Rabu, 03 April 2013
Agar Anak Sehat dgn Televisi
AGAR ANAK “SEHAT” DENGAN TELEVISI
Sebagai orang tua, wajar bila Anda ingin memberikan yang
terbaik untuk putra-putri tercinta, apalagi bagi suami istri yang bekerja. Pasangan
ini kerap dihinggapi perasaan “bersalah” karena tidak meluangkan banyak waktu
untuk berkumpul dengan si buah hati. Konsekuensinya,mereka kerap memberi
kebebasan atas apa yang anaknya inginkan, termasuk ketika melihat acara
televisi.
Alih-alih anak sering dianggap penurut bila mereka senang
beraktivitas di rumah, tidak suka melayap keluar. Namun, jangan salah, meski di
rumah pun, jika Anda kurang mengawasinya, akan ada saja bahaya mengintai.
Salah satu bahayanya berasal dari acara televisi yang bisa
memberi dampak negatif (terutama tayangan sarat aksi kekerasan, kejahatan dan
seksual) khususnya untuk anak-anak balita hingga usia sekolah dasar. Di usia
inilah mereka sangat responsif dan mudah meniru apa yang dilihat di depan mata.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa menonton televisi bisa
mengganggu kesehatan fisik buah hati. Anak yang menonton televisi lebih dari
dua jam diduga beresiko lebih tinggi menjadi perokok dan mengalami gangguan
obesitas. Ketika mereka beranjak dewasa, kecenderungannya akan lebih beresiko
untuk memiliki kolesterol tinggi.
Televisi pun bisa mencegah anak untuk mempunyai daya
imajinasi yang tinggi. Menurut Dr Alicia Christine, dalam bukunya The Golden Rules to Raise Your Children, terdapat
penelitian terhadap anak pencandu televisi (menonton lebih dari tiga jam
sehari) cenderung kurang imajinatif ketimbang anak yang hanya menonton satu jam
atau kurang setiap hari.
Sebenarnya tidak semua program televisi berdampak jelek pada
anak karena ada banyak pula acara edukatif yang bisa dilihat. Akan tetapi,
sebagai orang tua, Anda perlu mengawasi si kecil agar kenyamanannya terjamin
penuh.
Ada beberapa resep praktis yang bisa dilakukan untuk
mengontrol tontonan si buah hati. Pertama, paling tidak Anda perlu menonton
satu atau lebih episode dari acara yang digemari anak Anda.
Cobalah diskusikan acara tersebut dan ajari anak untuk
mempertanyakan pesan acara itu. Masalah-masalah yang sensitif pun bisa Anda
bahas secara terbuka bersama anak seperti masalah stereotip, bias gender dan
perilaku destruktif dengan suasana yang akrab.
Langkah lainnya adalah menetapkan batas jam dan durasi
menonton. Misalnya, lewat pukul sembilan malam, anak harus sudah masuk kamar
untuk bersiap tidur. Paling tidak berikan waktu maksimal dua jam sehari untuk
menonton televisi dengan catatan anak sudah menyelesaikan tugas sekolah. Saat musim
liburan, anak-anak bisa diberikan “bonus” tambahan waktu untuk menonton satu
sampai dua jam (tidak sampai larut malam), asalkan Anda dapat menemani. Jika tontonan
dirasa tidak tepat, Anda wajib melarang si kecil untuk melihatnya.
Catatan lain, jangan pernah terpikir untuk menyediakan
televisi di kamar tidur anak. Apabila terwujud, hal ini justru akan menyusahkan
Anda untuk mengontrol acara apa yang dilihat anak. Jika perlu, Anda dapat
merekolasi televisi ke tempat yang kurang menarik bagi anak, misalnya di ruang
bawah tangga tanpa dilengkapi karpet dan sofa di depannya.
Bila Anda melihat anak tertarik dengan sebuah program
televisi yang menghibur dan mendidik, berikanlah “hadiah” dengan merekam
episode favoritnya. Tak lupa, Anda dapat mengajarkan anak untuk membuat jadwal
dan membuat pilihan tentang apa yang mereka tonton. Dengan cara ini, anak akan
merasa diberikan kebebasan sekaligus belajar bertanggung jawab. Langkah terakhir
biasakan untuk menghidupkan televisi jika acara yang terjadwal sudah dimulai
dan matikan jika sudah selesai. (AJG)
sumber: KOMPAS, 17
Juli 2012, hlm 33
Bahaya Televisi
MATIKAN TELEVISIMU
KUMPULAN ARTIKEL YANG MEMBANTU ANDA
BAHWA BANYAK ACARA TELEVISI YANG MERUSAK PRIBADI MANUSIA
Kamis, 2009 Januari 08
DIA OM ATAU TANTE SIH???
