Kamis, 02 Desember 2021

KEGELISAHAN KARENA KETIDAK-ADAAN

 

Mungkin kita pernah mendengar berita tentang seorang pemain sepakbola yang merasa jengah karena terus menerus dibangkucadangkan. Mungkin sebelumnya ia sering bermain, atau selalu menjadi starting eleven, bahkan bermain hingga 2 x 45 menit. Namun dengan pergantian pelatih, ia jadi sering menghangatkan bangku cadangan. Padahal ia tidak lagi cedera.

Orang yang seperti pemain sepakbola ini tentu akan merasa dirinya tidak berharga (sekalipun ia tetap akan tersenyum jika timnya menang). Ia sering gelisah, galau, dan bingung akan nasibnya di masa depan. Pemain yang selalu berada di bangku cadangan, padahal sebelumnya aktif bermain, akan merasa jati dirinya sebagai pemain hilang, karena pelatih baru menganggapnya “tidak ada”.

Situasi seperti ini disebut oleh Martin Heidegger, Filsuf Eksistensial, sebagai “kehadiran tidak-Ada dalam Ada”. Orang manusianya ada tapi dianggap tidak ada. Penganggapan tidak-Ada inilah yang menimbulkan kegelisahan, kegalauan bahkan hingga kehilangan asa. Ada kemiripan antara ketiadaan dan ketidakpastian. Bagi W. Barett ketidakpastian itu merupakan kengerian ketiadaan (A. Supratiknya (ed), Psikologi Kepribadian 2. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm 195).

Oleh karena itu, dapat dimaklumi kegelisahan seorang pemain, yang sebelumnya biasa bermain namun akhirnya lebih sering di bangku cadangan. Ia merasa tidak ada, walau sebenarnya ia ada. Inilah manusia eksistensial.