Tak
ketinggalan juga reaksi dari beberapa negara sahabat. Reaksi tersebut sedikit
membuat hubungan bilateral agak memanas. Contoh anyar akan hal ini adalah
hubungan Indonesia dengan Pemerintahan Australia. Komentar Perdana Menteri
Tonny Abbott memancing reaksi emosional bagi rakyat Indonesia.
Bagi saya reaksi rakyat Indonesia atas komentar Tonny Abbott berlebihan,
karena masyarakat melihat komentar itu hanya dari satu sisi yang mungkin bukan
dimaksud oleh Abbott sendiri. Memang Abbott menyinggung bantuan 1 miliyar untuk
korban tsunami Aceh, namun tekanannya bukan pada jumlah uangnya melainkan pada
kemanusiaannya. Prihatin akan nasib korban tsunami, Australia memberikan
bantuannya. Abbott berharap agar pemerintah Indonesia melihat juga nilai
kemanusiaan pada hukuman mati.
Salah satu alasan pemerintah menerapkan hukuman mati bagi terpidana narkoba
adalah efek jera. Indonesia sudah memasukkan kasus narkoba ini sebagai extraordinary
crime. Ada begitu banyak warga Indonesia yang mati akibat mengonsumsi
obat-obatan terlarang ini. Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa setiap
hari ada 40 orang mati karena penyalahgunaan obat terlarang. Oleh karena itu,
untuk mengurangi dampak buruknya, diberlakukanlah hukuman mati, biar orang
jera. Akan tetapi, kenapa sanksi itu hanya diberlakukan kepada pengedar dan
produsen?
Perlu diketahui masalah narkoba ini tidak hanya urusan pengedar dan produsen (bandar) saja. Bisnis obat-obatan terlarang ini bisa subur karena banyak faktor. Narkoba dapat berkembang baik di negeri ini karena ada pemakai dan juga aparat yang melindunginya. Ini adalah teori seorang gembong narkoba (saya lupa namanya). Aparat di sini mencakup polisi, tentara (lihat film American gangster) dan juga hakim dan jaksa.