Sumber : Koran Sindo
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib
SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib
SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.
Sekali waktu tampil gagah, pada waktu yang lain tampil cantik. Kebetulan kedua peran itu memang mengesankan sempurna, sehingga bocah tadi-dan mungkin sekali dia mewakili sekian banyak penonton lain-menjadi bingung.
Tidak bisa membedakan, presenter tadi
laki-laki ataukah perempuan? Cerita tadi saya terima dari putri saya yang
kebetulan seorang psikolog yang kini aktif di Yayasan Buah Hati bersama Ibu
Elly Risman, psikolog senior yang sangat peduli dengan program pelatihan
parenting berdasarkan nilai-nilai spiritual.Dari sudut pandang psikologi, yang
memprihatinkan sesungguhnya bukan saja anak yang bingung tadi, melainkan juga
perkembangan kepribadian selebriti yang kerap memainkan peran ganda dan sering
bertingkah laku layaknya seorang “waria”: jenis kelamin boleh pria, bertingkah
laku layaknya wanita.
Bahkan tingkahnya lebih kenes ketimbang
umumnya wanita. Menurut nasihat psikolog, bagaimanapun sebuah peran yang diulang-ulang akan memengaruhi
kepribadian seseorang. Jika seorang aktor atau aktris, baik
sinetron maupun film sering kali berperan sebagai sosok pahlawan, misalnya,
pasti akan berpengaruh ke dalam dirinya.
Sebab, dia dituntut untuk menjiwai alur cerita agar permainannya
total dan bagus. Jadi, dalam peran itu ada proses peniruan dan identifikasi
diri. Konon, ceritanya beberapa aktor kawakan kelas Hollywood seperti Antony
Quinn, pribadinya berubah setelah memerankan sosok semacam Hamzah dalam film
kolosal The Message.
Begitu pun aktor lain yang memerankan
Saladin, ataupun Mahatma Gandi. Mereka menjadi lebih bijak dalam menjalani dan
memaknai kehidupan. Pandangannya terhadap dunia Timur juga berubah. Mungkin
sekali hal itu dipengaruhi oleh pemahaman dan penghayatan terhadap peran yang
dimainkan.
Hiburan Cerdas dan Edukatif
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.
Maklum, menonton televisi sudah membudaya di
masyarakat, telah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan
dan tidur. Namun, pertanyaan Elly Risman, sadarkah pihak orangtua dan pengelola
televisi akan akibat psikologis yang ditimbulkan oleh acara itu, khususnya terhadap perkembangan
anak? Anak-anak dan orangtua akan kehilangan kepekaan
gender dan moral.
Bahkan potensial mengganggu proses
identifikasi jati diri karena bagaimanapun para selebriti itu menjadi salah
satu model bagi anak-anak. Adapun terhadap “gay” yang senang pada praktik
homoseksual, di kalangan psikolog sendiri muncul sikap pro-kontra. Ada yang
mengatakan hal itu disebabkan kelainan jiwa yang bersifat bawaan, sehingga
keberadaan mereka pantas dikasihani.
Jiwa wanita tetapi berada dalam tubuh
laki-laki. Ada juga yang berpendapat, perilaku menyimpang itu semata produk
lingkungan dan pendidikan. Terlepas dari pro-kontra tadi, selebriti yang
sengaja tampil dengan peran berganti-ganti kelamin pada dasarnya laki-laki
tulen namun senang berpenampilan sebagai perempuan, pantas dipertanyakan.
Mereka tampil seperti itu semata untuk
mengundang tawa pemirsa, namun kurang menyadari bahwa hal itu telah membuat
orangtua resah karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak. Ada
anak laki-laki yang minta mengenakan pakaian perempuan dengan segala
aksesorinya, ingin meniru apa yang dilihat di televisi.
Jika ini berkelanjutan, maka baik selebriti
yang melakukan maupun anak-anak yang jadi pemirsa, akan mengalami perkembangan
pribadi yang tidak normal. Dari sisi jumlah, selebriti yang senang dengan peran
ini mungkin tidak banyak. Pemirsa pun mungkin bisa menghitung dan hafal
nama-nama mereka.
Tetapi bagaimana dengan pihak anak-anak
yang jadi penonton? Jumlahnya pasti lebih banyak. Apakah para selebriti itu
juga senang kalau anak-anaknya nanti tumbuh dengan kepribadian ganda? Menarik
direnungkan, terdapat pendapat dari kalangan kritikus panggung, pelawak yang
tidak kreatif dan tidak cerdas, jika kekurangan bahan lawakan maka cenderung
menyajikan lawakan yang bersifat porno atau bertingkah yang paradoksal semacam
laki-laki lalu jadi “wanita”.
Padahal pelawak yang memang berbakat dan
cerdas, untuk menjadi lucu tidak mesti menyinggung hal-hal porno. Kalaupun
menyinggung, caranya tidaklah vulgar. Para psikolog, pendidik dan ahli agama
rasanya perlu duduk bersama menyikapi fenomena “waria” dalam acara televisi
ini.
Diperlukan pendekatan yang bijak dan penuh
empati, bukan dengan kebencian dan penghakiman. Ajak dialog baik-baik tanpa
merendahkan pihak lain. Pasti banyak pelajaran dan penjelasan ilmiah mengapa
mereka bertingkah seperti itu serta akibat negatif apa saja yang ditimbulkan.
Komaruddin HidayatRektor UIN Syarif
Hidayatullah(//mbs)
***
AWAS SINETRON
HINDARI SINETRON..!!!Tayangan televisi mempengaruhi tingkah laku anak-anak bukan hanya berasal dari acara yang terkait dengan kekerasan seperti Smack Down. Televisi menghasilkan ragam acara mempengaruhi tingkah laku anak-anak dari yang masih ingusan sampai yang beranjak remaja. Salah satu acara televisi mempengaruhi anak-anak adalah sinetron. Sinetron merupakan salah satu tayangan yang dominan mengisi tayangan di saluran stasiun televisi. Laporan departemen komunikasi dan informatika menyatakan 30% dari tayangan televisi berisi sinetron dan 39% iklan. Tayangan yang mengandung unsur pendidikan hanya 0,07% berbicara soal pendidikan. Sinetron cenderung merujuk pada ide yang sama.
Sinetron menampilkan judul dengan ide nama tokoh yang cenderung
sama, misal Cinderella, Diva, Bunga. Dan bakal muncul nama-nama lainnya.
Tokoh-tokoh diusahakan akrab di telinga agar ditonton oleh anal-anak dan
remaja. Tokoh ditampilkan dengan karakter laki-laki ganteng dan pemimpin
perusahaan atau laki-laki dari golongan menengah ke atas dengan gaya mentereng, sedangkan perempuan ditampilkan cewek
cantik yang kurang mampu atau cewek cantik yang kaya dengan gaya yang manja. Gejala ini menurut
Miftahussurur dkk (2007:12) menyatakan tayangan layar kaca
sebenarnya lebih merupakan dunia ide atau dunia imajiner. Cerita
sinetron bukan berdasarkan kenyataan sebenarnya, tetapi lebih mementingkan
selera pasar dan iklan.
Berita di harian kompas membuat penulis
tertarik membahas sinetron. Semua gejala yang terdapat pada sinetron sangat
mempengaruhi apa yang dicerna oleh anak-anak dan remaja. Harian Kompas
(15/01/08) memberitakan bahwa enam puluh persen tayangan televisi maupun media
lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan. Penyimpangan prilaku
tidak hanya berupa tindak kekerasan, tetapi juga kata-kata kasar dan tidak
pantas. Rusdi Muchtar melakukan penelitian di Medan, Makasar, Palembang, dan
Bandung tayangan berbau kekerasan cenderung mempengaruhi anak-anak remaja. So,
perhatikan setiap tayangan TELEVISI, atau seperti kata kak Seto.... MATIKAN TV
ANDA.
***
JAUHKAN TV DARI BAYI
KapanLagi.com - Meski sudah banyak
diciptakan acara khusus televisi dan rancangan film untuk bayi, tetap tak bisa
mengubah pemikiran bahwa televisi bisa membawa dampak buruk bagi otak si kecil.
Menurut sejumlah dokter spesialis yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman
awal pekan ini secara tegas menyebutkan bahwa televisi secara mendasar tidak
baik bagi otak bayi.
"Acara khusus televisi dan DVD
rancangan khusus bagi bayi yang mengklaim dapat meningkatkan perkembangan otak
secara nyata lebih membawa pengaruh buruk bagi perkembangan otak bayi,"
demikian pernyataan dokter ahli yang dimuat dalam majalah Neu-Isenburg.
Bayi belajar mengalami gangguan dari
televisi, kata laporan ilmuwan yang mengacu kepada daya kerja otak yang
merupakan penelitian Profesor Manfred Spitzer dari Ulm. Menurut Manfred Spitzer
bayi tak dapat memproses rangkaian dari tampilan benda maupun suara dari
televisi.
Spitzer mengatakan dalam satu penelitian di
Amerika Serikat sekelompok bayi yang memiliki kisaran umur sembilan hingga 12
bulan dibacakan cerita dalam bahasa China sementara sekelompok bayi lainnya
mendengarkan cerita yang sama dari sebuah televisi.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.
Para peneliti otak mengatakan bahwa letak
televisi yang salah dapat berbahaya apabila seorang dewasa membacakan cerita
bagi bayinya. Menurut satu penelitian lainnya yang melibatkan 1000 keluarga
yang memiliki bayi dengan kisaran usia delapan hingga 16 bulan yang secara
berkala dibacakan cerita, maka anak-anak tersebut mengenali atau mengetahui
jumlah kata 8 persen lebih banyak dari rata-rata.
Jumlah
perbendaharaan kata anak-anak yang banyak melihat acara Baby TV atau DVD yang
khusus diperuntukkan bagi bayi adalah 20 persen lebih rendah dari jumlah kata
yang dimiliki anak-anak secara rata-rata.Matikan Televisimu!!
MATIKAN TV-MU SEKARANG!!!
Keselong
Tuan-tuan. Suatu hari di kampung saya gempar. Anak-anak
menghilang secara tiba-tiba. Tidak ada lagi yang berkeliaran di jalanan
dengan teriakan-teriakan khas anak-anaknya. Tidak ada lagi yang berlarian di
pematang sawah atau bersepeda di jalan-jalan kampung. Kampung jadi sepi dari
rengekan mereka meminta uang pada ibunya atau ketika jatuh kesakitan. Semakin
lama suasana pun semakin sepi akan suara dan tawa mereka, hanya suara orang tua
mereka yang semakin panik dan riuh berdengung kerena anaknya hilang. Mereka
kini berkumpul di rumah Pak Lurah.
“Tidak salah lagi, anak dikampung ini keselong!” Kata seorang tua yang
berpakaian serba hitam di sepan rumah Pak Lurah. Ki Jenggot, begitu mereka
menyebutnya.
Tiba-tiba saja suasana menjadi semakin riuh seperti lebah yang bergerumun.
Masyarakat semakin cemas akan anak-anaknya. Mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan untuk menemukan anak-anak mereka.
Tulisan di atas saya kutip dari sebuah cerita pendek yang sempat saya baca
beberapa hari lalu. Cerpen ”Keselong” karya Yons Ababil itu saya dapatkan dari
sebuah majalah tengah bulanan nasional. Tiba-tiba, ketika sampai pada batas
ini, saya tersentak. Lho! Bukannya ini memang benar-benar sedang terjadi? Ya,
sedang terjadi di waktu kita bernafas dan di tempat kita berpijak. Tidak salah
lagi, di sini. Anak-anak kita sedang menghilang. Entah siapa yang membawa mereka
dari sini, pangkuan kita. Juga entah, mereka keselong (disembunyikan makhluk
halus) atau tidak, seperti dalam cerpen ini. Yang jelas penulis di sini telah
mengingatkan kita akan satu hal ini.
Bukankah mereka masih ada. Masih bisa kita lihat mereka bermain sepak bola
dekat lapangan Pak Kepala Desa? Mereka juga masih ramai bersepeda di jalanan
ketika pagi menuju ke sekolah?
Jika itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan berontak untuk segera keluar,
maka jawabannya, tidak. Mereka memang masih bisa kita lihat dengan mata
telanjang. Tapi coba rasakan, hawa mereka tidak lagi terasa. Hawa khas
anak-anak ketika bergerak berloncatan ke sana kemari. Ketika berteriak
meneriakkan keinginannya. Bisa dikatakan jiwa mereka yang telah hilang. Entah
siapa yang telah mengambilnya diam-diam dari kita. Kemudian menukarnya dengan
jiwa-jiwa misterius yang tidak pernah kita ketahui. Anak-anak bukan lagi
anak-anak kita dulu. Mereka telah benar-benar berubah.
Ingat-ingat saja tentang berita yang muncul setiap pagi di rubrik berita kriminal,
hampir setiap hari kita akan melihat, beberapa kasus kejahatan yang sudah
sering dilakukan anak-anak. Sebut saja seperti mencuri, mengedarkan sekaligus
memakai narkoba, bahkan sampai berani berpesta seks di kelas. Semua pekerjaan
yang sebenarnya juga tidak pantas untuk dilakukan orang dewasa. Tidak hanya itu
anak-anak sekarang adalah anak yang kecanduan dengan sesuatu bernama hiburan,
juga segala sesuatu yang bersifat konsumtif. Meskipun tidak semua mengalami
kejadian seperti itu, tapi ini patut untuk kita khawatirkan. Karena melihat
begitu pesatnya virus ini menyebar, rasanya tidak akan lama lagi seluruh
anak-anak di negeri ini akan menjadi korban.
Matikan
TV-Mu
“Saudara-saudara, memang benar apa yang dikatakan Ki Jenggot. Anak-anak
kita keselong. Tapi kita tidak akan pernah menemukan mereka di tempat-tempat
yang kita cari sedari tadi. Tidak di pohon-pohon beringin atau batu-batu yang
kita keramatkan. Makhluk-makhluk itu kini sudah mempunyai tempat baru yang
lebih nyaman bagi mereka.”
“Lalu dimana anak kami Wak?”
“Ayolah Wak
tolong kami”
“Di mana anak
kami Wak?”
“Ikuti saya ! “
Lalu seseorang
yang biasa dipanggil Wak Haji Muksin itu masuk ke dalam rumah Pak Lurah.
Sebagian masyarakat yang berada di luar ikut masuk menuruti keingintahuannya,
sampai berdesak-desakan. Padahal masih banyak sekali orang lain yang masih
berada di luar. Apa yang kira-kira akan dilakukan olehnya. Wak Haji Muksin lalu
mendekati sebuah benda berwarna hitam berkaca dengan beberapa tombol di
sisinya. Masyarakat yang melihatnya semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya
terjadi.
“Di sinilah
anak-anak kalian disembunyikan.” kata Wak Haji sambil mengangkat benda itu
tinggi-tinggi.
“Lho, Wak Haji, bukankah itu televisi?”
“Siapa bilang ini gethuk”
“Jadi ada dimana sebenarnya mereka wak?”
“Ayolah wak buktikan kata-katamu.”
Lalu Wak Haji Muksin mengangkat lagi benda itu lebih tinggi dan
membantingnya ke lantai. Pak Lurah mencoba menahannya, tapi sudah terlambat.
Benda bernama televisi itu sudah hancur berkeping-keping. Kini semua
memperhatikan pecahan televisi pak lurah di lantai tanpa ada suara.
Tiba-tiba muncul Ria dan Husein dari kepingan pecahan kaca televisi itu.
Semua terperanjak. Bu Lurah dan suaminya, Pak Lurah, langsung memeluk kedua
anaknya itu sambil menciumnya berkali-kali. Saluruh masyarakat yang
mengetahuinya tersentak kaget.
Sekali lagi saya tersentak, sebagaimana orang-orang di sana kaget kerena
tidak pernah menyadarinya lebih dulu. Sekali lagi saya merasa kejadian pada
kelanjutan cerpen tadi juga benar-benar terjadi di dunia kita. Ya, televisilah
pelakunya. Penyebab dari kebingungan kita menemukan anak-anak kita yang telah
ia bawa pelan-pelan dari rumah kita berkedok musuh dalam selimut. Televisi yang
sengaja disediakan di rumah untuk membantu menyegarkan pikiran, sebagai media
hiburan, menambah ilmu pengetahuan, fasilitas penambah pengetahuan tentang informasi
dari seluruh dunia, ternyata malah menyembunyikan jiwa-jiwa original anak-anak
kita. Lalu menukarnya dengan jiwa-jiwa bermental uang, baju bagus, kekuasaan,
senang-senang tanpa memikirkan masa depan.
Maka segera matikanlah televisimu. Matikan segera sebelum ia kembali dan
meracuni anak-anak kita dengan berbagai macam racun mematikannya. Yang dengan
dosis tingginya bisa dengan segera merasuk ke dalam pikiran anak dan merubahnya
menjadi makhluk lain. Padahal, seperti yang sudah kita ketahui, merekalah
calon-calon kuat pengganti generasi-generasi tua yang tidak lama lagi akan
semakin rapuh dan berhenti bernafas dimakan usia. Mereka harus benar-benar
dipersiapkan untuk itu. Dalam hal ini, Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak),
juga mengakui bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap pola perilaku
anak-anak atau remaja.
Kalau masih belum percaya, coba saja ingat-ingat apa yang telah televisi
sajikan kepada kita akhir-akhir ini. Tayangan berita-berita kriminal, yang
semakin mengajari anak-anak kita untuk berani melakukan tindakan-tindakan
kekerasan. Atau sinetron-sinetron dengan tema tetap, tanpa perubahan di setiap
sinetronnya. Hanya tentang cinta, harta, kekuasaan, kemudian tokoh antagonis
melakukan segala cara untuk menang, hingga akhirnya begini, begini dan begitu.
Seakan sudah bisa ditebak. Dan parahnya lagi, hanya sedikit saja perilaku yang
berbau edukatif. Karakter negatif lebih sering muncul daripada karakter positif.
Juga banyak ditemukan unsur kental seksualitas. Tercatat dalam sebuah penelitian,
sikap berpakaian tidak senonoh 49 % dari 196 pemunculan, merayu 14 %, merangkul
11 %, menatap penuh hasrat terhasap lawan jenis 11 % (Republika, 30 Desember
2005). Tidak seperti yang orang tua harapkan pada
sebuah televisi ketika membelinya. Sehingga tayangan yang lebih banyak
mendominasi tayangan-tayangan televisi tersebut mengajak anak untuk meniru apa
yang ada di dalamnya. Dari cara berpakaian, menggunakan uang jajan, budaya
konsumtif, juga dalam menghadapi sebuah masalah atau menjatuhkan lawan dengan
segala cara. Apalagi, seperti yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ada
kira-kira 140 sinetron jiplakan yang beredar di Indonesia. Baik dari tema, cara
bersikap, sampai alur cerita dan model tokohnya. Selain menunjukan bahwa itu
adalah bukti kekurangkreativan SDM industri persinetronan kita, ini juga
menyatakan bahwa kebanyakan unsur-unsur budaya yang menyebar lewat sinetron
adalah bukan dari negeri sendiri. Melainkan budaya asing yang sangat jelas banyak berlawanan dengan
budaya asli kita.
Juga reality show yang mulai
menjamur akhir-akhir ini. Yang mengedepankan bagaimana mendapatkan uang
dengan mudah tanpa harus berusaha keras. Hanya tinggal melakukan apa yang
dikatakan oleh presenter. Jika bisa, maka dalam waktu sekejap uang yang cukup
banyak bisa diperoleh. Memang itu akan membantu sang pemenang dalam kebutuhan
hidupnya. Tapi, pelan-pelan sang pemirsa akan termakan doktrin bahwa mencari
uang dan apa yang kita inginkan tidak perlu dengan bekerja keras, hanya cukup
mempersiapkan diri mengikuti acara-acara semisal yang kini sudah bisa dijangkau
dengan mudah di berbagai tempat, juga dengan berbagai media. Selain langsung,
melewati HP misalnya, atau lewat E-mail. Menjadikan pemirsa yang terpancing
untuk itu berhenti memprioritaskan bekerja keras untuk mencapai tujuan.
Mematikan aktif mereka dan menghidupkan budaya pasif.
Televisi juga media yang cocok untuk menyebarkan virus pornografi dan
pornoaksi yang semakin menebal saja di negara kita. Kita telah tahu sendiri
bagaimana dampak keduanya bagi anak dan remaja-remaja kita.
Maka, kini kita semakin tahu akan bahaya yang mengancam. Segeralah matikan
televisimu. Dan sebenarmya bukan hanya itu, masih ada film-film berbau klenik
yang bertebaran di setiap stasiun televisi. Yang semakin menambah sosok aneh
dalam dunia anak-anak. Juga ada tongkat-tongkat ibu peri yang bisa menolong
siapa saja yang kesulitan. Tanpa berusaha lebih keras, hanya tinggal
memanggilnya & meminta tolong untuk mengerjakan ini dan itu. Maka ia
mendapatkan segalanya.
Intinya, menonton televisi membuat kita menjadi pasif, juga anak-anak.
Seorang penonton televisi hanya tinggal diam dan memikirkan, apa yang akan
masuk ke pikiran hari ini? Sekali lagi matikan televisimu sekarang juga.
Kemudian, ada satu hal yang mengganjal di benak saya. Sebuah pertanyaan
yang mungkin akan muncul pada setiap orang dewasa maupun anak-anak. Yaitu,
bagaimana kita bisa hidup tanpa televisi? Bagaimana kita bisa langsung
mamatikan televisi begitu saja? Benda yang menghiasi hari-hari kita di rumah.
Hidup akan sangat tidak berwarna. Akan terasa tawar jam-jam yang kita lalui
setiap harinya. Kita tidak akan bisa lagi menikmati acara-acara hiburan ketika
lelah dan capek, tidak bisa lagi memenuhi otak kita dengan beragam informasi
yang tersaji begitu rapi, kita hanya tinggal duduk dan bersiap menonton dan
mendengarkannya dengan seksama. Saya juga seorang anak. Saya juga tahu rasa
tentang bagaimana hidup tanpa televisi. Pasti akan sangat sulit sekali dan
memberatkan. Saya tidak akan lagi bisa menonton acara-acara favorit saya yang
menghiasi hari libur, tidak bisa lagi berdiskusi dengan teman-teman tentang
film yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi tadi malam.
Tidak terasa memang, televisi telah begitu dekat dengan kita. Seakan-akan
telah menjadi kebutuhan primer. Ya, kebutuhan pokok manusia ketika hidup.
Sejajar dengan pakaian yang kita pakai, makanan dan tempat tinggal. Televisi
telah menjadi bagian hidup kita yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja.
Kemudian
Bagaimana?
Setelah beberapa minggu, penduduk kampung ini sudah bisa hidup normal tanpa
televisi. Anak-anak kini sudah kembali mewarnai kehidupan kami. Mereka juga
mulai rajin mengaji di musholla menjelang maghrib. Para orang-orang tua juga
mulai meramaikan majlis-majlis taklim. Tidak ada lagi keributan yang berarti
semenjak kejadian dulu.
Sekarang aku sedang berada di pasar melanjutkan usahaku sebagai penjual.
Tiba-tiba ada kabar yang menggemparkan seluruh pasar. Anak-anak di
kecamatan menghilang tanpa jejak. Ah tidak! Ternyata bukan cuma di kecamatan,
tapi juga di kabupaten, juga provinsi, bahkan seluruh negeri. Negeri ini
menjadi sepi dari suara anak-anak.
Akhirnya seluruh warga kampung aman dari suara-suara bising televisi. Tapi,
kejadian hilangnya anak-anak ternyata malah meluas. Bukan hanya di kampung itu
saja. Tapi ke daerah-daerah lain di seluruh pelosok negeri. Dan akhirnya, kabar
bahwa anak-anak disekap di dalam televisi menyebar. Bisa dipastikan setelah
itu, jika seluruh orang tua masih menginginkan anaknya, maka ia harus rela
mengorbankan televisi yang sudah menjadi bagian hidupnya demi kehadiran anaknya
kembali.
Mungkin di sinilah seharusnya saya, dan mungkin kita, tidak sependapat
dengan si penulis cerpen. Biar bagaimanapun, televisi adalah bagian hidup kita.
Dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Saya yakin, penciptaan
televisi dilakukan untuk bisa diambil manfaat sebesar-besarnya darinya. Bukan
dengan sengaja menghancurkan generasi yang nantinya akan menggantikannya. Jadi
pasti ada masalah di dalam perantara antara penyelenggara penyiaran televisi
dengan pemirsa televisi di rumah-rumah.
Banyak sekali yang berhubungan dengan sebuah kotak mungil berkaca bernama
televisi ini. Yang biasa kita singkat dengan TV saja. Yang pertama yang tidak
mungkin bisa lepas darinya adalah organisasi penyiaran itu sendiri. Karena merekalah
yang memegang kendali jalannya TV.
Ini juga ada hubungannya dengan pemerintah, selaku wakil-wakil rakyat yang
diutus untuk memberikan manfaat yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya,
mereka harus memberi kebijakan yang jelas dan aplikasinya yang riil dan nyata
di lapangan. Tentang mereka yang melanggar peraturan penyiaran, maka harus ada
sanksi tersendiri. Dan jika ada sebuah stasiun televisi atau acara yang
terbukti mengamalkannya dan berhasil untuk bermanfaat bagi penontonnya, maka
penghargaanlah yang mereka peroleh. Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) menampakkan dirinya. Mereka memperingatkan stasiun-stasiun televisi untuk
tidak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3SPS),
jika masih saja belum di respon, maka jalur hukum akan ditempuh, dengan
konsekuensi, izin tayang akan dicabut. Tapi ini tentu saja masih belum cukup.
Yang kedua, harus ada pengawasan terhadap anak-anak itu sendiri. Akan
percuma saja jika anak tidak diawasi dalam kesehariannya. Pisau dapur yang
sebenarnya digunakan untuk mengupas buah bisa saja digunakan untuk membunuh
kucing tetangga, atau juga bisa adik kecil anak kita yang sedang tidur di dalam
kamar. Begitu juga dengan televisi, ia memang bisa bermanfaat bagi kita, tapi
jika tanpa pengawasan, sama saja bohong. Semua bisa saja melakukan apa-apa yang
melenceng dari ketentuan sebenarnya, apalagi anak-anak yang kondisinya memang
masih sangat mudah untuk menerima dan memasukkan apa saja dalam pikirannya
untuk segera dilakukan.
Cara ini bisa dilakukan dengan mencari tahu, acara apa saja yang ditonton
anak kita. Kalau sekiranya itu pantas dan bermanfaat baginya maka itulah yang
terbaik baginya. Dan kalau jelas-jelas yang ditonton adalah tayangan kekerasan
misalnya, atau acara-acara lain yang akan berakibat buruk baginya, segera saja
alihkan perhatiannya ke hal lain. Tidak hanya itu, seorang ayah atau ibu
hendaknya tidak bosan untuk memberi pengertian tentang apa yang pernah masuk
dalam pikiran anak atau tentang apa yang dia tanyakan tentang kejanggalan-kejanggalan
yang didapatinya. Juga lebih baik orang tua harus aktif menanyai si anak
tentang apa yang di dapat anak sehari itu, bisa dilakukan malam hari sebelum
tidur. Ditakutkan ada hal-hal yang dapat berdampak negatif jika kita tidak
memberinya pengertian.
Sebenarnya segala sesuatu yang ada dunia ini seperti halnya dua mata
pedang, pasti mempunyai manfaat dan kebalikannya, yatiu mudlarat. Semua. Nuklir
saja, sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai bom yang bisa meledak dengan
efek yang luar biasa. Pada dasarnya nuklir diciptakan untuk pembangkit listrik
yang efisien. Kemudian tentang bagaimana efek negatif dan positif ini bisa
terjadi adalah karena pemakainya. Dia berniat baik atau tidak. Atau jika si
pemakai salah dalam menggunakannya, orang-orang di sekitarnya akan mengingatkan
atau tidak.
Begitu juga dengan televisi, jika kita bisa mengambil manfaatnya dan
menggunakannya seoptimal mungkin, maka akan sangat banyak sekali yang kita
dapatkan. Jika seseorang pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, maka
menurut saya, ‘televisi adalah buku lain yang lebih besar yang berada di
dinding yang lain pula’. Ya, adalah jendela yang lebih besar. Sebagai salah
satu komponen globalisasi yang membuat besarnya jarak menjadi kian tak berarti.
Kejadian di belahan bumi sana akan bisa seseorang ketahui di belahan bumi yang
lain dalam waktu sekejap. Ya, salah satunya adalah melalui benda ini. Juga,
media audio visual ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
pemirsanya. Maka akan sangat bermanfaat sekali jika menggunakannya untuk
meningkatkan taraf pendidikan di Negara kita.
Dengan begitu, diharapkan akan muncul acara-acara televisi yang baik bagi
pemirsanya, terutama anak-anak. Yaitu acara yang menyajikan kebaikan dan
tentunya yang berdampak positif bagi anak-anak kita untuk menciptakan
lingkungan yang baik pula.
Marilah kita mengambil
manfaat sebesar-besarnya darinya. Saya berharap RUU APP akan segera disahkan,
mekipun 30 % di antara kita menolaknya (Repubilka, 11 Maret 2005), juga
pengawasan acara-acara yang akan tayang di televisi untuk segera kembali
digalakkan, kekhawatiran orang tua terhadap perkembangan anaknya, terutama yang
berhubungan dengan televisi, dengan mengurangi menyeleksi porsi menonton segera
ditingkatkan. Juga yang paling penting, agar energi potensi positif televisi
dapat segera kita nikmati bersama. Tentunya itu semua tidak bisa ditangani oleh
hanya satu orang saja, tapi dengan uluran tangan kita semua. Akhirnya, ada satu
harapan lagi yang ingin saya sampaikan pada mereka yang bertanggung jawab atas
ini. Mengertilah, saya, juga seluruh anak-anak di negeri ini, kelak akan
menjadi pelaku regenerasi pelaku negeri ini. Bukan hanya dalam pemerintahan,
tapi dalam segala bidang. Juga yang paling penting adalah membentuk sejarah
kebaikan untuk masa depan.
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Matikan TV-mu. Ya, matikanlah
televisimu untuk sementara ini. Lebih cepat lebih baik. Jangan biarkan ia
menguasai waktu kita. Cukup sediakan sedikit saja waktu untuknya. Itu juga
untuk acara-acara yang jelas-jelas bermanfaat. Terutama untuk anak-anak kita.
Kita telah tahu, akan jadi apa mereka nanti.
* Luthfi Andi Z, alumni TMI Al-Amien Prenduan tahun 2007,
asal Lumajang. Kini, sedang menyelesaikan S-1nya di IDIA Prenduan.
Langganan:
Postingan (Atom)